Oleh: Rikard Rahmat

Pendahuluan

Pro-kontra soal tes dalam dunia pendidikan ternyata tidak hanya berkenaan dengan ujian nasional saja, tetapi juga berkenaan dengan apa yang disebut tes remidial. Di Indonesia, meski sudah menjadi ‘kebiasaan’ sehari-hari di sekolah tes ini tetap saja menyimpan kontroversi sampai sekarang ini.

Pro-kontra berkaitan dengan tes itu sekurang-kurangnya bisa dipetakan menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menyetujui adanya tes remidial; kelompok kedua tidak menyetujui adanya tes remidial; sedangkan kelompok ketiga ingin menarik perspektif yang lebih luas tentang tes itu. Kelompok yang terakhir ini tidak mau terjebak dalam sikap pro dan kontra, melainkan berusaha mengambil jarak dari argumentasi yang sering mengemuka selama ini dan lantas membuat perspektif yang ’lain’.

Garis besar pandangan masing-masing kelompok kira-kira begini: Kelompok pro menyatakan tes remidial itu perlu karena berusaha memenuhi kriteria ketuntasan mengajar (KKM). Kelompok kontra sebaliknya berpendapat bahwa tidak ada kompetensi belajar siswa yang tuntas. Menurut kelompok kedua ini, pendekatan dan prinsip belajar tuntas terbukti cocok untuk model kurikulum berbasis materi, tetapi tidak cocok bagi model kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada jenis sekolah umum, yaitu SD, SMP, dan SMA. Sementara itu, kelompok ketiga beranggapan bahwa tes remidial selalu menempatkan siswa sebagai ’korban’ metodologi pembelajaran yang keliru. Karena itu, menurut kelompok ini, wacana tentang tes remidial seharusnya tidak melulu tertuju pada kegagalan atau bahkan lebih parah kebodohan siswa, melainkan jauh lebih penting dari itu pentingnya mengubah metodologi/cara mengajar guru. Betul bahwa ada yang salah dalam cara belajar siswa, atau ada masalah dalam motivasi belajarnya; akan tetapi, hal itu tidak memalingkan perhatian kita dari kenyataan bahwa sebetulnya adanya tes remidial itu sendiri secara implisit menunjukkan ada yang salah dalam cara mengajar guru sendiri.

Tulisan ini bermaksud untuk mengetengahkan ketiga pandangan itu secara lebih dalam dan runtut. Fokus perhatiannya, tentu saja, adalah pada pandangan yang ketiga. Penulis merasa bahwa kedua pandangan yang pertama sudah banyak dan lazim dibicarakan dalam forum-forum publik; sementara pandangan ketiga jarang sekali mengemuka padahal sangat penting untuk disadari terutama oleh semua pihak yang berhubungan dengan pendidikan/sekolah. Kalau tujuan untuk memperluas perspektif tentang tes remidial terkesan terlalu mewah, tulisan ini sekurang-kurangnya bertujuan untuk membagi salah satu perspektif tentang tes remidial itu; yaitu, tentang perspektif yang ketiga itu.

Untuk mempermudah pembahasan, kami akan membuat alur penulisan, sebagai berikut. Pada bagian pertama (I) akan dibahas tentang pandangan yang pro terhadap terhadap tes remidial. Bagian ini akan langsung disusul bagian kedua (II), yaitu tentang pandangan yang kontra terhadap tes remidial. Setelah bagian I dan II, akan dibuat rangkuman atas kedua pandangan tersebut (III). Bagian keempat (IV) akan mengetengahkan perspektif yang ’lain’, yang lebih luas, terhadap tes remidial. Pandangan Marc Prensky tentang dua tipologi yaitu digital natives dan digital immigrants dalam kaitannya dengan proses pembelajaran di kelas akan sangat membantu kami mengelaborasi bagian ini lebih dalam. Akhirnya, kami akan menutup tulisan ini dengan catatan dan tanggapan ringkas (V). Harapan kami, semoga tulisan ringkas ini memprovokasi wacana yang lebih dalam tentang tes remidial, dengannya membantu memperbaiki cara berpikir dan cara pandang tentang tes remidial dan semua jenis tes pada umumnya sekaligus membantu meningkatkan mutu pembelajaran di kelas.

