Kompetisi tahunan yang diselenggarakan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan kembali digelar. Kegiatan Lomba Kompetensi Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (LKS SMK) dilaksanakan 18 - 23 Juni 2012 di Sasana Budaya Ganesha (SABUGA) ITB Bandung, Jawa Barat. LKS SMK kali ini mengambil tema “Membangun Manusia Indonesia Berkarakter dan Berdaya Saing Global – Indonesia Skill Competition, Winning the Global Competition!”.

Peserta LKS SMK Tingkat Nasional XX adalah perwakilan siswa dari seluruh provinsi di Indonesia yang terdiri dari siswa SMK tahun pelajaran 2011-2012. Berdasarkan data yang dihimpun, jumlah siswa peserta keseluruhan ajang ini sebanyak 992 siswa. Sedangkan pihak-pihak yang juga ikut serta seperti pendamping kontingen, Model Ladies and Man, Model Skin Care, Ketua Kontingen dan Delegasi Teknis, Teknisi SMK, Panitia Direktorat dan Daerah, serta juri berjumlah 690 0rang. Keseluruhan acara diikuti oleh lebih dari 1682 orang.

Bidang lomba yang dikompetisikan terdiri dari 5 kelompok, yaitu  kelompok teknologi, kelompok bisnis dan pariwisata, kelompok pertanian, kelompok kriya, dan kelompok seni. Setiap kelompok dibagi menjadi beberapa jenis lomba lainnya, seperti dalam kelompok teknologi, lomba yang dikompetisikan antara lain : Autobody Repair, Automobile Technology, dan Industrial Control. Total jumlah lomba yang dikompetisikan sebanyak 50 jenis lomba.

Materi lomba sendiri mengacu kepada standar industri, kompetensi yang ada dalam SKKNI dan standar World Skill Competition (WSC). Juri-juri yang akan menilai terdiri dari berbagai instansi sesuai dengan bidang yang akan dilombakan, misalnya dari PT. Toyota Astra Motor, PT. Astra Daihatsu Motor, PT. Denso Indonesia, Balai Besar Logam dan Besi, Hotel Four Season Jakara, Konsultan Pajak AS, Dinas Pertanian dan Perikanan, Dinas Pariwwisata Provinsi, dan masih banyak lagi.

Diselenggarakannya LKS SMK XX ini diharapkan dapat memacu para guru dan siswa SMK untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajarannya, agar para lulusan SMK mampu menembus dan berkiprah pasar tenaga kerja di skala nasional dan internasional.  Karena SMK BISA! INDONESIA BISA! (di)

Rabu, 14 Maret 2012 menjadi tanggal bersejarah bagi Prof. Dr. Terry Mart. Pada hari tersebut Dosen Fisika Universitas Indonesia yang telah mengabdikan diri di Departemen Fisika FMIPA UI sejak tahun 1990 ini dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Fisika pada FMIPA UI. Pidato Upacara Pengukuhan yang dibacakan oleh bapak dari dua orang anak ini berjudul “Produksi Elementer Partikel Kaon serta Aplikasinya”, yang merupakan salah satu topik penelitian yang ditekuninya sejak 25 tahun terakhir. Upacara pengukuhan tersebut dihadiri oleh Rektor Universitas Indonesia – Prof. Dr. der. Soz. Gumilar Rusliwa Somantri, Sekretaris Dewan Guru Besar –Prof. Dr. Rosari Saleh, rer. nat., Ketua Senat Akademik Universitas – Prof. Sudianto Kamso, Dekan FMIPA – Dr. Adi Basukriadi, M.Sc., beserta seluruh jajaran Guru Besar Universitas Indonesia.

Turut hadir pula dalam Pengukuhan Guru Besar ini, Ketua LIPI –Lukman Hakim, mantan Mendiknas – Prof. Dr. Wardiman Djojonegoro, mantan Menristek – Bapak Suharna Surapranata, Ketua Majelis Wali Amanat UI – dr. Purnomo Prawiro, wakil dari Kementrian Pendidikan Nasional – Bapak Nurdin, wakil dari anggota Komisi XI – Ibu Dina Hawadi, turut hadir juga sebanyak 6 orang Guru Besar Tamu yaitu, Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, 2 orang Guru Besar dari Universitas Gadjah Mada, Guru Besar dari FMIPA departemen Biologi Universitas Nasional, Guru Besar dari Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin dan Guru Besar dari Goethe Universitet Frankfurt Germany.

