Tidak dapat dipungkiri, ilmu Ushul Fiqh merupakan khazanah keilmuan Islam yang yang ikut memperkaya model keagamaan kita. Pelaksanaan syariat Islam yang bermula hanya berpijak pada Al-Qur’an dan Sunah akan sulit seandainya ilmu ini tidak ada, terlebih jika dihadapkan dengan problem-problem baru dalam kehidupan modern. Sebab Ushul Fiqh dianggap sebagai penuntun dan pembuka fiqh yang merupakan jawaban yuridis bagi kehidupan kita.
Ushul Fiqh adalah sekumpulan kaidah yang menjadi landasan teoritik dari rumusan-rumusan fiqh, baik berupa metode analisis makna lafdz maupun kaidah yang dapat menghubungkan berbagai kejadian aktual pada Al-Qur’an, sunah, serta ijmak sahabat. Rangkaian kaidah-kaidah ini kemudian digunakan sebagai sarana untuk menggali hukum-hukum operasional (istinbath al-ahkam al-‘amaliyyah)
Fungsi utama dari Ushul Fiqh adalah mengangkat dan melahirkan rumusan-rumusan normatif dari ketentuan-ketentuan syariat Islam yang terpapar dalam Al-Qur’an dan sunah sehingga setiap mukalaf dapat mengetahuinya dengan baik dan terperinci. Di samping itu Ushul Fiqh juga berfungsi untuk memberikan jawaban-jawaban yuridis terhadap berbagai kejadian aktual yang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam nas, namun dapat terjawab oleh nas itu sendiri dengan menghubungkan berbagai kejadian tersebut ke dalam nas menggunakan berbagai metode dalam Ushul Fiqh.
Objek kajian Ushul Fiqh adalah dalil-dalil syarak secara keseluruhan dari sudut ketetapan hukumnya yang bersifat kulli untuk kemudian dirumuskan dalam bentuk kaidah-kaidah yang dapat dipahami untuk mengkaji hukum dari nas-nas yang terperinci dalam Al-Qur’an dan sunah.
Buku yang diberi judul Metodologi Penafsiran Teks: Memahami Ilmu Ushul Fiqh sebagai Epistemologi Hukum ini mengetengahkan sejumlah pemikiran penulis tentang pentingnya ilmu Ushul Fiqh tak lain merupakan teori ilmu hukum dan metode istinbath yang dibangun untuk melahirkan diktum-diktum fiqh yang amat dibutuhkan untuk panduan hidup beragama dan bermasyarakat manusia di alam realitas empiriknya dengan mengacu pada informasi yang disampaikan oleh Sang Pencipta manusia dalam sejumlah ayat Al-Qur’an.
Buku ini merupakan disertasi penulis pada program doktor di Universitas Malaya Kuala Lumpur (1999 - 2003), dengan tajuk, Thuruq at-Tafasir Li an-Nushush asy-Syar’iyyah: Muqaranah Bayna Manhaj al-Mutakallimin wa al-Ahnaf. Sebagai dosen di IAIN Sunan Ampel Surabaya, Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII) Situbondo, dan Program Pascasarjana IAII dan Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, Abu Yasid memang tidak ragu sedikit pun dalam mengulas sisi-sisi terdalam ilmu Ushul Fiqh. Dimulai dari pegertian, klasifikasi, sejarah, dan polemik yang terjadi antara beberapa mazhab didedahnya dengan apik, sehingga karya akademik ini patut diapresiasi.
Buku ini mengajak pembaca mendiskusikan perjalanan sejarah dan sejumlah persoalan yang turut mewarnai dalam dinamika kajian Ushul Fiqh, di antaranya yaitu polemik yang terjadi antara dua aliran (mazhab), yaitu Mazhab Mutakalimin dan Mazhab Ahnaf di mana keduanya memiliki perbedaan mendasar dalam penggunaan metode Ushul Fiqh, jika mazhab Mutakallimin terlebih dahulu membangun kaidah-kaidah Ushul Fiqh untuk membuat dasar istinbath hukum, maka sebaliknya, dalam madzhab Ahnaf hasil istinbath hukumnya dijadikan dasar untuk membangun kaidah-kaidah Ushul Fiqh.
Selanjutnya, melalui kacamata Hasan Turabi—Pemikir Islam dari Sudan—penulis mengkritik cara pandang sebagian besar masyarakat yang mengapresiasi ilmu Ushul Fiqh sebatas sebagai warisan yang mesti dipelajari dalam bentuknya yang bersih dan murni. Metode Ushul Fiqh juga kurang diberdayakan dalam menciptakan ketentuan-ketentuan hukum baru sesuai tingkat perkembangan masyarakat. Selain itu, keterbatasan metode pengajaran dan kesulitan bahasa yang terdapat pada sebagian sumber-sumber primer ilmu Ushul Fiqh turut mengondisikan problem pemberdayaan ilmu ini di tengah kehidupan beragama. Karena itu, jika kita menginginkan ilmu ini berkembang pesat secara alami dalam kehidupan beragama maka kita mesti mengubah cara pandang kita terhadap disiplin ilmu ini selain juga harus mengembangkan metode kajian dan pengajaran sesuai konteks perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Apa yang dilakukan Turabi—menurut penulis, sebenarnya seruan moral untuk mengoptimalkan penggunaan Ushul Fiqh untuk mereformasi bangunan fiqh yang sesuai dengan perkembangan. Atau dengan ungkapan lain, apa yang dilakukan Turabi adalah bagaimana pengembangan ilmu Ushul Fiqh bisa dilakukan baik dari segi teknis maupun materinya. Dengan pola pengembangan seperti ini maka bangunan Ushul Fiqh yang sudah melembaga sesungguhnya masih bisa kita pertahankan dengan mengaplikasikannya sesuai persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi umat belakangan ini. Pada kenyataannya, upaya pembaharuan apa pun yang dilakukan ujung-ujungnya juga tidak keluar dari lingkup bangunan Ushul Fiqh yang telah dirumuskan sebelumnya.
Ushul Fiqh merupakan langkah-langkah kreatif yang ditempuh para ulama untuk menyusun bongkahan-bongkahan norma-norma hukum yang terpapar dalam Al-Qur’an dan Sunah. (Hijrah Saputra/Editor)