Shalat adalah ibadah yang telah ditentukan waktunya. (QS. An-Nisa: 103). Setiap waktu shalat adalah pembuka titik balik dan cermin bagi umat manusia untuk mengejawantahkan rasa syukur atas kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah SWT di setiap waktu. “Bertasbihlah kepada Allah pada petang hari dan pada pagi hari (Subuh). Segala puji bagi-Nya di langit, di bumi, pada malam hari dan pada siang hari (Zuhur).” (QS. Ar-Rum: 17-18)
Pergantian waktu siang dan malam, pergantian bulan ke bulan, tahun ke tahun dan seterusnya adalah sunatullah tak terelakkan. Begitu pun dengan waktu shalat yang terus berputar dari siang ke malam. Perputaran itu adalah adalah siklus yang berjalin kelindan dengan penggenapan-penggenapan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Allah SWT tentu memiliki maksud tertentu dalam penetapan waktu-waktu shalat, dan kita sebagai makhluk yang diberi akal diharapkan untuk berusaha menyingkap maksud tersebut, walaupun secara hakikat, hanya Allah SWT yang mutlak mengetahui maksud-maksud tersebut.
Saat fajar datang, suara-suara azan diperdengarkan, pintu-pintu keberkahan terbuka lebar menyambut para manusia yang larut dalam keterlelapan. Fajar atau waktu Subuh adalah sebuah mukadimah di mana langit yang gelap perlahan berubah menjadi terang yang menandakan sebuah hari dimulai. Di waktu ini Allah SWT memerintahkan seluruh manusia untuk melaksanakan shalat Subuh dan memanjatkan rasa syukur karena masih diberi kenikmatan hidup untuk menghirup udara dunia dan menikmati pesona langit yang terang-benderang. Allah mempersilakan manusia untuk selalu mengharapkan perlindungan dari-Nya, Tuhan yang menguasai Fajar (QS. Al-Falaq: 1). Pagi adalah simbol kebangkitan, simbol semangat dalam menyambut datangnya hari di mana kita semua memulai aktivitas.
Waktu Zuhur adalah titik pertengahan hari di mana garis bumi dan langit tegak lurus ke atas cakrawala dan matahari tepat berada di titik zenit kulminasi. Di waktu ini Allah SWT mempersilakan kita untuk memanjatkan rasa syukur kepada-Nya di tengah rehat sejenak atas tekanan-tekanan pekerjaan. Ibadah shalat Zuhur selayaknya kita gunakan sebagai media untuk merenungkan segala perbuatan kita, kesibukan kita, mungkin juga kekhilafan kita akan nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT, dan juga kelalaian kita akan karunia Allah SWT yang termanifestasi penuh di dalam tubuh kita. Nabi SAW pernah berkata,“Kalau aku membaca ‘subhânallâh walhamdu lillâhi wa lâ ilâha illallâh wallâhu akbar’, maka bacaan itu lebih aku sukai daripada (mendapatkan kekayaan sebanyak) apa yang berada di bawah sorot matahari.” (HR. Muslim)
Saat matahari rebah di bibir senja, Allah SWT mempersilakan kita untuk kembali berdiri menghadap kiblat memuji Kebesaran-Nya. Waktu Asar mungkin seperti musim gugur, usia senja, dan penghabisan waktu. Senja menyerukan kepada seluruh makhluk untuk bertafakur dan melakukan perenungan atas perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan, dan mensyukuri atas kesehatan, kebaikan, dan rezeki yang baik. Redupnya matahari mungkin dapat kita jadikan sandaran logika bahwa segala sesuatu di dunia ini tidaklah kekal. Mungkin kita yang rindu pada keabadian kelak dapat menunjukkan kepatuhan kita kepada Allah SWT dengan menyucikan diri dan melaksanakan shalat dengan khusyuk.
Waktu Maghrib adalah momentum yang mungkin akan mengingatkan kita tentang kematian. Sebuah transisi dari terang menuju gelap. Langit yang menghitam adalah perwakilan dari keterasingan diri yang menciut di hadapan malam. Magrib adalah ruang dan waktu yang menantang keterbatasan indra penglihatan kita. Di waktu ini kita dipesilakan untuk kembali berdiri sembari mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Rasa lelah karena bekerja seharian niscaya luluh di tengah sujud karena mengharapkan rida Allah SWT.