I. Kelompok Pertama: Tes Remidial Itu Perlu

Umumnya ada dua alasan mengapa tes remidial diperlukan. Pertama, alasan legal-yuridis. Kedua, alasan pedagogis.

Dari kacamata legal-yuridis, penerapan tes remidial di sekolah-sekolah memang memiliki landasan hukum. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)[1] yang diberlakukan berdasarkan Permendiknas 22, 23, 24 Tahun 2006 dan Permendiknas No. 6 Tahun 2007 menerapkan sistem pembelajaran berbasis kompetensi, sistem belajar tuntas, dan sistem pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual peserta didik. Sistem dimaksud ditandai dengan dirumuskannya secara jelas standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang harus dikuasai peserta didik. Penguasaan SK dan KD setiap peserta didik diukur menggunakan sistem penilaian acuan kriteria. Jika mencapai standar tertentu, seorang peserta didik dinyatakan telah mencapai ketuntasan.

Pembelajaran tuntas (mastery learning) dalam proses pembelajaran berbasis kompetensi adalah pendekatan dalam pembelajaran yang mempersyaratkan peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran tertentu.[2]

Pembelajaran tuntas dilakukan dengan pendekatan diagnostik/preskriptif. Strategi pembelajaran tuntas sebenarnya menganut pendekatan individual; artinya, meskipun ditujukan kepada sekelompok peserta didik (klasikal), kegiatan belajar juga mengakui dan memberikan layanan sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual peserta didik sehingga potensi masing-masing mereka berkembang secara optimal.

Dari kacamata pedagogis, para pendukung tes remidial menyatakan bahwa ketuntasan penguasaan SK dan KD merupakan ukuran keberhasilan proses belajar peserta didik. Dengan kata lain, umumnya dikatakan proses pendidikan dalam sistem persekolahan kita belum dikatakan baik apabila peserta didik belum menguasai materi pembelajaran secara tuntas.[3]

Sehubungan dengan itu, belajar tuntas berlandaskan pada beberapa premis, di antaranya: (1) semua individu dapat belajar; (2) orang belajar dengan cara dan kecepatan yang berbeda; (3) dalam kondisi belajar yang memadai, dampak dari perbedaan individu hampir tidak ada; (4) kesalahan belajar yang tidak dikoreksi menjadi sumber utama kesulitan belajar.

Belajar tuntas didasari oleh keyakinan akan kemampuan belajar manusia. Setiap orang bisa belajar (secara tuntas), meski dengan tingkat kecepatan penguasaan yang berbeda-beda. Pendekatan ini juga mengakui bahwa kegagalan seseorang dalam sebuah tes tidak melulu karena ia bodoh, melainkan bisa jadi karena cara belajar yang keliru. Kelemahan ini nantinya akan diperbaiki dalam pembelajaran remidial (remidial teaching). Selain itu, pendekatan ini dianggap fair, sebab mengakui bahwa kondisi fisik-emosional-psikologis setiap orang ketika mengerjakan tes berbeda-beda sehingga berakibat pada hasil yang berbeda pula. Pemberian kesempatan untuk melakukan tes remidial dianggap sebagai realisasi prinsip fairness tersebut.

II. Kelompok Kedua: Tes Remidial Tidak Perlu


Kelompok yang menganggap tes remidial tidak perlu juga didasarkan pada beberapa alasan berikut ini.

Pertama
, yang paling mendasar, pendekatan dan prinsip belajar tuntas (KKM) menyalahi filosofi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada jenis sekolah umum, yaitu SD, SMP, dan SMA. Menurut mereka, dalam model KBK tidak ada kompetensi belajar siswa yang tuntas. Pendekatan dan prinsip belajar tuntas terbukti cocok untuk model kurikulum berbasis materi, tetapi tidak cocok bagi model kurikulum berbasis kompetensi pada jenis sekolah umum, yaitu SD, SMP, dan SMA. Karena jenis kompetensi siswa di sekolah umum masih bersifat umum, tidak terlalu khusus, tidak kaku, dan tidak sekuensial (berurutan ketat sesuai dengan prasyarat kompetensi yang lebih tinggi), tak relevanlah diterapkan ketuntasan belajar. Tidak logis, jika siswa yang belum mampu menulis puisi disuruh mengikuti tes remidial minggu depan dan sim-salabim ia akan mampu dalam satu minggu.

