Abstrak: Seorang guru sebagai pemimpin konstruktivis memfasilitasi proses pembelajaran partisipatori yang  memungkinkan  partisipan dalam suatu komunitas belajar untuk mengkonstruksikan  makna bersama-sama  yang mengarah pada tujuan  pembelajaran  bersama.

Dalam proses belajar itu, setiap partisipan  mempunyai kesempatan untuk membentuk  perilaku pemimpin konstruktivis yang fair dan bertanggungjawab. Pemimpin konstruktivis harus berpikir dan bertindak secara ekologis yang diwarnai oleh kultur kolegalitas.

Kultur tersebut terlihat dalam komunikasi yang hangat dan terbuka dengan sikap saling menghormati sebagai sahabat dalam dialog. Dengan kultur kolegalitas, guru sebagai pemimpin konstruktivis mencari strategi dan pendekatan pembelajaran yang tepat dengan melibatkan siswa, guru, orang tua dan  anggota komunitas yang lain. Oleh karena itu, guru sebagai pemimpin konstruktivis menggunakan kekuasaan sebagai sarana untuk menciptakan dan mewujudkan visi dan tujuan kolektif bersama dengan orang lain dengan pengelolaan konflik yang tepat sehingga terjadi perubahan yang sistemik.

Untuk mempersiapkan guru sebagai pemimpin konstruktivis, perlu didesain program yang didasari oleh prinsip bahwa belajar untuk menjadi guru dapat dilakukan dengan refleksi, penyelidikan dan pengkonstruksian  makna terus menerus sepanjang hidup bersama orang lain dalam komunitas belajar kolaboratif dengan pengelolaan konflik yang tepat.

Kata-kata Kunci: konstruktivisme, komunitas belajar, pemimpin konstruktivis, dialog,  berpikir dan bertindak secara ekologis, kolegalitas, kolaborasi, perubahan sistemik,  relasi, tanggung jawab, refleksi, penyelidikan, akuntabilitas,  energi emosional,  mutualitas, konflik,  kerja sama.

A.    Pendahuluan

Sejak tahun 2004, terjadi perubahan paradigma pendidikan di Indonesia. Perubahan ini ditandai dengan perubahan kurikulum pendidikan. Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi mengantikan kurikulum 1994 yang menekankan penguasaan materi ajar. Dengan kurikulum 2004, pendidikan lebih berpusat pada siswa.

Model pembelajaran yang tepat dengan paradigma ini adalah model pembelajaran konstruktivis.  Agar pembelajaran konstruktivis dapat berlangsung dengan baik, guru harus berperan sebagai pemimpin konstruktivis. Inilah yang akan dibahas penulis dalam tulisan ini.

Tulisan ini  diawali penulis dengan membahas tentang konstruktivisme dalam pendidikan. Setelah itu, penulis akan  memaparkan kontruktivisme dalam pendidikan, guru sebagai pemimpin konstruktivis, kekuasaan dalam kepemimpinan konstruktivis, dan  prinsip-prinsip dalam pengembangan  guru sebagai pemimpin konstruktivis. Akhirnya tulisan ini akan ditutup dengan tinjauan kritis  atas kepemimpinan konstruktivis.

B. Konstruktivisme dalam Pendidikan


Paradigma pembelajaran dengan gagasan tentang  komunitas belajar (learning community) melihat peran penting konteks dalam pembelajaran. Menurut paradigma ini,  pembelajaran terutama merupakan  suatu usaha sosial dan tergantung pada konteks. Pembelajaran dilihat berkembang secara berbeda dalam tatanan yang berbeda dan dengan orang yang berbeda. Dalam pandangan ini, pembelajaran koperatif (cooperative learning), kurikulum yang terintegrasi, proyek-proyek komunitas dan unit-unit siswa  dan guru yang lebih kecil muncul.