“Salah satu proses yang digunakan untuk meneliti dinamika derajat kebebasan bilangan kuantum keanehan (strangeness) adalah proses produksi pasangan partikel kaon dan hyperon melalui reaksi elektromagnetik. Proses ini menggunakan electron berenergi tinggi yang ditumbukkan pada target proton. Secara teoritis proses ini dijelaskan oleh sejumlah diagram Feynman yang memenuhi hukum kekekalan bilangan-bilangan kuantum di awal dan akhir proses. Model yang menggunakan teknik ini sering disebut sebagai model isobar. Dari diagram ini beberapa besaran yang dapat diukur secara eksperimen yang biasa disebut observable, dapat dihitung. Meski demikian, cukup banyak parameter reaksi yang terdapat di dalam diagram Feynman tersebut tidak diketahui, baik secara teoritis maupun secara eksperimental. Untungnya data-data eksperimen dengan akurasi tinggi yang mulai berlimpah sejak dioperasikannya akselerator-akselerator modern di tiga benua ini mengizinkan kita untuk mengekstrak parameter-parameter tersebut”. Itulah nukilan yang diambil dari buku pidato pengukuhan hari itu.

Staf Pengajar Departemen Fisika FMIPA UI ini menamatkan pendidikan S3 di Institut fur Kernphysik, Universitat Mainz, Mainz, Jerman. Sampai saat ini beliau telah menyelesaikan lebih dari 117 Publikasi Ilmiah di tingkat Internasional selama kurun waktu 1989 - 2012, di mana lebih dari 30 publikasi ilmiah beliau hasilkan dalam waktu 5 tahun terakhir. Selain publikasi ilmiah, beliau juga masih menyempatkan diri untuk menulis publikasi artikel popular di koran dan majalah. Tidak kurang dari 28 publikasi artikel popular telah beliau tuliskan di berbagai koran dan majalah. Selain itu, sejumlah seminar, konferensi, dan simposium tingkat internasional sudah menjadi hal rutin bagi beliau. Tidak kurang dari 48 seminar, konferensi, dan simposium tingkat internasional sudah beliau hadiri sejak 1989 - 2012, baik sebagai peserta maupun sebagai pembicara.

Keseriusan Prof. Terry Mart dalam bidang penelitian fisika telah menjadikan beliau ini termasuk dalam 100 Fisikawan yang paling berpengaruh di dunia. Prestasi anak bangsa kelahiran Palembang, 3 Maret 1065 ini tentu sangat membanggakan bagi Indonesia. Penghargaan yang pernah diterima oleh Prof. Terry Mart antara lain Habibie Award Bidang Ilmu Dasar tahun 2001, Satyalancana Karya Satya 10 Tahun dari pemerintah RI tahun 2007, Leading Scientists and Engineers dari Komisi Teknologi (Comstech) Organisasi Konferensi Islam tahun 2008, Outstanding Southeast Asian Scientists dari South East Asia – European Union Network tahun 2009, Ganesa Widya jasa Adiutama dari ITB tahun 2009, dan Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa dari Kementrian Pendidikan Nasional RI tahun 2009.

Selamat untuk Prof. Terry Mart, semoga karya-karyanya semakin mengharumkan nama bangsa Indonesia di dunia Internasional.

Pada tulisan yang lalu, saya sudah memaparkan dengan jelas apa saja cita-cita pendidikan kita yang sudah usang namun masih dipakai hingga sekarang. Tulisan saya kali ini menyoroti cita-cita orang pada saat mengambil pekerjaan yang juga usang, namun lagi-lagi masih dipakai. Sungguh mengenaskan.

Setelah lulus sekolah/perguruan tinggi, pasti pertanyaan hidup selanjutnya adalah: Anda akan bekerja? Bekerja di mana? Gajinya berapa? Semua orang bercita-cita akan bekerja. Bekerja di mana adalah persoalan berikutnya, yang terkait dengan besarnya gaji. Di sinilah kekeruhan itu terjadi lagi. Orang ramai-ramai mencari lapangan kerja, bukan menciptakan lapangan kerja. Orang sibuk meributkan gaji yang diterima, senang menjadi orang gajian, tanpa mau berpikir kapan saya akan menggaji orang.