Kedua, tes remidial tidak mempertimbangkan perbedaan potensi dan bakat yang nyata di antara masing-masing siswa. Apalagi kenyataan menunjukkan mata pelajaran yang diremidialkan itu umumnya tidak diminati oleh siswa. Selain faktor cara mengajar guru yang tidak menarik, salah satu faktornya adalah siswa memang tidak memiliki bakat dan potensi di bidang yang diremidialkan itu. Ringkasnya, tes remidial menyeragamkan potensi dan bakat siswa.[4]

Ketiga, implementasi/praktik tes remidial di sekolah-sekolah Indonesia dianggap salah kaprah. Ada dua hal yang mereka kemukakan berkaitan dengan hal ini. (1) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)[5] sudah jelas adalah model kurikulum berbasis kompetensi. Kompetensi adalah kemampuan siswa yang telah terbukti demonstrable, (dapat didemonstrasikan, dapat ditunjukkan), observable (dapat diamati dengan pancaindra), consistent (ajek, cenderung menetap dan bahkan berkembang), specific (khusus, tak terlalu umum), dan integrated (mengintegrasikan pengetahuan atau ranah kognitif, keterampilan atau ranah psikomotor, serta nilai dan sikap atau ranah afektif).

Namun, dalam kenyataan para guru masih dominan menilai siswa dengan menggunakan tes pilihan ganda dan esai dalam tes remedialnya. Menurut alur pandangan ini, kita tidak bisa menilai kompetensi berbicara dalam bahasa Inggris (English speaking) dan kompetensi menulis dalam bahasa Inggris (English writing) dengan dua jenis tes ini. Seharusnya dipakai alat penilaian unjuk kerja (performance) untuk English speaking dan alat penilaian indikator-skor maksimum yang menunjukkan bobot berbeda. Kita tidak bisa menilai kompetensi melakukan percobaan IPA, kompetensi menggunakan alat, kompetensi mengendalikan variabel, dan kompetensi membuat laporan percobaan IPA dengan tes pilihan ganda dan esai. Jika kedua tes ini yang dipakai, jelaslah penilaian itu tidak sahih (valid) karena salah menggunakan alat penilaian. Terjadi mismatch antara alat yang dipakai untuk menilai dan apa yang dinilai. Jika sebuah penilaian tidak sahih, otomatis penilaian itu tak terpercaya (unreliable).

Model tes remidial yang yang objektif-benar-sahih, dan ini juga berlaku untuk tes-tes yang lain seperti UN, adalah yang memasukkan pula bentuk penilaian praktikum dan penilaian portofolio berupa karya siswa dua (2) dimensi yang dimasukkan ke dalam portofolio karena ditulis pada kertas dua (2) dimensi (dimensi panjang dan dimensi lebar).

(2) Tes remidial yang selama ini dilakukan oleh sekolah-sekolah di seantero tanah air jarang sekali didahului remidial teaching (pengajaran remidial). Padahal, syarat mutlak pendekatan belajar tuntas adalah jika siswa tidak mencapai batas lulus KKM, kepadanya harus diberikan pengajaran remidial dengan metode yang berbeda. Misalnya, kalau materi tentang hukum Bernoulli sebelumnya diceramahkan dan ternyata siswa gagal, guru harus mengganti metode dalam pengajaran remidial, misalnya dengan praktikum menggunakan tabung Pitot; setelah itu, barulah siswa itu mengikuti tes remidial.