Paradigma ini dipengaruhi oleh  konstruktivisme.  Gagasan konstruktivisme dapat dilihat dari pandangan Marry Catherine Bateson yang menunjukkan bahwa manusia  mengkonstruksi makna seperti laba-laba membuat jaringannya. Pembuatan makna  merupakan suatu proses yang aktif  di dalam otak manusia di mana jaringan kompleks yang menghubungkan gagasan yang satu dengan gagasan yang lain dikonstruksi dengan baik. Pemahaman tentang pembelajaran sebagai pembuatan makna dan bersifat relasional menjadi dasar pembelajaran konstruktivis.

Teori konstruktivis  menyadari bahwa pembelajar masuk ke dalam sebuah pengalaman dengan sejarah, pengalaman, persepsi dan keyakinannya sendiri. Hal ini menimbulkan suatu interpretasi yang unik atas dunia. Pandangan pembelajaran konstruktivis seperti ini melihat fungsi mengajar sebagai fungsi untuk memediasi, dan menghubungkan pengalaman-pengalaman yang baru dengan  persepsi seseorang sebelumnya.

Pandangan konstruktivis ini dikembangkan oleh Piaget yang melihat bahwa seorang pembelajar  menghadapi pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang baru dan ingin mengasimilasikannya  ke dalam struktur kognitif yang ada. Piaget melihat seorang anak melangkah melalui tahapan-tahapan perkembangan sebagai seorang ilmuwan yang aktif  yang berinteraksi dengan lingkungannya dan  mengkonstruksikan teori tentang lingkungan mereka,  merefleksikan dan berjuang dengan ketidakseimbangan dan menciptakan cara berpikir yang baru.

Pandangan Piaget mendapat dimensi baru dalam karya Jerome Bruner. Dia menekankan  peran interaksi sosial, sejarah dan bahasa dalam proses pembelajaran. Pandangan yang hampir sama diungkapkan oleh Lev Vygotsky. Menurutnya, manusia mengkonstruksi  makna dan pengetahuan bersama-sama dalam konteks kultur dan sejarah mereka. Pembelajar saling berinteraksi dalam situasi belajar bersama (cooperative learning), secara terus menerus  menerima umpan balik informal  atas pikiran mereka dan dirangsang oleh perspektif orang lain dan mendengar interpretasi yang bertentangan dengan suatu ide tertentu. Ketika pembelajar membangun pengertian atas apa yang  mereka alami, hal itu disaring melalui norma-norma kultural dan pengalaman historis yang mempengaruhi kesimpulan mereka. Masing-masing interaksi seperti kelompok ide yang berbentuk spiral menantang dan membentuk pemikiran mereka selanjutnya. Vygotsky melihat bahwa pembelajaran  tampak pertama-tama dalam level sosial dan kemudian pada level individual.

C. Guru Sebagai Pemimpin Konstruktivis


Pembelajaran yang menghasilkan perkembangan komunitas belajar yang mempunyai tujuan difasilitasi oleh guru sebagai seorang pemimpin konstruktivis. Dalam kepemimpinan seperti ini, kita belajar dalam suatu model konstruktivis.  Dalam model ini, kita mulai dengan tujuan, keyakinan, asumsi dan pengalaman. Kita mendasarkan diri kita sendiri pada siapa diri kita dan memperhatikan tempat di mana kita berada, sehingga kita bersama-sama dapat menemukan cara berada yang baru. Di sini, seorang guru sebagai pemimpin konstruktivis memfasilitasi proses pembelajaran yang  memungkinkan  partisipan dalam suatu komunitas untuk mengkonstruksikan  makna bersama-sama  yang mengarah pada tujuan  pembelajaran  yang di-shared. Hal ini terlaksana dalam proses pembelajaran partisipatori.

