Al-kisah, seorang santri bermimpi di dalam tidurnya bertemu dengan kiainya yang telah lama meninggal dunia. Di dalam mimpinya itu, ia melihat kiainya sedang susah, sepertinya sedang menanggung sesuatu yang sangat berat dan menyulitkan.
Lalu santri itu bertanya, “Pak Kiai, mengapa wajah pak kiai suram, sepertinya pak Kiai sedang susah, sedang menanggung sesuatu yang sangat berat, seperti orang menderita. Apa yang telah terjadi, Pak Kiai ?”
Pak Kiai menjawab, “Hai anakku, aku baru saja menjalani pertanyaan dan pemeriksaan yang berat oleh malaikat Munkar dan Nakir. Rasanya aku sangat menderita, dan aku takut kalau sampai aku akan mengalami kesulitan menuju Allah, jangan sampai aku tidak bisa mencium bau surga nanti.”
Santri itu berkata, “Bukankah pak Kiai selama hidup selalu rajin beribadah. Tidak hanya shalat-shalat wajib tapi juga shalat-shalat sunah. Pak Kiai rajin membaca Al-Qur'an. Rajin berzikir kepada Allah. Pak Kiai juga berbudi luhur, senang bersedekah.
Lalu kenapa Pak Kiai harus mengalami kesusahan itu ?”
Kiai menjawab, “Wahai anakku, benar semua yang kau katakan itu. Tapi aku juga pernah berbuat salah. Kesalahan itulah yang harus aku pertanggungjawabkan. Kesalahan itulah yang membuat aku susah di dalam kubur.”
Dengan penasaran santri itupun bertanya, “Memangnya Pak Kiai pernah berbuat salah apa ?”
Kiai berkata, “Anakku, suatu malam aku diundang oleh tetanggaku menghadiri acara selamatan anaknya yang baru lahir. Aku hadir. Setelah berceramah, dan akhirnya berdoa. Ketika disuguhi makan malam, akupun makan bersama dengan para undangan yang lainnya.
Sesudah makan malam, seperti biasanya, ketika para jemaah bertemu denganku, maka mereka senang mengajukan pertanyaan tentang urusan agama yang mereka kurang paham. Akupun memberi penjelasan.”
Ketika menikmati hidangan makam malam dari tetanggaku itu, tiba-tiba ada potongan kecil dari daging ayam yang aku makan, terselip di sela-sela gigiku. Tapi aku lupa dan tidak sempat mengorek dan mengeluarkan dari sela gigiku, karena terlalu asyik menjawab pertanyaan para jemaah.”
“Ketika dalam perjalanan pulang, baru aku sadari ada sesuatu yang mengganggu gigiku dan terasa kurang enak. Akhirnya dalam perjalanan pulang ke rumah, aku melewati rumah orang yang berpagar bambu tapi sudah agak rapuh.
Lalu ada bagian pagar bambu itu yang aku ambil, yang sebetulnya hanya ujung bambu kecil, aku ambil untuk mengorek-ngorek daging ayam di sela gigiku yang cukup mengganggu itu, tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada yang punya pagar itu.”
“Anakku, gara-gara tusuk gigi dari pagar bambu orang yang aku ambil tanpa kerelaannya itulah, yang membuat aku menjadi susah di alam kubur ini.”
Tiba-tiba si santri terbangun dari tidurnya, karena kumandang azan Subuh, sambil berucap “Astagfirullah al-adzim.”
Dalam keadaan masih terbawa oleh pengaruh mimpinya, ia berkata dalam hati, “Ya Allah, kalau hanya gara-gara tusuk gigi yang diambil tanpa izin dan kerelaan yang empunya saja, pak Kiai mengalami kesulitan di alam kubur, maka bagaimana dengan orang-orang yang memakan hutan Kalimantan, hutan Sumatera, hutan Papua.
Bagaimana dengan kontraktor yang makan semen, pasir, batu, besi, aspal…bagaimana pejabat yang makan uang rakyat…ya Allah, ampunilah dosaku.”
Lalu santri itu bergegas bersiap menuju masjid untuk menunaikan shalat Shubuh.
Cerita ini diambil dari buku:
Seri Perkaya Hati 9 (PENGEN BEBAS STRES? HIDUP SEDEHANA. HIDUP ZUHUD!) Penulis: Saiful Hadi El-Sutha (Penerbit Erlangga: 2009)