Keempat, masih ada hubungannya dengan poin kedua di atas, banyaknya mata pelajaran yang diikuti membuat tes remidial menjadi beban baik bagi siswa maupun bagi guru. Bayangkan, misalnya, seorang siswa karena satu dan lain hal terpaksa mengikuti tes remidial untuk 3-4 mata pelajaran. Persoalan menjadi tambah rumit ketika ketiga atau keempat mata pelajaran itu ternyata memang sejak awal tidak disukai atau tidak menjadi bakat/minatnya. Adanya tes remidial lalu menjadi seperti memikul beban berat. Di berbagai negara maju, demikian alur pandangan ini, siswa tidak diwajibkan mengikuti semua mata pelajaran. Terutama pada jenjang SMA, siswa yang bercita-cita menjadi dokter misalnya hanya dituntut lulus ujian nasional untuk tiga (3) mata pelajaran, misalnya Biologi, Kimia, dan Matematika. Siswa yang hendak memasuki fakultas teknik, jurusan teknik mesin misalnya, hanya mengikuti maksimal 4 mata pelajaran dalam ujian nasional seperti Fisika, Matematika, TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi), dan Bahasa Inggris. Siswa yang berencana menjadi ahli hukum hanya memilih mengikuti ujian tiga (3) mata pelajaran, misalnya Sosiologi, Sejarah, dan Pendidikan Kewarganegaraan.

Sistem pendidikan Indonesia seolah tidak mau peduli dan tidak mau belajar dari negara-negara lain yang telah berusaha melayani para siswa sesuai dengan perbedaan individualnya. Seolah-olah kemampuan siswa kita jauh melampaui taraf kemampuan siswa di negara-negara maju, yang lantas mendidiknya menjadi supermen atau superwomen: berupaya menguasai semua hal dan semua bidang, sesuatu yang dalam kenyataan mustahil terjadi. Kenyataan ini merupakan sesuatu yang ironis mengingat KTSP dikatakan berusaha menerapkan sistem pembelajaran yang memperhatikan perbedaan individual peserta didik.

Sementara itu, bagi guru banyaknya tes remidial berarti tambahan pekerjaan; apalagi, banyak sekolah yang tidak menyediakan honor khusus bagi guru-guru yang menyelenggarakan tes semacam ini. Hal itu jelas hanya menyita waktu dan tenaganya saja.

III. Rangkuman

Kedua pandangan di atas bisa diringkaskan sebagai berikut. Menurut kelompok yang pro, memang sudah selayaknya peserta didik menguasai secara tuntas seluruh standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran. Tes remidial dilakukan dalam rangka ketuntasan itu. Tanpa itu, proses belajar mengajar tidak bisa dikatakan berhasil. Alasan legal-yuridis melandasi implementasi tes itu sekaligus memperkuat keyakinan mereka. Sebaliknya, menurut kelompok kontra, tes remidial tidak sesuai filosofi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Tes ini dianggap kental berbau kurikulum berbasis materi, berusaha menyeragamkan potensi dan bakat siswa, menjadi beban baik bagi guru maupun bagi siswa, serta pelaksanaannya ternyata tidak mencerminkan filosofi ketuntasan belajar itu sendiri.

Penulis akan memberi tanggapan ringkas atas pandangan-pandangan mereka di bagian akhir tulisan ini. Sebelum itu, ada satu hal yang patut dicatat. Yaitu, kedua kelompok ini sama-sama baik implisit maupun eksplisit menempatkan kegagalan siswa dalam tes reguler sebagai faktor utama dan satu-satunya di balik pelaksanaan tes remidial. Seperti sudah disinggung sepintas di muka, siswa diperlakukan sebagai ’korban’, sebagai ’objek’ ketuntasan belajar, sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap dilaksanakannya tes remidial.

Paparan di bagian keempat berikut ini mau menunjukkan bahwa ’tes remidial’ dan sejenisnya itu merupakan produk dari ketidakkompetenan (incompetence) guru juga, terutama dalam menyajikan bahan pelajaran secara menarik (fun learning) dan inovatif melalui dukungan teknologi digital. Jadi, adanya tes remidial sekaligus juga menunjukkan secara implisit bahwa ada yang salah dalam cara mengajar guru. Dengan demikian, ’tanggung jawab’ terhadap terjadinya tes remidial tidak melulu ’ditimpakan’ kepada murid/siswa.

