Same access of opportunity for all citizens
Tokoh ini sangat sulit ditemui. Profesinya sebagai seorang pengajar, peneliti, dan pengamat ekonomi telah membuatnya menjadi orang yang super sibuk. Untuk itu, Campus Magz pun tidak menyia-nyiakan kesempatan saat bertemu dengannya di acara Bedah Buku The Corporation yang diadakan Penerbit Erlangga. Berikut hasil perbincangan Campus Magz yang patut kamu simak.
Apa kegiatan Anda sesudah proses pencalonan gubernur DKI 2007 berakhir?
Tetap mengajar. Saya mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, program S1 dan program S2, di Universitas Tanjungpura Pontianak, juga di Undiknas Denpasar. Di luar dunia kampus, saya menjadi chief advisory board di IRSA (Indonesia Research & Strategic Analysis). IRSA melakukan riset yang berfokus pada kebijakan publik. Di LPEM (Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat) FE UI, saya masih aktif juga, sebagai penasehat. Saya juga melakukan aktivitas politik sebagai ketua umum Pergerakan Indonesia, organisasi yang bertujuan memberdayakan politik lokal dan mengembangkan ekonomi yang berbasis rakyat dengan juga memberdayakan potensi ekonomi lokal.
Bagaimana cara Anda membagi waktu di antara segudang aktivitas mengajar dan nonmengajar itu? Ada kiat khusus? Ah, tidak ada itu kiat-kiat khusus. Saya hanya melihat jadwal saja, kalau ada yang masih kosong, saya masukkan kegiatan.
Bagaimana awal karir Anda sebagai dosen? Saya mengajar sejak tahun 1981. Sebenarnya, saya tidak bercita-cita menjadi dosen. Kebetulan, hidup saya mengalir begitu saja. Saat saya berada di tahun ketiga kuliah, orang tua saya meninggal. Saya tidak memiliki warisan dan dana pensiun sedangkan saya harus survive dan mendukung kehidupan adik-adik serta ibu saya. Kebetulan, ada posisi kosong sebagai peneliti di LPEM. Maka, saya pun menjadi peneliti, dengan pangkat paling rendah, yaitu Junior Research Assistant A. Sebagai peneliti di sana, saya wajib menjadi asisten dosen. Itulah awalnya saya mengajar. Totally by accident.
Apakah dulu Anda menikmati dunia mahasiswa yang semboyannya: “Buku, Pesta, dan Cinta”? Yang berlaku untuk saya, ya, cuma “buku”. Dua lainnya tidak berlaku. Kalau mau dibilang “pesta”, dulu saya tidak pernah pesta-pestaan karena saya tidak mampu. Kalau mau dibilang “cinta”, dulu saya juga tidak cinta-cintaan karena saya tidak ada waktu.
Maaf sebelumnya, apakah sewaktu kuliah dulu Anda termasuk orang yang gaul?
Karena dulu terhimpit keadaan ekonomi, sejak awal saya mencari aktivitas-aktivitas yang menghasilkan uang, seperti survei. Sebetulnya, saya senang berorganisasi. Saya menjadi aktivis yaitu sebagai anggota BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa). Saya juga ikut Pelatihan Kepemimpinan. Saya juga suka jurnalisme, sehingga saya aktif dalam pers mahasiswa. Saya pernah ikut pendidikan pers sampai tingkat nasional. Gaulnya saya ya begitu itu, dengan beraktivitas, dan saya berusaha menggeluti hal-hal yang positif.
Bagaimana pendapat Anda tentang mahasiswa Anda sekarang? Kita tinjau saja input-nya, yaitu lulusan SMA-nya. Jika dibandingkan dengan 20-30 tahun yang lalu, input mahasiswa sekarang sebenarnya lebih baik; secara intelektualitas, secara IQ, secara kesehatan, maupun secara finansial, rata-rata lebih baik. Mahasiswa sekarang juga punya kesempatan yang jauh lebih luas dalam hal akses informasi ketimbang mahasiswa dulu. Artinya, mereka lebih mudah untuk belajar dan seharusnya mereka lebih banyak membaca. Akan tetapi, ada perbedaan perilaku.