Dalam proses belajar partisipatori, kepemimpinan dapat dilaksanakan oleh semua partisipan secara fair dengan tanggung jawab yang di-shared. Setiap partisipan  mempunyai kesempatan untuk membentuk  perilaku pemimpin yang menguntungkan komunitas secara keseluruhan. Di sini terlaksana proses yang saling menguntungkan yang dapat menyebabkan pembelajaran dan membangun komunitas belajar. Proses yang saling menguntungkan dapat terjadi jika setiap partisipan saling mendengarkan, memberi dan menerima dalam posisi yang setara dan saling belajar satu sama lain. Relasi sedemikian  menuntut suatu kapasitas untuk memperhatikan diri sendiri dan sesama, serta memahami bahwa perkembangan diri dan orang lain saling berhubungan. Dalam relasi ini ada kesadaran untuk menyampaikan  kepada orang lain apa yang diketahui dan keterbukaan untuk menerima pengetahuan yang baru yang tidak diketahui sebelumnya dari orang lain.

Dalam proses belajar yang saling menguntungkan ini, guru sebagai pemimpin konstruktivis mengingatkan partisipan akan potensi manusia yang dibangun dari berbagai memori, pengalaman, persepsi, pengetahuan terdahulu, asumsi dan keyakinan yang membentuk diri manusia dalam lingkungan dipercaya. Kepemimpinan seperti ini  merekonstruksi asumsi-asumsi yang lama dan mitos-mitos dengan mempertanyakan asumsi-asumsi dan mitos-mitos tersebut. Pertanyaan ini dapat mengarahkan partisipan pada  penemuan informasi yang baru atau berbeda dengan memeriksa kembali penafsiran atas pengalaman terdahulu. Kepemimpinan seperti ini juga berfokus pada pengkonstruksian makna. Berdasarkan pengkonstruksian makna tersebut, partisipan akan membangun kerangka tindakan yang mewujudkan perilaku yang baru.

Munculnya perilaku yang baru terjadi ketika elemen-elemen hubungan partisipan  memungkinkan partisipan untuk belajar bersama. Ketika partisipan memasuki dialog bersama-sama, dan secara kolektif merefleksikan pekerjaan mereka, mereka  mengingat potensi mereka sendiri dan melihat dirinya sebagai bagian dari komunitas yang menemukan  dan memecahkan  masalah bersama-sama.

Agar proses pembelajaran yang saling menguntungkan dapat difasilitasi dengan baik, seorang pemimpin harus  mengembangkan perspektif yang  mencakup seluruh komunitas sekolah. Dia juga harus sadar akan adanya proses perubahan. Kesadaran itu menuntut suatu pemahaman akan dinamika sistem. Dalam kesadaran itu,  dia harus mampu untuk memahami hubungan antara guru dan ruang kelas mereka dengan sistem pendidikan yang lebih luas.

Untuk mengembangkan kemampuan ini, sebagai pemimpin, dia harus berpikir dan bertindak secara ekologis. Maksudnya, dia harus berpikir bahwa sekolah dan ruang kelas merupakan tempat di mana anak-anak dan orang dewasa ada bersama-sama. Sebagaimana sistem ekologis, di sini eksistensi dan pola hubungan mereka antara lain dipengaruhi oleh bangunan sekolah, sumberdaya yang dialokasikan di sekolah tersebut, ekonomi komunitas dan berbagai macam kebudayaan di dalamnya, pengaruh pendatang-pendatang baru,dan hukum-hukum yang baru. Dalam perspektif ekologis, mereka melihat keseluruhan sistem daripada bagian-bagian individual. Hal ini mengarah pada hubungan salingketergantungan dan menekankan kerjasama dan menghapus kompetisi.

Tindakan ekologis seorang pemimpin diwarnai oleh kultur kolegalitas. Kultur tersebut terlihat dalam komunikasi yang hangat dan terbuka, di mana setiap orang berani mengungkapkan ketidaksetujuannya. Mereka juga  menganggap bahwa kerjasama dan kolaborasi dengan yang lain  dengan sikap saling menghormati sebagai suatu nilai yang tertinggi.