IV. Kelompok Ketiga: Perspektif yang ’Lain’ sekaligus Tantangan Masa Depan

Dalam tulisannya dalam jurnal pendidikan ”On The Horizon”[6] Marc Prensky, seorang pemerhati dan konsultan pendidikan ternama menulis bahwa tantangan utama proses belajar mengajar di masa depan adalah guru; yaitu, guru yang profesional, adaptif, melek teknologi, kreatif, dan inovatif. Beginilah penjelasan Persky:

Menurutnya, siswa dewasa ini bukan bagi orang-orang yang menjadi sasaran desain mengajar dari sistem pendidikan kita.[7] Siswa berubah secara dramatis. Yang berubah tidak hanya cara mereka berpakaian, merawat diri, berbicara, gaya, dan seterusnya; melainkan bahkan telah terjadi diskontinuitas yang besar. Faktor utama yang menggerakkan perubahan itu adalah penyebaran teknologi digital sejak dekade terakhir abad ke-20. Komputer, videogame, digital music players, video cams, telepon genggam, email, internet, dan semua bentuk permainan yang dihasilkan oleh abad digital ini. Semua itu menjadi bagian integral dari hidup mereka.

Sebagai akibatnya, lanjut Persky, siswa dewasa ini memikirkan dan memproses informasi secara fundamental berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Perbedaan itu bahkan jauh melampaui apa yang diduga dan disadari oleh sebagian besar guru. “Jenis pengalaman yang berbeda menghasilkan struktur otak yang berbeda pula,”[8] kata Persky mengutip pendapat Dr. Bruce D. Perry dari Baylor College of Medicine. Sangat mungkin bahwa otak para siswa kita secara fisik berubahdan berbeda dari otak kita – sebagai hasil dari perubahan lingkungannya (baca: teknologi digital itu). Namun, terlepas dari benar-tidaknya pernyataan itu secara harfiah, kita dapat mengatakan dengan yakin bahwa pola-pola berpikir (thinking patterns) mereka telah berubah.

Inilah yang disebut dengan net generation atau digital generation, atau dalam istilah Persky sendiri digital natives. Semua siswa kita dewasa ini merupakan native speakers dari bahasa digital komputer, video games, dan  internet. ‘Aksen’ teknologi menjadi bagian integral dari ‘aksen’ mereka juga.

Lalu, istilah apa yang pas untuk para guru? Menurut Persky, mereka adalah digital immigrants. Bahkan menurut para ilmuwan, mereka menempati bagian otak yang berbeda ketika berhadapan dengan teknologi. Sebagaimana halnya semua imigran dalam arti harafiah, ketika belajar para digital immigrants (selanjutnya disingkat DI) umumnya mempertahankan pada tingkat tertentu “aksen lama mereka’, yaitu pola belajar-mengajar dan cara berpikir mereka. Ada banyak contoh ’aksen’ DI. Misalnya, mencetak email atau bahkan meminta sekretaris mencetaknya untuk mereka, perlunya terlebih dahulu mencetak sebuah dokumen yang ada di komputer sebelum membacanya atau menyuntingnya daripada langsung menyuntingnya di layar; membawa seseorang secara fisik ke ruangan kantor Anda untuk melihat sebuah situs menarik daripada mengirimkannya URL.

Menurut Persky, masalah terbesar yang dialami dunia pendidikan kita adalah para guru DI kita, yang berbicara dengan bahasa yang ketinggalan zaman (bahasa dari abad pra-digital), mengajar suatu populasi yang berbicara dengan bahasa yang sama sekali berbeda. Akibatnya, yang terjadi adalah cara mengajar mereka tidak nyambung dengan ’struktur otak dan pengalaman’ para digital natives (selanjutnya: DN). Inilah ciri-ciri DN itu:[9] terbiasa menerima informasi dengan begitu cepat, suka proses pararel dan multi-task, lebih suka melihat grafik terlebih dahulu daripada teks dan bukan sebaliknya, lebih suka akses acak (random access) seperti hypertext. Mereka belajar dengan baik ketika dibuat dalam jaringan (networked), lebih berusaha mengejar gratifikasi dan penghargaan yang sering. Selain itu, mereka lebih suka permainan-permainan (games) daripada proses belajar-mengajar yang kaku dan ’serius’.