Mahasiswa dulu kritis pada lingkungan sekitar, sedangkan mahasiswa sekarang tidak begitu kritis. Penyebabnya, waktu kuliah yang dibatasi, yang berbeda dengan dulu, ketika kuliah bisa abadi dan ada mahasiswa abadi. Perkuliahan sekarang juga lebih padat, dan lokasi kampus seperti UI yang di pinggir kota juga berpengaruh. Akibatnya, kalau saya bertanya tentang isu-isu nasional yang sedang marak, mahasiswa sekarang banyak yang tidak nyambung. Mungkin karena pikirannya cuma rangkaian kuliah-lulus-kerja.
Bagaimana pendapat Anda tentang sistem pendidikan di tingkat sebelum perguruan tinggi? Kita tertinggal. Kalau kita mau lihat potretnya, kita bisa melihat data Unesco. Konon, UNESCO memberi penilaian terhadap pendidikan bangsa-bangsa di dunia berdasarkan tiga tolak ukur, yaitu literacy, math-science competence, dan problem solving capacity. Ternyata, skor Indonesia sangat rendah, semuanya di bawah 400, dan ini kalah dibanding negara-negara tetangga kita yang dulunya di bawah kita. Saya kira ini adalah produk dari satu sistem pendidikan yang harus dibenahi.
Menurut Anda, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk memperbaiki hal ini? Harus ada perubahan drastis. Paradigmanya harus diubah. Saat ini, pendekatan pemerintah didasarkan pada input. Artinya, untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, yang diutak-atik pemerintah adalah input pendidikan. Yang dimaksud input itu adalah: anggaran pendidikan, gedung sekolah, jumlah guru, dan buku-buku yang dipakai. Padahal, pemerintah seharusnya memikirkan output pendidikan, seperti meningkatkan skor yang tercantum pada data UNESCO tadi, misalnya. Pemerintah bisa menargetkan skor literacy, skor math-science, dan skor problem solving siswa Indonesia dalam jangka waktu tiga tahun harus dapat menembus nilai 450, agar siswa kita bisa kompetitif di kancah internasional. Sesudah itu, pemerintah memilah-milah apa saja yang diperlukan untuk mencapai target itu. Setelah dibuat target dan kiat mencapainya, baru kita buat anggarannya. Itu logis, kan.
Bagaimana dengan pendidikan tinggi, apakah itu hak semua orang? Ya. Kepada seluruh warga negara harus dibuka akses untuk mencapai pendidikan yang setinggi-tingginya. Same access of opportunity. Artinya, orang miskin yang pandai wajib dibiayai oleh negara untuk melanjutkan pendidikannya. Jika sampai terjadi ada orang yang secara intelektual mampu (apalagi cemerlang) tapi tidak kuliah di perguruan tinggi karena masalah ekonomi, maka pemerintahnya itu berdosa besar.
Ini cukup banyak terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, saya sendiri, kalau saya terlambat lahir, mungkin juga saya tidak bisa kuliah. Dulu, uang kuliah saya kan cuma 15 ribu per semester. Sekarang, mana dapat segitu.
Bagaimana aktivitas membaca Pak Faisal? Dalam sebulan, minimal ada 10 hari saya di luar kota. Selama di luar kota itu saya banyak membaca. Paling tidak sekali bepergian, satu buku saya tamatkan. Buku yang saya baca, saya habiskan kira-kira dalam dua sampai tiga hari. Saya banyak membeli buku (asing) kalau saya sedang ke luar negeri karena harga buku (asing) di Indonesia, ternyata lebih mahal dibandingkan dengan di Singapura atau Malaysia. Sekali belanja saya bisa membeli puluhan buku.
Bagaimana pendapat Pak Faisal tentang pembajakan karya intelektual, khususnya buku? Saya sangat marah kalau mahasiswa saya memakai buku bajakan. Pembajakan adalah kejahatan terhadap peradaban. Kemajuan suatu masyarakat bergantung pada inovasi, pada karya. Mana ada negara yang pembajakannya tinggi, peradabannya tinggi? Negara yang tidak menghargai karya orang lain dengan cara bajak-membajak niscaya tidak akan pernah maju. Jadi, untuk masalah pembajakan ini, penegakan hukum memang harus tegas. Akan tetapi, di samping itu juga harus ada program untuk membuat harga buku semurah mungkin, agar buku lebih kompetitif dalam persaingannya dengan barang-barang lainnya, karena kondisi perekonomian negara kita sekarang memang sedang berat. Teks: WMS