Ada beberapa sikap dan tindakan yang diharapkan dari seorang guru sebagai pemimpin konstruktivis. Pertama,  dia harus memiliki pemahaman akan nilai-nilai eksplisit dan kepercayaan yang menjadi dasar pembangunan hubungan itu. Kedua, dia harus memiliki keahlian untuk memfasilitasi dialog tentang pengajaran dan pembelajaran sebagai dasar untuk mengkonstruksi makna. Ketiga, dia harus  memahami  teori belajar konstruktivis dan menerapkannya dalam praktik mengajar mereka di kelas dan dalam interaksi kolegial yang membangun komunitas belajar. Keempat, dia harus mempunyai pemahaman yang mendalam  tentang perubahan sistemik dan transisi  supaya dia dapat menjalankan fungsinya sebagai fasilitator perubahan, yang mendukung dan  mengimplementasi perbaikan terus-menerus. Kelima, dia harus mempunyai pemahaman akan konteks sejarah dan kebudayaan komunitas mereka untuk membangun norma dan kolegalitas. Keenam, dia harus memiliki identitas personal  yang berani menerima resiko dengan kebutuhan ego yang rendah untuk  mendukung dan memfasilitasi komunitas belajar.

Dalam komunitas belajar, pemimpin konstruktivis  membangun kondisi dimana para partisipannya menjadi sahabat dengan sesamanya. Dalam kondisi ini mereka  saling berdialog. Dalam dialog itu, ada proses saling membagi perhatian dan kepentingan. Hal ini dibangun dalam kekuatan relasi dan tanggung jawab pada komunitas. Kekuatan ini mendorong mereka menuju perubahan yang abadi dan sistemik dalam proses pembelajaran dalam komunitas belajar.

Bagian vital dari komunitas belajar itu adalah peran guru sebagai guru kelas, serta  pengembang kurikulum  dan sistem penilaian. Peran ini dapat dilaksanakan oleh guru sebagai pemimpin konstruktivis dengan mencari strategi dan pendekatan yang tepat dengan melibatkan siswanya dan koleganya. Di dalam kelas, mereka dapat meminta siswa untuk mengeksplorasi dan mengungkapkan  titik pandang, persepsi, atau pemahaman mereka tentang suatu konsep. Bersama dengan anggota komunitas yang lain dan orang tua siswa, mereka dapat bekerja sama untuk mendefinisikan tujuan pembelajaran dan sistem penilaian,  dan membuat keputusan tentang kurikulum berdasarkan pada tujuan tersebut. Pembuatan keputusan secara kolektif ini merupakan suatu perubahan  dari lingkungan di mana kerangka kerja sudah disusun dan terstandarisasi serta sistem penilaian  tunggal yang digunakan untuk mengukur keberhasilan seseorang. Dengan ini  keberhasilan siswa dapat dilihat dari berbagai perspektif. Hal ini tentu sangat menguntungkan siswa dan dapat membantu komunitas belajar untuk menemukan cara yang benar-benar untuk meningkatkan kompetensi siswa  sesuai dengan kebutuhan  siswa. Untuk mencapai tujuan ini, guru sebagai pemimpin konstruktivis harus mendukung kebijakan, praktik dan kolaborasi yang membantu anggota komunitas untuk mengaktualisasikan dirinya dan dihargai sebagai individual.

Semua usaha untuk membangun dan mempertahan komunitas belajar dapat dilakukan oleh guru sebagai pemimpin konstruktivis dengan menggunakan pedoman-pedoman berikut.

1.    Merencanakan waktu pembelajaran yang profesional untuk melayani orang lain dan sekaligus  mempertahankan hubungan kerjasama dengan  sesama guru dan siswa. Dalam kerjasama ini guru melihat siswa sebagai pribadi yang otonom, berinsiatif

2.    Mengembangkan struktur yang fokus pada  tujuan atau isu yang ada, mempunyai ekspektasi dan peran yang jelas, memberikan perhatian yang substansif pada  dialog, refleksi dan penemuan pengetahuan, serta  mempunyai ekspektasi bahwa struktur akan berubah ketika pekerjaan dilakukan.