Sayangnya, DI biasanya sedikit sekali menaruh perhatian para keterampilan-keterampilan baru ini yang telah diperoleh dan dikuasai oleh para DN melalui serangkaian interaksi dan praktik sebelumnya. Keterampilan-keterampilan ini hampir semuanya asing bagi DI, yang juga mempelajarinya dan mengajarinya dengan begitu perlahan, langkah demi langkah, satu per satu, secara individual, dan di atas semuanya itu secara serius. Menurut Persky, siswa DN tidak sabaran dengan semua hal berikut ini: bahan-bahan kuliah, logika langkah demi langkah, dan cara belajar tell-test. Mereka lebih suka belajar di depan TV atau sambil nonton video-game, terbiasa dengan hiperteks yang cepat, unduh musik, telepon genggam di saku, perpustakaan di laptop mereka, pesan-pesan beamed atau instant messaging.

DI
tidak akan percaya kalau siswanya dapat belajar dengan baik sambil menonton TV atau mendengarkan musik, karena mereka sendiri tidak (bisa/pernah) melakukan hal yang sama. DI berpandangan learning can’t (or shouldnt) be fun.

Lalu, apa hubungan antara semua penjelasan Persky ini dan tes remidial? Saya hanya ingin menegaskan sekali lagi poin penting ini: bahwa faktor kegagalan siswa dalam tes ‘reguler’ yang berbuntut tes remidial itu seyogyanya tidak ditimpakan kepada siswa semata; melainkan, juga pada guru. Siswa generasi sekarang berbeda dengan siswa generasi dulu ketika para guru yang mengajar sekarang masih menjadi siswa-siswa sekolah menengah. Karena itu, metodologi/cara mengajar guru seyogyanya juga adaptif, kreatif, dan inovatif. Untuk sampai ke situ, guru masa sekarang dan guru masa depan, menurut saya, dituntut untuk lebih profesional, melek teknologi agar bisa menyesuaikan diri dengan “struktur otak” para digital natives.

Mungkin betul bahwa sebagian kegagalan dalam tes ‘reguler’ itu disebabkan karena kondisi fisik-emosional-psikologis siswa yang kurang stabil, atau karena siswa itu sendiri malas belajar. Akan tetapi, besar juga kemungkinan bahwa mereka yang gagal itu sebetulnya anak-anak cerdas dan mampu secara intelektual, yang sayangnya tidak bisa menangkap penjelasan guru karena kurang nyambung dengan “bahasa” guru-guru mereka. Hal ini merupakan tantangan bagi para guru di tengah generasi digital natives dewasa ini.

V. Tanggapan

Tulisan ini telah memetakan dua pandangan yang sering mengemuka berkaitan dengan tes remidial sekaligus mengetengahkan perspektif ’lain’ yang jarang terungkap. Lalu, bagaimanakah sikap kita yang terbaik terhadap tes remidial itu?

Pada bagian ini, saya akan menunjukkan bahwa kedua pandangan dia tas (pro dan kontra) sama-sama mengandung kelebihan dan kelemahan. Lalu saya akan menunjukkan mengapa perspektif yang ‘lain’ itu perlu dipertimbangkan untuk mengisi kelemahan kedua perspektif itu.

“Jalan Tengahnya” begini: tes remidial itu perlu, tetapi tidak cukup kalau hanya mengukur pengetahuan tingkat rendah (kognisi). Enduring understanding siswa terhadap setiap mata pelajaran, bagaimanapun juga, sangat penting. Di Indonesia, tes remidial itu memang identik dengan pilihan ganda dan esai, dan jarang terdengar tes remidial berupa performance test (unjuk kerja). Itu tidak berarti tes remidial untuk mengukur pengetahuan tingkat rendah itu tidak penting; hanya, perlu berjalan seiring dengan performance test. Sebab, bagaimanapun juga penguasaan dan pemahaman basic knowledge itu penting untuk menguasai pengetahuan tingkat yang lebih tinggi.

Untuk mengantisipasi terlalu banyak mata pelajaran yang diremidialkan, hal mana akan sangat merepotkan siswa dan guru, menurut saya tidak semua mata pelajaran diremidialkan. Cukup mata pelajaran tertentu saja, yaitu mata-mata pelajaran penting dan mata pelajaran yang memang sesuai dengan minat dan bakatnya. Karena itu, guru  harus benar-benar mengenal potensi dan bakat masing-masing siswanya. Bagaimana menentukannya? Menurut saya siswa dan guru perlu membuat semacam kontrak di awal semester. Guru seyogyanya membicarakan hal ini dan membuat kebijakan yang baik bagi siswa (-siswa)nya. Selain itu, melalui dialog dan interaksi personal dengan masing-masing siswa.

