Minggu lalu (7/10/12) aku berkesempatan mengunjungi Surakarta, kota budaya nan eksotis. Pagi itu aku memenuhi undangan bedah buku Apa Yang Berbeda dari Guru Hebat terbitan Erlangga di Hotel Arini, Jl Brigjen Slamet Riyadi.
Sebelum acara, aku sempat menikmati panorama kota dan sudut-sudutnya yang menawarkan nilai-nilai budaya Jawa. Di antaranya, Taman Budaya Surakarta, alun-alun, pasar seni, dan kawasan asri di sekitar kampus UNS.
Pikiran pun menjadi lebih segar. Bisa jadi bekal sebelum memasuki ruang bedah buku nanti, pikirku.
Buku yang akan dikupas oleh panitia nanti adalah buku yang berisi 12 tokoh pendidik inspiratif dari berbagai daerah. Di antaranya, Sukari (Gresik), Suhardi dan Imron Wijaya (Rembang), Ariani Kusumaningrum (Malang), Lisda Fauziah Harahap (Bogor), Manik Mughni (Bandung), Dhitta Puti Sarasvati (Jakarta), dan Pangesti Wiedarti (Jogjakarta). Ada pula Muzi Marpaung (Tangerang), Setyo Purnomo (Kendal, kini di Balikpapan), Nina Feyruzi Soeparno (Jakarta), dan Mampuono (Semarang).
Diskusi sepanjang pagi hingga siang itu berlangsung gayeng. Para peserta antusias mendengarkan setiap kiprah dan perjalanan 12 guru hebat yang aku tulis dalam buku tersebut. Di antara peserta bedah buku itu, ada guru TK, SD, dan SMP, serta mahasiswa FKIP yang sebagian sudah mengajar di beberapa sekolah.
Sesi tanya jawab lebih riuh. Mereka silih berganti bertanya seputar masalah pendidikan dan problematika guru pada masa saat ini. Aku sendiri mengombinasikan hal-hal aktual di pendidikan saat ini dengan kisah pendidik inspiratif di buku itu. Misalnya, seputar kontroversi ujian nasional (kisah Manik Mughni), menjadi guru kreatif (kisah Setyo Purnomo, Nina Soeparno, dan Dhitta Puti), meretas asa melawan kemiskinan dan bangkit menjadi guru hebat (cerita Suhardi, Sukari, dan Imron Wijaya).
Intinya, kami semua yang hadir hari itu belajar bersama-sama, berdiskusi banyak hal, dan berniat untuk memajukan pendidikan Indonesia. Tentu dengan cara dan bidang yang ditekuni masing-masing.
Di akhir sesi acara, Tanto, salah seorang guru swasta, bertanya kepadaku. Ia bercerita pernah menegur siswanya lantaran tidak mengerjakan PR. Sang murid menganggap gurunya cerewet. ”Saya mesti gimana, Mas?” ucap Tanto.
Aku lantas mengutip nasihat dari Dr Suyatno MHum, dosen Unesa yang juga kepala humas perguruan tinggi negeri di Surabaya tersebut. Yakni, seorang guru harus mampu membawa dunia siswa ke dalam dunianya. Dengan begitu, guru akan mampu memahami permasalahan apa saja yang tengah dihadapi si murid.
Kemudian aku mengutip kalimat motivasi dari buku Mbok Siti Guru Inovatif yang ditulis Suyatno. ”Selain memiliki rencana, guru mesti teratur, teliti, dan tekun menghadapi siswa sesuai karakter dasarnya…”
Mengenai teguran kepada siswa, aku lebih menyarankannya untuk dilakukan dengan cara halus. Sebab, seorang guru tidak hanya dituntut untuk bisa mentransfer pengetahuan dari materi-materi yang diberikan. Lebih dari itu, guru juga diharapkan bisa menjadi orang tua yang baik bagi para siswanya. Guru tidak hanya bertugas mengajar, tapi juga mendidik murid-murid mereka menjadi generasi yang berwawasan baik sekaligus memiliki moral dan akhlak yang baik pula.
Tentang teguran, aku justru terkesan dengan apa yang pernah dilakukan oleh Mohammad Natsir, pendiri Masjumi yang juga tokoh pergerakan kemerdekaan RI.
Ia dikenal sebagai pribadi yang jujur, sederhana, dan pendidik yang dihormati oleh semua kalangan. Suatu ketika Anies, anak Sitti Muchliesa (putri sulung Natsir), berkunjung ke rumah kakeknya (Natsir) di Jalan Cokroaminoto, Jakarta. Anies mengenakan rok mini yang tengah menjadi tren/mode pada saat itu.
Tatkala Anies hendak pamit pulang, Natsir memberinya uang dan berkata, ”Ini untuk beli rok panjang.
Sebuah teguran halus. Siapa pun tidak akan menyangkal bahwa teguran halus jauh lebih mengena ketimbang harus menegur dengan keras dan bernada tinggi. Kita tak perlu harus memarahi anak-anak didik saat mereka melakukan kekeliruan atau kesalahan.
Aku sadar bahwa menjadi orang tua pada masa seperti sekarang sangat berat. Apalagi di tengah arus kemajuan dan perkembangan teknologi yang sedemikian cepat.
Kendati demikian, anak-anak adalah titipan Tuhan. Tanggung jawab besar. Semuanya bergantung pada orang tua, yakni mendidik anak-anaknya menjadi manusia yang berguna atau sebaliknya.
Ke depan tugas, tanggung jawab, beban, dan tantangan sebagai guru semakin berat. Namun, akan selalu hadir guru-guru hebat. Yakni, guru yang mampu melindungi siswa dalam tumbuh dan berkembang.
Must Prast, editor Jawa Pos, Sidoarjo, 10 Oktober 2012 http://mustprast.wordpress.com