Bagi orang-orang yang tinggal di luar kota besar, pilihan bekerja menjadi pegawai negeri sipil adalah cita-cita hidup. Bayangkan, menjadi PNS: tanpa tekanan, idle time yang begitu besar hingga bisa kerja sambilan, hampir pasti tidak akan dipecat, gatsun (gaji-tunjangan-pensiun) menanti. Siapa yang tidak mau? Apalagi kini pemerintah sedang concern membangun kesejahteraan BUMN-PNS, semakin kuatlah cita-cita itu. Ada lagi yang lebih parah. Pada waktu saya SMA, orang tua saya menganjurkan: bekerjalah di area basah! Maksudnya adalah bekerja di area yang penuh perputaran uang: departemen keuangan, pajak, anggaran, pekerjaan umum, bea cukai, dan sebagainya. Kalau negara ini mau jujur, sebenarnya tidak ada area pekerjaan basah. Yang ada itu area korupsi. Area basah hanya untuk orang cerdas, kreatif, inovatif. Akibat cita-cita lama ini sudah bisa ditebak: orang menghalalkan segala cara untuk jadi PNS, terjadi ketimpangan antara posisi kerja dan tenaga kerja yang menempatinya, dan tergusurnya orang-orang hebat karena ia tidak punya jaringan koneksi dan uang yang cukup.

Cita-cita berikutnya untuk bidang pekerjaan adalah: BEKERJA DI JAKARTA. Sepertinya di daerah-daerah ada anggapan: belum bekerja di Jakarta belum sah. Di Jakarta lapangan pekerjaan luas, gajinya besar, mengapa kita bekerja di daerah sendiri? Cita-cita dan anggapan ini memicu terjadinya urbanisasi besar-besaran di Jakarta sehingga terjadi berbagai masalah besar: ledakan penduduk, kemacetan, perumahan, sampah. Jumlah tenaga kerja yang sangat besar dan menjamurnya gedung-gedung bertingkat pencakar langit sebagai tempat menampung para pekerja juga berdampak besar terhadap masalah lingkungan hidup seperti langkanya air bersih, rusaknya tanah, erosi air laut, dan musnahnya pohon sebagai paru-paru kota. Tidaklah mengherankan jika kini kebudayaan asli Jakarta semakin terkikis, jalinan komunikasi antarwarga semakin rusak karena tidak saling mengenal satu sama lain (hidup nafsi-nafsi).

Kita tentunya berharap cita-cita hidup ini tidak terus diagung-agungkan. Orang-orang di daerah memiliki kesadaran untuk membangun tanah kelahirannya sendiri berdasarkan ilmu yang dimilikinya. Pemerintah daerah seharusnya dapat memanfaatkan potensi dan pendapatan asli daerah untuk kepentingan daerahnya, tidak untuk kepentingan pemerintah pusat sehingga tidak lagi terjadi kesenjangan pembangunan dan lapangan kerja di daerah. (bersambung - RPH)

London International Model United Nation (LIMUN) merupakan simulasi sidang PBB terbesar di Eropa. Sebanyak 1200 delegasi dari seluruh dunia akan bertemu di Imperial College London untuk berdiskusi, bernegosiasi mengenai berbagai permasalahan dan tantangan terbesar yang dihadapi oleh dunia saat ini, mulai dari kedamaian dan keamanan international, hingga ekonomi dan kemajuan sosial, serta hak asasi manusia.

LIMUN bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan para mahasiswa terhadap isu-isu global dan penyelesaian terbaiknya. Kegiatan ini mengajak para mahasiswa untuk berpikir kritis dalam menghadapi tantangan global.

Tahun 2012 ini di awal februari, Imperial College University menyelenggarakan London International Model United Nations kali ke-XIII (tiga belas). Dalam ajang ini, 10 delegasi Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang akan tampil mewakili Negara Islandia. Delegasi yang terdiri dari Astrid Ayutasari, Ali Sakti Lubis, Zulfika Satria Kusharsanto dan Wildand Angesti (Teknik), Siska Indah Septiana dan Kurnia Yustiana (Gizi), Abdurohman Muslim (Ekonomi), Nelwan Sharfina Hajidah dan Andi Walli Abdullah (Hukum), Desy Ayu Permitasari (Kedokteran), siap membawa nama UNDIP dalam simulasi sidang PBB di tingkat internasional.

Tim LIMUN 2012 telah mempersiapkan diri menghadapi konferensi tersebut dengan melakukan berbagai research secara global mengenai isu-isu dunia saat ini dan mempelajari Negara Islandia sebagai negara representative mereka dalam LIMUN 2012 tersebut.