Catatan penting berikutnya adalah mutlak perlu adanya remidial teaching, misalnya after class. Tanpa itu, tes remidial yang dilaksanakan bakal mengulangi kesalahan yang sama.

Di atas semuanya itu, guru di generasi digital natives ini dituntut untuk lebih profesional, melek teknologi sehingga bisa menciptakan proses belajar mengajar yang menarik dan menyenangkan, yang nyambung dengan “bahasa” para generasi digital natives itu.

Daftar Pustaka

Buku:
BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). 2006. Standar Isi 2006 Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta.

Gredler, Margaret E. 2001. Learning and Instruction. Theory Into Practice. New Jersey. Merrill: Prentice Hall

Marc Prensky dalam  jurnal “On The Horizon”, MCB University Press, Volume. 9 No. 5,  October 2001.

Mulyasa, E. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Sebuah Panduan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sukandi, U. Karim, SKA, Maskur (2000), Pelatihan Belajar Aktif, Jakarta: The British Council

Zainul, Asmawi. 2005.  Penilaian Hasil Belajar. Jakarta: PAU-PPAI, Universitas Terbuka.

Situs:

http://www.docstoc.com/docs/2862090/8PEMBELAJARAN-REMIDIALˍ270208.

http://blog.persimpangan.com/blog/2007/08/04/remidial-dan-motivasi-belajar-para-siswa/

http://id.wikipedia.org/wiki/Belajarˍtuntas

http://www.docstoc.com/docs/2862090/8PEMBELAJARAN-REMIDIALˍ270208.

http://209.85.173.132/search?q=cache:PIYwaD-3mQgJ:sman2-.

http://sbelen.wordpress.com/.)


[2] Dengan kata lain, belajar tuntas (mastery learning) adalah filosofi pembelajaran yang berdasar pada anggapan bahwa semua siswa dapat belajar bila diberi waktu yang cukup dan kesempatan belajar yang memadai. Selain itu, dipercayai bahwa siswa dapat mencapai penguasaan akan suatu materi bila standar kurikulum dirumuskan dan dinyatakan dengan jelas, penilaian mengukur dengan tepat kemajuan siswa dalam suatu materi, dan pembelajaran berlangsung sesuai dengan kurikulum. Dalam metoda belajar tuntas, siswa tidak berpindah ke tujuan belajar selanjutnya bila ia belum menunjukkan kecakapan dalam materi sebelumnya. (Lih. http://id.wikipedia.org/wiki/Belajarˍtuntas)

[3] Kenyataannya di sekolah-sekolah di Indonesia, banyak peserta didik tidak menguasai materi pembelajaran meskipun sudah dinyatakan tamat dari sekolah. Tidak heran, mutu pendidikan secara nasional masih rendah. (Lih. http://209.85.173.132/search?q=cache:PIYwaD-3mQgJ:sman2-.)

[4] Usaha penyeragaman itu barangkali pernah membuat stres para siswa berikut ini, yang kemudian menjadi tokoh-tokoh terkenal. (1) Winston Churchill, perdana menteri Inggris di Perang Dunia II, pemimpin dan orator amat hebat abad ke-20, tampak bodoh waktu masih kecil. Dia mendapat nilai buruk di sekolah. Dia juga gagap kalau berbicara. Sampai-sampai ayahnya berpikir, bahwa bila dewasa ia tidak akan dapat hidup di Inggris. (2) Bethoven diremehkan gurunya karena ia tidak bisa membuat perkalian dan pembagian. (3) Charles Darwin, pendekar teori Evolusi, berprestasi amat buruk di sekolah. Teorinya amat hebat. Waktu masih duduk di bangku sekolah, ayahnya pernah mengatakan, ia hanya memalukan keluarga. (4) Rapor Stephen Hawking, astronom penemu lubang hitam (black hole), yang masih hidup sampai sekarang di University of Cambridge, Inggris, pada merah waktu di SMA. Ayahnya amat frustrasi. (5) G.E.Chesterton, penulis kenamaan, tidak dapat membaca sampai di kelas 3. (6) Emile Zola, sastrawan besar, mendapat nilai nol dalam ujian akhir sastra. Bahkan, seorang guru memukulnya karena menganggap ia suka “bingung” dan mengajukan terlalu banyak pertanyaan. (7) Presiden Amerika Serikat Woodrow Wilson bahkan belum bisa membaca sampai berusia 11 tahun. (8) Pernah orang tua Albert Einstein amat cemas terhadap prestasi sekolah Einstein yang sangat rendah. Nilai yang baik hanya untuk pelajaran Matematika. Namun, awal SMA malah gagal dalam pelajaran ini. Ia suka melamun. Waktu berusaha masuk Institut Politeknik Swiss, ia malah gagal tes dan harus pindah ke sebuah sekolah di kota kecil, dan indekos di rumah salah seorang gurunya. (Lih. http://sbelen.wordpress.com/.)