3.    Mengembangkan struktur manajemen  yang memungkinkan keputusan bersama (shared-decision) dapat diambil.

4.     Menyusun  pertemuan seluruh kelompok untuk membicarakan, menemukan dan mengkonstruksi makna yang baru dalam usaha untuk menciptakan  kultur sekolah yang positip dan komunitas belajar. Dalam hal ini guru menggunakan terminologi kognitif seperti pengklasifikasian, prediksi, analisis, interpretasi, dan  penciptaan pemahaman baru

5.    Melibatkan pandangan-pandangan yang berbeda dalam setiap struktur karena hubungan dan koneksitas antara  elemen-elemen yang berbeda  dalam komuitas  merupakan  salah satu strategi yang penting dari ekosistem dan kehidupan.

6.    Mengembangkan profesionalisme  dari organisasi profesional dengan membangun kesadaran bahwa guru merupakan suatu profesi dan membangun hubungan yang matang serta membagi tanggungjawab di kalangan guru.

7.    Mendesain struktur-struktur akuntabilitas yang memungkin mereka untuk mengetahui apakah rencana mereka dapat dilaksanakan atau tidak. Dalam struktur akuntabilitas, siklus pembelajaran diwujudkan melalui refleksi dan penyelidikan (inquiry).

Ketujuh pedoman ini  sangat membantu dalam mengembangkan  struktur-struktur yang akan memperdalam  dan memperluas relasi kepemimpinan dan pembelajaran  serta kolegalitas di sekolah.

D. Kekuasaan dalam Kepemimpinan  Konstruktivis

Kekuasaan dalam kepemimpinan konstruktivis bukanlah kekuasaan dalam arti negatip seperti kekuasaan untuk mendominasi dan mengeksploitasi orang lain. Kekuasaan yang dimaksudkan di sini adalah kekuasaan dalam arti positip, yakni kekuasaan sebagai sarana untuk menciptakan dan mewujudkan visi dan tujuan kolektif bersama dengan orang lain.

Ada  lima elemen kekuasaan. Pertama, energi emosional dalam bentuk keinginan untuk menggunakan emosi secara jujur dan terbuka dalam pekerjaan mereka dengan guru yang lain, siswa dan komunitas. Kedua, kemampuan untuk memelihara pembelajaran dan perkembangan. Ketiga, dialog satu sama lain di mana setiap orang saling mendengarkan titik pandang mereka. Keempat, mutualitas yang dipertimbangkan dalam refleksi yang digunakan dalam mengambil keputusan. Kelima, perubahan kolaboratif yang melibatkan orang lain dalam transformasi sekolah. Elemen-elemen kekuasaan itu terwujud dalam berbagai bentuk kekuasaan. Bentuk-bentuk kekuasaan itu antara lain terlihat dari autoritas yang melekat pada posisi dalam organisasi, kemampuan untuk  menguasai informasi, wewenang untuk mengontrol pekerjaan dan ganjaran yang dihasilkannya, kekuasaan koersif, kekuasaan untuk menjalin kerjasama  dan jaringan kerja, kemampuan untuk mengontrol agenda organisasi, kekuasaan untuk mengontrol nilai-nilai  yang diyakini oleh organisasi, dan kekuasaan pribadi yang mencakup karisma, keahlian, visi dan keutamaan yang melekat dalam pribadi seseorang.

Elemen-elemen dan bentuk-bentuk kekuasaan ini digunakan di dalam sekolah oleh seorang guru sebagai pemimpin konstruktivis dalam tujuh ranah  kekuasaan  untuk menciptakan kondisi bagi perubahan yang sistemik.

Ranah pertama adalah kekuasaan dalam kerjasama dan jaringan kerja. Kekuasaan ini dibangun dalam kerjasama dan jaringan kerja yang didesain secara ekologis di kalangan orang-orang yang memiliki kompetensi yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi di sekolah. Kerjasama dan jaringan ini menjadi energi yang hidup  bagi organisasi sekolah.