Malam semakin pekat, bintang-gemintang bermunculan, sebuah hamparan tanda kebesaran-Nya. Waktu Isya datang dan mungkin akan mengingatkan kita tentang ruang yang gelap, langit seperti dililit jubah hitam. Ketika malam datang, jiwa kita terkungkung dalam ketidakberdayaan, lemah, dan miskin. Itu mungkin itu sebabnya dahulu Nabi Ibrahim AS membuang keyakinannya akan bintang yang pernah ia anggap sebagai Tuhan, “Saya tidak menyukai hal-hal yang terbenam.” (QS. Al-An’am: 76). Di waktu ini Allah SWT mempersilakan kita untuk meminta perlindungan dari Allah SWT, Tuhan yang akan menjauhkan kita dari kejahatan malam yang gelap gulita. (QS. Al-Falaq: 3)
Malam mungkin dapat mengingatkan kita pada kekuasaan Allah SWT sang pengubah siang dan malam. Kegelapan mungkin dapat mengajarkan betapa rapuhnya entitas kita yang selalu ketakutan akan ruang sempit dalam kubur, alam barzakh. Sungguh betapa kita sangat membutuhkan belas kasih Allah SWT. Tidak ada yang mampu kita perbuat selain meminta setitik cahaya dari-Nya untuk kita bawa serta di alam yang tak memiliki penerangan sama sekali kecuali cahaya yang kita bawa sendiri.
Seluruh waktu shalat menunjuk pada revolusi yang berani, yang bernas, dan hanya mampu ‘dibaca’ oleh orang-orang mau merenunginya. Kepastian akan turunnya karunia Allah SWT di waktu-waktu shalat yang ia tetapkan sungguhlah jelas. Karena memang waktu-waktu itu adalah hasil dari kebijaksanaan-Nya yang sempurna. (wallahu a’lam Bishawab) —Hijrah Saputra
Merenungi Makna di Balik Penetapan Waktu Shalat
Shalat adalah ibadah yang telah ditentukan waktunya. (QS. An-Nisa: 103). Setiap waktu shalat adalah pembuka titik balik dan cermin bagi umat manusia untuk mengejawantahkan rasa syukur atas kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah SWT di setiap waktu. “Bertasbihlah kepada Allah pada petang hari dan pada pagi hari (Subuh). Segala puji bagi-Nya di langit, di bumi, pada malam hari dan pada siang hari (Zuhur).” (QS. Ar-Rum: 17-18)
Pergantian waktu siang dan malam, pergantian bulan ke bulan, tahun ke tahun dan seterusnya adalah sunatullah tak terelakkan. Begitu pun dengan waktu shalat yang terus berputar dari siang ke malam. Perputaran itu adalah adalah siklus yang berjalin kelindan dengan penggenapan-penggenapan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Allah SWT tentu memiliki maksud tertentu dalam penetapan waktu-waktu shalat, dan kita sebagai makhluk yang diberi akal diharapkan untuk berusaha menyingkap maksud tersebut, walaupun secara hakikat, hanya Allah SWT yang mutlak mengetahui maksud-maksud tersebut.
Saat fajar datang, suara-suara azan diperdengarkan, pintu-pintu keberkahan terbuka lebar menyambut para manusia yang larut dalam keterlelapan. Fajar atau waktu Subuh adalah sebuah mukadimah di mana langit yang gelap perlahan berubah menjadi terang yang menandakan sebuah hari dimulai. Di waktu ini Allah SWT memerintahkan seluruh manusia untuk melaksanakan shalat Subuh dan memanjatkan rasa syukur karena masih diberi kenikmatan hidup untuk menghirup udara dunia dan menikmati pesona langit yang terang-benderang. Allah mempersilakan manusia untuk selalu mengharapkan perlindungan dari-Nya, Tuhan yang menguasai Fajar (QS. Al-Falaq: 1). Pagi adalah simbol kebangkitan, simbol semangat dalam menyambut datangnya hari di mana kita semua memulai aktivitas.
Waktu Zuhur adalah titik pertengahan hari di mana garis bumi dan langit tegak lurus ke atas cakrawala dan matahari tepat berada di titik zenit kulminasi. Di waktu ini Allah SWT mempersilakan kita untuk memanjatkan rasa syukur kepada-Nya di tengah rehat sejenak atas tekanan-tekanan pekerjaan. Ibadah shalat Zuhur selayaknya kita gunakan sebagai media untuk merenungkan segala perbuatan kita, kesibukan kita, mungkin juga kekhilafan kita akan nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT, dan juga kelalaian kita akan karunia Allah SWT yang termanifestasi penuh di dalam tubuh kita. Nabi SAW pernah berkata,“Kalau aku membaca ‘subhânallâh walhamdu lillâhi wa lâ ilâha illallâh wallâhu akbar’, maka bacaan itu lebih aku sukai daripada (mendapatkan kekayaan sebanyak) apa yang berada di bawah sorot matahari.” (HR. Muslim)
Saat matahari rebah di bibir senja, Allah SWT mempersilakan kita untuk kembali berdiri menghadap kiblat memuji Kebesaran-Nya. Waktu Asar mungkin seperti musim gugur, usia senja, dan penghabisan waktu. Senja menyerukan kepada seluruh makhluk untuk bertafakur dan melakukan perenungan atas perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan, dan mensyukuri atas kesehatan, kebaikan, dan rezeki yang baik. Redupnya matahari mungkin dapat kita jadikan sandaran logika bahwa segala sesuatu di dunia ini tidaklah kekal. Mungkin kita yang rindu pada keabadian kelak dapat menunjukkan kepatuhan kita kepada Allah SWT dengan menyucikan diri dan melaksanakan shalat dengan khusyuk.
