DUA BELAS tahun lebih sejak reformasi bergulir, tak ada perubahan yang signifikan atas kondisi bangsa ini. Kemiskinan masih menimpa sebagian masyarakat Indonesia. Angka pengangguran menunjukkan jumlah yang meningkat tiap tahunnya. Di sana sini masih sering kita dengar berita tentang kelaparan dan balita kurang gizi.
Sementara itu, kebobrokan moral juga menimpa banyak pejabat Negara kita, dari tingkat pusat hingga daerah. Dari lembaga eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Berita tentang ketidakjujuran, KKN, dan suap-menyuap di kalangan pejabat Negara tak henti-hentinya menghiasi media massa. Tiap hari kejahatan kerah putih tak kian berkurang, tetapi malah makin bertambah dengan modus-modus baru. Seakan ada saja cara dan jalan untuk mengorupsi uang Negara, menggelapkan uang rakyat.
Gagalkah reformasi Mei 1998? Di manakah para aktivis 1998 yang dulu menggembar-gemborkan perubahan, pemberantasan koupsi, dan perbaikan sistem hukum? Larikah mereka sekarang, setelah berhasil menumbangkan rezim otoriter Orde Baru? Ataukah kini mereka bungkam dan tak berkutik setelah merasakan empuknya kursi kekuasaan, dan setelah merasakan manisnya uang berlimpah?
Pepatah Arab mengatakan, Syubban al-yawm rijal al-ghad (pemuda pada hari ini adalah penguasa/ tokoh di masa depan). Dengan demikian, pemahaman terbaliknya mengatakan, penguasa hari ini adalah para pemuda di masa lampau. Secara lebih spesifik, orang-orang yang duduk di kursi kekuasaan pada saat ini adalah para mahasiswa pada masa lampau. Dalam konteks ini penulis mengamini apa yang ditulis Hammidun Nafi’ S. di rubrik ini (14/8) bahwa para koruptor sekarang adalah mahasiswa generasi-generasi sebelumnya.
Ada apa dengan sistem pendidikan tinggi kita, hingga produk yang dihasilkan adalah generasi yang akrab dengan ketidakjujuran, dan terbiasa dengan manipulasi? Apa yang terjadi dengan pendidikan di kampus, hingga produk yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang tak peka terhadap penderitaan rakyat?
Melihat karut-marut kondisi politik, ekonomi, dan sosial bangsa Indonesia saat ini, kita patut mempertanyakan efektivitas pendidikan yang diselenggarakan di perguruan tinggi. Kampus yang diharapakann menjadi kawah candradimuka untuk menempa calon-calon pemimpin sejati di masa depan, kini malah menjadi pabrik penghasil calon-calon koruptor.
Kampus yang sejatinya menjadi tempat pendidikan bagi calon pejuang nasib rakyat kini malah menjadi agen kapitalisme yang hanya menghamba pada pasar. Kampus pun kini hanya mengajarkan mahasiswanya bagaimana mendapatkan nilai akademik setinggi-tingginya, agar jika lulus nanti mudah terserap pasar tenaga kerja. Masalah kejujuran dipikir belakangan.
Bergeser sedikit kepada kegiatan ekstra kampus, kita akan mendapati kumpulan mahasiswa yang sangat bersemangat belajar organisasi. Dengan bergabung ke dalam organisasi kemahasiswaan mereka berharap bisa belajar berpolitik. Dan memang mereka belajar bagaimana memenej organisasi dengan baik, serta bagaimana melakukan lobi-lobi politik yang efektif. Namun kemampuan teknis berorganisasi yang mereka kuasai itu akhirnya digunakan untuk memanipulasi dan menyalahgunakan kekuasaan yang mereka pegang. Lepas dari kampus, mereka terseret oleh jaringan patronase politik-kekuasaan yang hanya menguntungkan individu dan kelompok mereka sendiri. Rakyatlah yang lagi-lagi menjadi korban.
Pendidikan Karakter
Sudah saatnya kampus menggalakkan pendidikan karakter secara kongkrit bagi mahasiswanya. Pencapaian intelektualitas dan nilai-nilai akademik harus dibarengi dengan penanaman moral dan akhlak yang bagus. Kemampuan manajerial dan sosial mahasiswa harus disertai dengan sifat-sifat jujur, ikhlas, orientasi pengabdian, dan rendah hati. Ini ditujukan agar mahasiswa tak hanya pintar secara intelektual dan sosial, namun juga memiliki integritas moral yang bagus, serta mempunyai empati dan solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan sekelilingnya.
Pendidikan karakter yang idealnya ditanamkan sejak dini di lembaga pendidikan dasar dan menengah, seharusnya lebih ditingkatkan pada jenjang pendidikan tinggi. Sebab peserta didik di lingkungan kampus mempunyai kepentingan langsung dan praktis terhadap karakter-karakter positif, serta lebih dekat untk terjun dalam kehidupan riil di masyarakat. Dengan demikian karakter-karakter positif bagi mahasiswa merupakan keniscayaan dan kebutuhan yang mendesak.
Secara teknis, penanaman karakter positif akan lebih efektif dan mengena apabila dilakukan melalui keteladanan. Dalam hal ini pihak-pihak yang tekait dengan penyelenggaraan pedidikan di kampus harus turut ambil bagian dalam memberikan keteladanan yang baik kepada mahasiswa. Dosen, pegawai, dan mahasiswa senior harus memberikan contoh perilaku jujur, disiplin, kreatif, kritis, d.l.l. kepada mahasiswa yunior. Dengan lingkungan yang kondusif, penyemaian karakter positif akan lebih mudah diterima dan diteladani mahasiswa baru.
Selain melalui keteladanan para sivitas akademika, pendidikan karakter bagi mahasiswa juga bisa dilakukan melalui pembangunan kultur akademik yang baik di lingkungan kampus. Dengan membiasakan diri menghindari plagiasi dalam pembuatan karya ilmiah, serta mengerjakan tugas-tugas kuliah secara jujur, berarti mahasiswa telah menanamkan karakter positif dalam dirinya.
Satu hal lagi yang merupakan media pendidikan karakter bagi mahasiswa adalah melalui integrasi pendidikan karakter tersebut ke dalam mata kuliah-mata kuliah yang diajarkan. Penanaman karakter positif seyogianya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dari bidang keilmuan yang dipelajari. Sebab sikap moral yang baik akan menjadi fondasi yang bagus atas segala bidang keahlian. Dengan demikian, apapun profesi yang ditekuni mahasiswa nantinya, jika dia memiliki integritas moral yang tangguh, dia akan memberikan dampak positif bagi diri dan masyarakatnya kelak.
Karakter positif merupakan hasil pendidikan dan pembiasaan yang dimulai sedari kecil, bukan hal yang instan. Karena itu, keluarga, masyarakat, dan sekolah berperan sangat signifikan dalam pembentukan karakter seseorang. Pembentukan dan pematangan karakter ini akan mencapai klimaksnya di lingkungan perguruan tinggi. Karena itu, lingkungan kampus harus dibuat sebaik mungkin sebagai media pengembangan karakter positif bagi calon-calon pemimpin di masa depan. [*]