Terjadinya krisis karakter bangsa saat ini disebabkan oleh adanya disorientasi di masyarakat. Hal ini berkaitan juga dengan pendidikan formal di Indonesia yang lebih menekankan pada aspek kognitif (pengetahuan) dan sedikit sekali aspek afektif (sikap) dan psikomotorik (perilaku). Demikian yang disampaikan Prof.Dr. Azyumardi Azra, MA ketika menjadi pembicara utama pada Seminar Nasional yang bertajuk Pendidikan Karakter Teguhkan Pribadi Bangsa. Seminar nasional yang diselenggarakan pada Minggu, 23 September 2012 atas kerja sama PT Penerbit Erlangga dan Himpunan Mahasiswa Biologi (HIMABI) FMIPA UNNES ini diikuti 237 mahasiswa baru Jurusan Biologi FMIPA UNNES Semarang.
“Anak-anak sekarang mengalami disorientasi karena apa yang diterima di sekolah berbeda dengan kenyataan di masyarakat. Di sekolah anak-anak diajarkan bahwa korupsi itu tidak diperbolehkan namun di masyarakat justru korupsi merajalela” begitu beliau mencontohkan.
Prof.Dr. Azyumardi Azra yang juga menjabat sebagai Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga mengemukakan bahwa kondisi ini melahirkan generasi yang tidak memiliki watak dan karakter. Akibat kondisi ini, sekolah dijadikan kambing hitam dari merosotnya watak dan karakter generasi muda ini. Padahal sekolah saat ini sedang mengalami permasalahan overload kurikulum. “Sekolah saat ini bukan tempat yang menyenangkan bagi anak-anak namun justru menjadi tempat ‘penyiksaan’. Beban mata pelajaran yang harus dipelajari oleh anak-anak dinilai cukup banyak dibandingkan anak-anak seusia mereka di negara lain” demikian pengamatannya.
Overload kurikulum tidak hanya pada anak usia SD, SMP, SMA namun juga di jenjang perguruan tinggi. “Mata kuliah yang ideal tiap semester kisarannya 3-4 mata kuliah saja” begitu tambahnya.
Mata kuliah pokok-pokok saja yang seharusnya ada, itupun yang aspek kognitifnya dalam kegiatan belajar mengajar porsinya harus lebih kecil. Porsi terbesar lebih ditekankan pada aspek afektif dan psikomotorik seperti dengan penugasan , penelitian, dan pengamatan terhadap obyek yang jadi mata kuliah tersebut. Dengan ini pendidikan model ini tidak mustahil akan melahirkan banyak penerima Nobel. Selain itu, beliau juga mengkritik peran guru dan dosen yang hanya melakukan transfer pengetahuan saja tanpa mengajarkan character building. “Seharusnya institusi pendidikan formal bukan menjadikan peserta didik sebagai objek namun sebagai subjek” demikian kritiknya.
Acara yang dipandu oleh Dr. Lisdiyana (Dosen Biologi FMIPA UNNES) ini berhasil menarik perhatian peserta sehingga diharapkan dapat menjadi bekal awal bagi mahasiswa baru dalam mengarungi perkuliahan di perguruan tinggi.
Peran pendidikan karakter bukan hanya tanggung jawab sekolah saja, namun yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan karakter adalah keluarga terutama orangtua. Oleh karena itu, orangtua harus selalu menyediakan waktu yang berkualitas untuk mendidik anak mereka di antara kesibukan mereka dalam bekerja. Selain itu orang tua harus bisa menjadi role model /panutan/uswatun hasanah bagi anak-anaknya. Peran pendidikan karakter selanjutnya adalah masyarakat. Pendidikan karakter bisa berhasil jika tiga trisula lembaga pendidikan ini (keluarga, sekolah dan masyarakat) bisa menjalankan perannya dengan baik. (DPMR)