Waktu Maghrib adalah momentum yang mungkin akan mengingatkan kita tentang kematian. Sebuah transisi dari terang menuju gelap. Langit yang menghitam adalah perwakilan dari keterasingan diri yang menciut di hadapan malam. Magrib adalah ruang dan waktu yang menantang keterbatasan indra penglihatan kita. Di waktu ini kita dipesilakan untuk kembali berdiri sembari mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Rasa lelah karena bekerja seharian niscaya luluh di tengah sujud karena mengharapkan rida Allah SWT.
Malam semakin pekat, bintang-gemintang bermunculan, sebuah hamparan tanda kebesaran-Nya. Waktu Isya datang dan mungkin akan mengingatkan kita tentang ruang yang gelap, langit seperti dililit jubah hitam. Ketika malam datang, jiwa kita terkungkung dalam ketidakberdayaan, lemah, dan miskin. Itu mungkin itu sebabnya dahulu Nabi Ibrahim AS membuang keyakinannya akan bintang yang pernah ia anggap sebagai Tuhan, “Saya tidak menyukai hal-hal yang terbenam.” (QS. Al-An’am: 76). Di waktu ini Allah SWT mempersilakan kita untuk meminta perlindungan dari Allah SWT, Tuhan yang akan menjauhkan kita dari kejahatan malam yang gelap gulita. (QS. Al-Falaq: 3)
Malam mungkin dapat mengingatkan kita pada kekuasaan Allah SWT sang pengubah siang dan malam. Kegelapan mungkin dapat mengajarkan betapa rapuhnya entitas kita yang selalu ketakutan akan ruang sempit dalam kubur, alam barzakh. Sungguh betapa kita sangat membutuhkan belas kasih Allah SWT. Tidak ada yang mampu kita perbuat selain meminta setitik cahaya dari-Nya untuk kita bawa serta di alam yang tak memiliki penerangan sama sekali kecuali cahaya yang kita bawa sendiri.
Seluruh waktu shalat menunjuk pada revolusi yang berani, yang bernas, dan hanya mampu ‘dibaca’ oleh orang-orang mau merenunginya. Kepastian akan turunnya karunia Allah SWT di waktu-waktu shalat yang ia tetapkan sungguhlah jelas. Karena memang waktu-waktu itu adalah hasil dari kebijaksanaan-Nya yang sempurna. (wallahu a’lam Bishawab) —Hijrah Saputra
Merenungi Makna di Balik Penetapan Waktu Shalat
Shalat adalah ibadah yang telah ditentukan waktunya. (QS. An-Nisa: 103). Setiap waktu shalat adalah pembuka titik balik dan cermin bagi umat manusia untuk mengejawantahkan rasa syukur atas kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah SWT di setiap waktu. “Bertasbihlah kepada Allah pada petang hari dan pada pagi hari (Subuh). Segala puji bagi-Nya di langit, di bumi, pada malam hari dan pada siang hari (Zuhur).” (QS. Ar-Rum: 17-18)
Pergantian waktu siang dan malam, pergantian bulan ke bulan, tahun ke tahun dan seterusnya adalah sunatullah tak terelakkan. Begitu pun dengan waktu shalat yang terus berputar dari siang ke malam. Perputaran itu adalah adalah siklus yang berjalin kelindan dengan penggenapan-penggenapan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Allah SWT tentu memiliki maksud tertentu dalam penetapan waktu-waktu shalat, dan kita sebagai makhluk yang diberi akal diharapkan untuk berusaha menyingkap maksud tersebut, walaupun secara hakikat, hanya Allah SWT yang mutlak mengetahui maksud-maksud tersebut.