Ranah kedua adalah  kekuasaan dalam tanggungjawab pribadi. Tanggung jawab pribadi  mencakup energi emosional dan kekuasaan pribadi. Tanggung jawab pribadi digunakan oleh seorang pemimpin konstruktivis untuk mencapai tujuan yang ditetapkan  bersama orang lain. Mereka saling bersinergi  untuk mengembangkan organisasi dan meningkatkan kesempatan  bagi pembaharuan diri partisipan secara individual.

Ranah ketiga adalah kekuasaan dalam memelihara hubungan dan perkembangan dengan orang lain. Hal ini terwujud dalam peran guru sebagai pemimpin konstruktivis bersama guru yang lain sebagai otonomi kolektif  untuk menentukan tujuan umum dan bekerja sebagai kolega untuk mencapai tujuan sekolah.  Kekuasaan ini semakin jelas terlihat ketika mereka  mendesain dan memfasilitasi kesempatan  di mana para partisipan bekerja sama untuk belajar dan mengembangkan diri dan membangun pengetahuan khusus dan keahlian  mereka.

Ranah keempat adalah kekuasaan  dalam informasi dan  pengetahuan khusus. Kekuasaan ini dibagi  dalam dialog di mana terjadi pertukaran pengetahuan dan informasi. Di sini terjadi pembelajaran yang saling menguntungkan dan perkembangan makna. Kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin konstruktivis ini berguna untuk membangun dan  mempertahankan organisasi yang sehat. Organisasi yang sehat dapat menghadapi secara positip berbagai macam pengaruh lingkungannya.
Ranah kelima adalah kekuasaan untuk melihat keseluruhan dan bagian-bagian.  Kekuasaan ini diperlihatkan oleh seorang pemimpin konstruktivis ketika ia dapat  melihat berbagai titik pandang yang diungkapkan  dalam interaksi para partisipan satu sama lain dalam sistem dan  merefleksikannya kembali dalam organisasi. Di sini seorang pemimpin konstruktivis  memenuhi kebutuhan organisasi akan makna dan pemahaman kolektif atas keseluruhan sistem dan sekaligus memberi kesempatan  kepada setiap individu untuk mengidentifikasi peran mereka dalam keseluruhan sistem.

Ranah keenam adalah kekuasaan dalam status dan posisi di sekolah. Seorang pemimpin konstruktivis yang mempunyai status dan posisi di kelas dan sekolah, baik sebagai kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, dan konselor dapat mengunakan status dan posisi tersebut untuk memperoleh perhatian dari orang lain dan  menyediakan waktu dan ruang untuk keterlibatan mereka dalam komunitas belajar.
Ranah ketujuh adalah  kekuasaan dalam membangun kerjasama. Kekuasaan ini diperlihatkan oleh seorang pemimpin konstruktivis dengan menunjukkan kemampuan  untuk fleksibel, menghadapi konflik, mempertahankan fokus pada tujuan bersama, membagi tanggungjawab  dan mencari konsensus dalam kerjasama dengan orang lain.

E. Prinsip-prinsip dalam Pengembangan  Guru sebagai Pemimpin Konstruktivis

Untuk mempersiapkan guru sebagai pemimpin konstruktivis, perlu didesain program yang tepat. Program ini dikembangkan dalam konteks perubahan. Ada beberapa prinsip yang harus mendasari program ini. Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut.

1.    Belajar untuk menjadi guru  merupakan proses sepanjang hidup.

2.    Refleksi dan penyelidikan makna (inquiry) merupakan metode belajar guru. Proses ini  melibatkan guru dalam menguji praktik mengajar mereka dan mengkonstruksikan  pengetahuan yang baru yang akan menuntun pekerjaan mereka kelak.

3.    Guru harus merefleksikan  pengalaman  masa lalu, sekarang dan masa depan mereka di sekolah. Belajar untuk  melihat pengalaman sebagai isi refleksi guru merupakan bagian penting dari perkembangan profesi mereka.

4.    Guru membutuhkan waktu dan kesempatan untuk merefleksikan pekerjaan mereka, masalah-masalah yag terjadi di sekolah dan kerja sama mereka dengan orang lain dalam mengkonstruksi makna.

