Written by M Basuki Sugita
Feb 05, 2007 at 08:48 AM
I follow the Moskwa
Down to Gorky Park
Listening to the wind of change
An August summer night
Soldiers passing by
Listening to the wind of change Sepenggal lirik kelompok grup rock Scorpions asal Jerman berjudul Wind of Change di atas secara jitu menggambarkan arus perubahan setelah tembok Berlin roboh tahun 1989.
Tembok Berlin sebagai simbol perang dingin tidak kuasa menahan keinginan anak manusia yang ingin melihat perdamaian. Lengkingan tinggi vokalis Klaus Meine menyadarkan kita akan datangnya arus perubahan. Dan arus perubahan tersebut perlu disambut gembira karena diyakini akan membawa banyak manfaat.
Dalam konteks yang hampir sama, arus perubahan juga terjadi dilingkup pendidikan nasional. Mulai tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau akrab disebut Kurikulum 2006. KTSP memberi keleluasaan penuh setiap sekolah mengembangkan kurikulum dengan tetap memerhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar.
Sebelum KTSP diluncurkan, Depdiknas mengumpulkan sejumlah sekolah negeri yang dinilai unggulan di Malang, Jawa Timur, untuk diberi penataran. Sekembalinya ke daerah, sekolah tersebut diminta menularkan ilmunya. Dengan sistem getok tular sederhana ini, misi dan visi Depdiknas mudah sampai ke akar rumput.
Pertanyaan mendasar, apakah KTSP akan dimanfaatkan semaksimal mungkin sekolah untuk meningkatkan potensi yang dimiliki? Perlu diingat, KTSP tidak berjalan maksimal jika para pejabat Depdiknas tidak berubah lebih dahulu. Tanpa semangat perubahan makna KTSP bak macan ompong.
Jalur birokrasi
Jalur birokrasi dunia pendidikan di Tanah Air adalah Depdiknas berada di puncak piramida teratas. Di bawahnya baru Kanwil P dan K masing-masing provinsi. Kanwil ini membawahi Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kota. Dan alur akar rumput sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri, tepat di bawah Kantor P dan K tingkat kabupaten dan kotamadya itu.
Artinya, Kantor P dan K kabupaten dan kota punya kedudukan strategis dan sinergi sebagai penghubung kepentingan pemerintah dan sekolah. Karena itu, maju mundurnya sebuah sekolah dan pendidikan suatu daerah sebenarnya juga tergantung seberapa jauh kinerja Kantor P dan K kabupaten dan kota. Bukan rahasia lagi kinerja kantor yang satu ini masih jauh panggang dari api.
Harus diakui, KTSP merupakan batu loncatan kemajuan pendidikan. Penyusun rencana kerja setahun penuh memang membantu meningkatkan kinerja. Dari rencana inilah sekolah menapak kerja atas garis-garis yang disusun dewan guru dengan persetujuan komite sekolah sebelum disahkan Kantor P dan K setempat.
Sejumlah sekolah setelah KTSP diberlakukan langsung mengembangkan kreativitasnya. Sebagai contoh di SMP tempat kerja penulis, mulai tahun ini pemilihan ketua OSIS dibuat seperti mekanisme pemilu. Antusiasme anak tinggi dan ini juga pelatihan demokrasi dan politik sejak dini.
Seyogianya sebelum sekolah menyusun KTSP, Kantor P dan K kabupaten dan kota lebih dulu membuat rencana kerja setahun ke depan. Atau jangan-jangan kantor tersebut tidak pernah merancang kegiatan satu tahun pelajaran? Sepanjang yang penulis ketahui belum pernah ada rencana kerja Kantor P dan K disosialisasikan lebih dulu ke sekolah-sekolah. Mekanisme grobyakan justru yang sering mencuat.
Sebagai contoh kegiatan lomba-lomba mata pelajaran, siswa berprestasi (siswa teladan), kesenian dan olahraga belum jelas kapan dilaksanakan. Demi menjunjung fair play sebaiknya semua kegiatan tingkat kabupaten atau provinsi disosialisasikan jauh-jauh hari sebelumnya. Jika perlu setiap awal tahun pelajaran Kantor P dan K juga membuat semacam KTSP yang berisi kegiatan khususnya lomba-lomba suatu daerah satu tahun ke depan.
Persaingan
Sejauh ini tingkat persaingan antarsekolah sedemikian ketat. Penjadwalan penting karena hasil lomba menjadi semacam prestasi sekolah. Tapi kenyataan di lapangan berbicara lain. Ada beragam kepentingan yang membuat hanya sekolah tertentu lebih diperhatikan pejabat daerah. Acap terjadi peserta lomba ke tingkat provinsi hanya sekadar tunjukan sesuai selera pejabat daerah.
Besar kemungkinan rencana kegiatan itu ada tetapi hanya sekolah tertentu di lingkaran kekuasaan tahu lebih dulu. Buktinya segelintir sekolah sudah menyiapkan calon peserta lomba jauh hari sebelumnya. Pengalaman seorang kepala SD di Kudus, beberapa tahun silam, undangan berbagai lomba biasanya datang mendadak. Namun setelah mendekati pejabat kecamatan, kurang beberapa bulan kalau ada lomba sudah diberi tahu dulu. "Untuk itu semua paling tidak kami saban tahun kasih parsel lebaran," ujar kepala SD itu.
Olimpiade
Hanya lomba Olimpiade Sains Nasional (OSN) yang dijadwalkan lengkap setahun sebelumnya. Namun, itu belum cukup karena mencari materi lomba di daerah sulitnya minta ampun. Penulis baru tahu materi lomba setelah seorang siswa kami berhasil maju tingkat provinsi. Itu pun diberi pesan pejabat, soal OSN tidak boleh disebarluaskan ke sekolah lain.
Kalaupun sekolah berhasil maju lomba ke tingkat provinsi tidak tampak usaha pejabat daerah membantu memfasilitasi persiapan. Semua diserahkan ke sekolah, mulai mencari pelatih mumpuni dan materi soal-soal sampai pembiayaan. Muncul anekdot siapa yang menang lomba kabupaten malah celaka tiga belas.
Kinerja pejabat daerah seperti ini yang kini tampak jelas di permukaan. Tidak mengherankan pemenang di berbagai lomba hanya sekolah tertentu. Tanpa pemerataan kesempatan sulit bagi sekolah-sekolah untuk mengembangkan potensinya.
Oleh sebab itu, mumpung KTSP masih hangat tidak ada salahnya kinerja Kantor P dan K lebih dulu dibenahi. Waktu mendatang seyogianya Depdiknas lebih adil memfasilitasi kepentingan sekolah. Arus perubahan yang kini tengah bertiup kencang jangan sampai padam. Semua hanya butuh kemauan baik belaka.
M BASUKI SUGITA - Guru, Tinggal di Desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah
Sumber: Kompas Cyber Media