Saat fajar datang, suara-suara azan diperdengarkan, pintu-pintu keberkahan terbuka lebar menyambut para manusia yang larut dalam keterlelapan. Fajar atau waktu Subuh adalah sebuah mukadimah di mana langit yang gelap perlahan berubah menjadi terang yang menandakan sebuah hari dimulai. Di waktu ini Allah SWT memerintahkan seluruh manusia untuk melaksanakan shalat Subuh dan memanjatkan rasa syukur karena masih diberi kenikmatan hidup untuk menghirup udara dunia dan menikmati pesona langit yang terang-benderang. Allah mempersilakan manusia untuk selalu mengharapkan perlindungan dari-Nya, Tuhan yang menguasai Fajar (QS. Al-Falaq: 1). Pagi adalah simbol kebangkitan, simbol semangat dalam menyambut datangnya hari di mana kita semua memulai aktivitas.
Waktu Zuhur adalah titik pertengahan hari di mana garis bumi dan langit tegak lurus ke atas cakrawala dan matahari tepat berada di titik zenit kulminasi. Di waktu ini Allah SWT mempersilakan kita untuk memanjatkan rasa syukur kepada-Nya di tengah rehat sejenak atas tekanan-tekanan pekerjaan. Ibadah shalat Zuhur selayaknya kita gunakan sebagai media untuk merenungkan segala perbuatan kita, kesibukan kita, mungkin juga kekhilafan kita akan nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT, dan juga kelalaian kita akan karunia Allah SWT yang termanifestasi penuh di dalam tubuh kita. Nabi SAW pernah berkata,“Kalau aku membaca ‘subhânallâh walhamdu lillâhi wa lâ ilâha illallâh wallâhu akbar’, maka bacaan itu lebih aku sukai daripada (mendapatkan kekayaan sebanyak) apa yang berada di bawah sorot matahari.” (HR. Muslim)
Saat matahari rebah di bibir senja, Allah SWT mempersilakan kita untuk kembali berdiri menghadap kiblat memuji Kebesaran-Nya. Waktu Asar mungkin seperti musim gugur, usia senja, dan penghabisan waktu. Senja menyerukan kepada seluruh makhluk untuk bertafakur dan melakukan perenungan atas perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan, dan mensyukuri atas kesehatan, kebaikan, dan rezeki yang baik. Redupnya matahari mungkin dapat kita jadikan sandaran logika bahwa segala sesuatu di dunia ini tidaklah kekal. Mungkin kita yang rindu pada keabadian kelak dapat menunjukkan kepatuhan kita kepada Allah SWT dengan menyucikan diri dan melaksanakan shalat dengan khusyuk.
Waktu Maghrib adalah momentum yang mungkin akan mengingatkan kita tentang kematian. Sebuah transisi dari terang menuju gelap. Langit yang menghitam adalah perwakilan dari keterasingan diri yang menciut di hadapan malam. Magrib adalah ruang dan waktu yang menantang keterbatasan indra penglihatan kita. Di waktu ini kita dipesilakan untuk kembali berdiri sembari mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Rasa lelah karena bekerja seharian niscaya luluh di tengah sujud karena mengharapkan rida Allah SWT.
Malam semakin pekat, bintang-gemintang bermunculan, sebuah hamparan tanda kebesaran-Nya. Waktu Isya datang dan mungkin akan mengingatkan kita tentang ruang yang gelap, langit seperti dililit jubah hitam. Ketika malam datang, jiwa kita terkungkung dalam ketidakberdayaan, lemah, dan miskin. Itu mungkin itu sebabnya dahulu Nabi Ibrahim AS membuang keyakinannya akan bintang yang pernah ia anggap sebagai Tuhan, “Saya tidak menyukai hal-hal yang terbenam.” (QS. Al-An’am: 76). Di waktu ini Allah SWT mempersilakan kita untuk meminta perlindungan dari Allah SWT, Tuhan yang akan menjauhkan kita dari kejahatan malam yang gelap gulita. (QS. Al-Falaq: 3)
Malam mungkin dapat mengingatkan kita pada kekuasaan Allah SWT sang pengubah siang dan malam. Kegelapan mungkin dapat mengajarkan betapa rapuhnya entitas kita yang selalu ketakutan akan ruang sempit dalam kubur, alam barzakh. Sungguh betapa kita sangat membutuhkan belas kasih Allah SWT. Tidak ada yang mampu kita perbuat selain meminta setitik cahaya dari-Nya untuk kita bawa serta di alam yang tak memiliki penerangan sama sekali kecuali cahaya yang kita bawa sendiri.
Seluruh waktu shalat menunjuk pada revolusi yang berani, yang bernas, dan hanya mampu ‘dibaca’ oleh orang-orang mau merenunginya. Kepastian akan turunnya karunia Allah SWT di waktu-waktu shalat yang ia tetapkan sungguhlah jelas. Karena memang waktu-waktu itu adalah hasil dari kebijaksanaan-Nya yang sempurna. (wallahu a’lam Bishawab) —Hijrah Saputra