5.    Untuk mengkonstruksikan makna dalam konteks kolaboratif, guru membutuhkan  kesempatan untuk  berbicara dan mendengar, serta menanggapi pikiran dan keyakinan orang lain.

6.    Grup belajar kolaboratif harus dibangun  untuk menggabungkan berbagai perspektif karena  perbedaan akan memperluas kesempatan untuk  belajar dan merefleksikan dengan lebih baik  dunia yang sangat kompleks.

7.    Konflik merupakan hasil  struktur kolaboratif   yang dapat mengembangkan pembelajaran karena konflik dapat mendorong orang untuk memperluas pemahaman mereka  dan menciptakan kerjasama di atas konflik  yang benar-benar menguntungkan setiap orang.

8.    Berdasarkan masalah-masalah  yang dihadapi, kelompok belajar kolaboratif  harus mengakomodasi perubahan konfigurasi  kepemimpinan.

G. Tinjauan Kritis

Dari pemaparan di atas tampak bahwa seorang guru sebagai pemimpin konstruktivis memfasilitasi proses pembelajaran yang  memungkinkan  partisipan dalam suatu komunitas untuk mengkonstruksikan  makna bersama-sama  yang mengarah pada tujuan  pembelajaran  yang di-shared. Hal ini terlaksana dalam proses pembelajaran partisipatori dimana kepemimpinan dapat dilaksanakan oleh semua partisipan secara fair dengan tanggung jawab yang di-shared. Setiap partisipan  mempunyai kesempatan untuk membentuk  perilaku kepemimpinan konstruktivis.

Kepemimpinan seperti ini menurut hemat kami, merupakan kepemimpinan demokratis. Dalam kepemimpinan demokratis sebagaimana dikatakan oleh John Gastil, anggota suatu organisasi dapat bertindak sebagai  pemimpin  walaupun tidak mempunyai wewenang formal. Kepemimpinan demokratis tidak mengacu pada posisi tertentu tetapi pada perilaku anggota organisasi. Dalam kepemimpinan demokrasi terjadi distribusi tanggungjawab. Kepemimpinan demokratis juga menurut hemat kami dapat dilihat pada dialog dalam kultur kolegalitas. Dalam dialog seperti ini menurut hemat kami terjadi proses perundingan yang menjadi inti demokrasi sebagaimana dikatakan oleh John Gastil. Sama seperti dalam kepemimpinan demokrasi, menurut hemat kami, kepemimpinan konstruktivis menekankan kebebasan dan kesetaraan manusia. Dengan kepemimpinan seperti ini, menurut hemat kami, ada ruang bagi para partisipan untuk  mengaktualisasikan dirinya dengan bebas. Konsekuensinya sekolah benar-benar wadah yang membebaskan  individu.

Kepemimpinan konstruktivis  di sekolah  menurut hemat kami  cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang pluralis. Kami katakan cocok karena guru sebagai pemimpin konstruktivis menerima perbedaan memori, pengalaman, persepsi, pengetahuan terdahulu, asumsi dan keyakinan yang mempengaruhi pengkonstruksian makna di dalam kelas. Pengkonstruksian makna seperti ini menurut  Ratna Wilis Dahar dapat memupuk sikap mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain yang berbeda. Hal ini merupakan kebiasaan yang baik dalam pergaulan dengan orang lain di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang pluralis. (Raymond S.Mpd)

Daftar Pustaka


Dahar, Ratna Wilis.  “Pluralisme dan Konstruktivisme, Membuka Masa Depan Anak-anak Kita: Mencari Kurikulum Pendidikan Abad XXI, ed. Sindhunata Yogyakarta:  Kanisius, 2000), hal.164.
Gastill, Jhon. ”A Definition of Democratic Leadership”, Leadership, ed. Keith Grint. Oxford: Oxford University Press, 2000.
Lambert, Linda Cs. Who Will Save Our Schools?: Teachers as Constructivist Leader.  California: Corwin Press, Inc., 1996.