Drs. Warsito selaku Pembantu Rektor III Bagian Kemahasiswaan  Universitas Diponegoro memberikan apresiasi terhadap tim LIMUN 2012 dalam mewakili Universitas Diponegoro dalam ajang LIMUN 2012. Beliau berpesan untuk mampu menunjukkan pada dunia bahwa UNDIP bisa.

Para delegasi yakin bahwa dengan mengikuti LIMUN 2012 akan dapat meningkatkan jiwa kepemimpinan mereka, melatih skill bernegosiasi, dan dapat terus menginspirasi generasi muda dalam untuk menjadi bagian dari PBB, menjadi diplomat, duta besar maupun bekerja untuk PBB atau menjadi insan profesional atau pemimpin yang dapat menjadi partner global untuk menjunjung tinggi perdamaian, pembangunan dan hak asasi manusia di berbagai negara di dunia.

Waktu Anda kecil, orang tua Anda pasti pernah bertanya, "Nak, kalau sudah besar mau jadi apa?" Entah diajari atau sudah menjadi kebiasaan turun-temurun, jawaban Anda kemungkinan besar adalah ingin menjadi dokter, pilot, insinyur, atau bahkan presiden. Tidak ada yang salah dengan jawaban Anda tersebut, bahkan lebih baik daripada jawaban klasik: "menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama" yang lebih mengambangkan cita-cita pada nasib dan mengaburkan fokus. Namun, pernahkah Anda berpikir jika jutaan orang Indonesia memiliki cita-cita sebagai dokter atau insinyur, apa yang akan terjadi?

Pada masa lalu, kebutuhan akan dokter dan insinyur (sarjana teknik) sangat tinggi. Selain masih sangat jarang, status dokter dan insinyur cukup bergengsi karena untuk memperolehnya cukup sulit (butuh kepandaian di atas rata-rata dan modal finansial yang cukup). Wajar jika orang tua mengharapkan anaknya menyandang status tersebut. Kini, di zaman di mana akses pendidikan dan pekerjaan telah terbuka lebar, harusnya cita-cita itu sudah bergeser. Namun ternyata cita-cita lama itu belum pudar yang membuat banyak persoalan hidup di masa kini tidak terpecahkan. Masih jarang orang tua yang berharap anaknya jadi pengusaha hebat, pendidik yang dikagumi, olahragawan yang tangguh yang kesemuanya itu berhubungan erat dengan penghasilan yang besar jika sungguh-sungguh ditekuni.

Bukti yang sangat jelas akibat cita-cita tersebut adalah masih jarangnya siswa yang mau masuk pendidikan vokasional (kejuruan) atas keinginan sendiri. Dari SD, masuk SMP. Dari SMP, masuk SMA. Dari SMA, masuk perguruan tinggi. Itulah jalan menuju cita-cita. Sulit ditemui siswa dari SMP mau masuk SMK. Dari SMK mau berwirausaha sendiri hingga sukses. Bagi sebagian besar orang tua, SMK masih dianggap sebagai tempat terakhir anaknya melabuhkan harapan apabila faktor kepandaian si anak dan finansial orang tua tidak mendukung untuk sekolah di SMA. Sungguh salah besar.

Setelah anak masuk SMA. Orang tua ingin anaknya masuk jurusan IPA, karena menurut mereka, kalau sudah masuk IPA nanti mudah jika ingin memilih jurusan di perguruan tinggi. Tidak jarang orang tua yang menganggap jurusan lain selain IPA/eksakta adalah jurusan madesu (masa depan suram) karena kalau sudah lulus nanti susah mencari kerja. Fakta ini diperparah dengan gagalnya pemerintah menyediakan lapangan kerja yang luas bagi lulusan non-eksakta. Semakin homogenlah cita-cita bagi banyak orang.

Bayangkan, sudah harus masuk SMA, masih harus ditambah dengan masuk IPA. Padahal setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dan keterbatasan. Tidaklah mengherankan jika banyak generasi muda sekarang bersikap pragmatis, lebih mementingkan status daripada kompetensi. Yang penting SMA, yang penting kuliah, yang penting  punya gelar. Asal cepat lulus, asal nilai tinggi, tanpa ada kemampuan yang dihasilkan oleh proses belajar. Sekolah semakin banyak, namun hanya menghasilkan kuantitas lulusan yang besar, bukan kualitas (bersambung - RPH).