[6] Bagian ini berhutang budi pada tulisan Marc Prensky dalam  “On The Horizon”, MCB University Press, Volume. 9 No. 5, October 2001. “On The Horizon”  adalah sebuah jurnal pendidikan berbasis di Amerika. Naskah/tulisan aslinya penulis unduh dari internet dalam bentuk Pdf berjudul “Digital Natives, Digital Immigrants”.

[7] Kutipan aslinya: “Our students have changed radically. Today’s students are no longer the people our educational system was designed to teach.” (Ibid.)

[8] Kutipan aslinya: “Different kinds of experiences lead to different brain structures,“ says Dr. Bruce D. Perry of Baylor College of Medicine. (Ibid.)

[9] Kutipan aslinya: “Digital Natives are used to receiving information really fast. They like to parallel process and multi-task. They prefer their graphics before their text rather than the opposite. They prefer random access (like hypertext). They function best when networked. They thrive on instant gratification and frequent rewards. They prefer games to “serious” work.” (Bdk. Ibid.)

Penulis : Tessa Febiani, ST
Mars adalah planet keempat dari Matahari. Mars dijuluki sebagai Planet Merah karena ada debu berwarna kemerahan yang melingkupinya. Manusia belum pernah mencapai Mars, tetapi Planet ini sudah pernah dikunjungi oleh kendaraan jelajah yang identik, yaitu Spirit dan Opportunity pada tahun 2004. Misi dari kendaraan jelajah ini adalah untuk menemukan bukti adanya air dan kehidupan di Mars. Dengan adanya dua kendaraan jelajah, misi masih bisa berhasil jika salah satu kendaraan rusak.

ADA APA DI TUNDRA?
Cahaya warna-warni yang indah memenuhi langit tundra pada musim dingin. Kenampakan alam ini disebut “Aurora Borealis” atau “Cahaya Utara”. Aurora Borealis hanya berlangsung beberapa menit dan kemudian lenyap. Di masa lalu, cahaya ini menimbulkan mitos tentang dewa dan monster. “Aurora” adalah Dewi fajar Romawi dan “Borealis” adalah Dewa angin utara Yunani.

Penulis : Winny Rachmayanti, S.Si
Hutan hujan tropis Sumatera dicantumkan dalam daftar Situs Warisan Dunia, melalui sidang ke 28 World Heritage Commitee, yang diselenggarakan di Suzhou China pada bulan Juli 2004. Selain Hutan Hujan Tropis Sumatera, Indonesia juga memiliki beberapa tempat yang dimasukan ke dalam situs warisan dunia. Beberapa di antaranya adalah Candi Borobudur, Candi Prambanan, Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Lorentz, dan situs penemuan manusia purba di Sangiran.

Tsunami tertinggi
Gelombang tsunami paling tinggi yang pernah tercatat, terjadi di Alaska pada tahun 1958. Ketinggiannya mencapai 500 meter karena ombak dipaksa memasuki teluk yang sempit. Untungnya, tsunami ini hanya merenggut dua korban jiwa. Selain disebabkan oleh gempa bumi, tsunami juga bisa terjadi karena tumbukan meteorit. Jika meteorit berdiameter 10 km jatuh di laut maka akan terjadi ombak setinggi 3 km yang akan membanjiri benua terdekat.