Menjelang kita meninggalkan tahun 2011 dan memasuki masa-masa yang akan datang, pantaslah kita untuk mendengarkan, merenungkan, dan menjalankan tiga hal seperti yang dipesankan Ketua PB. NU K.H. Dr. Said Agil Syiradj.
Langkah pertama MUHASABAH. Kita perlu “mengadili atau menghakimi” diri sendiri. Amal-amal kebaikan apa saja yang telah kita lakukan selama ini? Ataupaling tidak dalam satu tahun terakhir? Dan tindakan-tindakan keburukan apa saja yang telah kita lakukan dalam hubungannya dengan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah swt?. Kita perlu bermuhasabah, menghitung-hitung sendiri dengan hati yang bersih, karena nurani tidak pernah bohong.
Langkah kedua, MU ’ATABAH. Kita perlu introspeksi diri sendiri. Bermacam ujian, kerusakan, penyakit, dan kegagalan lainnya harus kita akui sebagai kesalahan diri kita sendiri. Manusia yang mendzalimi dirinya sendiri, karena Allah swt. telah memberikan segala macam kesempurnaan alam dengan sunatullah/hukum alamnya.
Ketahuilah bahwa setiap anggota tubuh telah diciptakan untuk suatu fungsi tertentu, sedangkan sakitnya anggota tubuh adalah bila tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Salah satu contohnya adalah sakitnya mata, yaitu ketidakmampuannya untuk melihat dengan sempurna. Begitu pula sakitnya hati/jiwa adalah karena tidak berjalannya fungsi hati/jiwa sesuai tujuan penciptaannya, yaitu menyerap ilmu, hikmah-makrifah, mencintai Allah swt. dan Rasul-Nya, serta beribadah hanya kepada-Nya. Hati/jiwa yang sehat akan mengutamakan semua itu daripada seluruh kenikmatan sementara lainnya dan akan berusaha keras mengerahkan semua kekuatannya untuk beribadah kepada Allah swt.
Allah swt. Berfirman:
…Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adzaariyat/51: 56).
Barangsiapa lebih mencintai selain Allah swt., maka berarti hatinya sedang sakit. Untuk itu perlulah kita segera mengingat peringatan Allah swt. dalam QS. At-Taubah/9: 24, agar hati menjadi terus terjaga dan tunduk hanya kepada Allah swt. Terus dan senantiasalah memperhatikan diri kita dan mengenal Akhlak kita sendiri dengan segala kemudahan dan kesulitannya dalam bertindak, sehingga keterikatan hati kita pada selain Allah swt. terputus. Segala langkah kehidupan harus kita arahkan menjadi jalan keselamatan di dunia dan akhirat yang sudah pasti kedatangannya. Sedikit sekali hamba yang terhindar dari penyimpangan jalan kebenaran untuk meraih kedua-duanya secara benar. Sangat banyak orang-orang yang berada atau cenderung kepada salah satu sisi dan hatinya terkait pada sisi yang dicenderungi itu. Hal tersebut menyebabkan mereka tidak selamat dari siksa yang pasti akan melintas.
Allah swt. berfirman:
dan tidak ada seorangpun daripadamu, melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan. Kemudian kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut. (QS. Maryam/19: 71-72).
Jadi, orang-orang yang akan terlepas dari siksa neraka adalah orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa berarti orang-orang yang lebih dekat ke jalan lurus. Sebagaimana permohonan kita pada setiap rakaat salat, Yaa Allah tunjukilah kami pada jalan yang lurus… (Qs. Al-Fatihah/1: 6)
Kemudian hati kita menjadi tenang dalam keadaan ridha dan diridhai Allah swt., sehingga masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah yang dekat kepada-Nya, yaitu rombongan para nabi, shiddiqiin, syuhadaa, dan orang-orang salih.
Semakin cerdas dan tinggi kedudukan seseorang, semakin sedikit rasa berbangga diri/ujub-nya dan semakin banyak introspeksi dirinya. Meskipun ini pun sudah menjadi barang langka di zaman akhir ini. Sangat jarang ada teman yang meninggalkan basa basi lalu dengan kerendahan hati memberitahukan aib, kejelekan, atau kekurangan kita. Hal ini juga tidak mudah dilakukan karena seseorang yang kita beri masukan demi kebaikannya justru terkadang menjadi tersinggung dan berdampak buruk pada yang memberi peringatan. Untuk itu, semestinya kita berkaca kepada kelembutan hati/jiwa Umar bin Khatab r.a. Umar bin Khatab r.a. berkata: Semoga Allah swt. mencurahkan rahmat-Nya kepada orang yang menunjukkan aib-aib/kejelekan-kejelekan dariku.
Bahkan, Umar bin Khatab r.a. pernah bertanya kepada sahabat Khudzaifah r.a.: “Engkau adalah pemegang rahasia Rasulullah saw. tentang siapa-siapa saja orang yang termasuk munafik, apakah Engkau melihat dampak-dampak (ingat: bukan tanda-tanda) kemunafikan itu ada pada diriku?” subhaanallaah.
Itulah yang dilakukan seorang khalifah yang berkedudukan tinggi, namun begitulah introspeksi dirinya yang sangat tinggi. Muhasabah dan Mu ’atabah begitu mengalir pada contoh mulia para sahabat setelah Rasulullah saw.
Langkah ketiga, MURAQABAH. Kita perlu mensupervisi sehingga masa-masa yang akan datang atau tahun depan harus lebih baik dan optimis menjadi semakin baik. Manfaatkanlah masa lalu hanya dan hanya sebagai kaca spion untuk segera melaju ke depan penuh semangat. Rahmat Allah swt. selalu terbuka bagi semua makhluk-Nya, dan hanya orang yang tidak beriman saja yang bersikap pesimis atau bahkan putus asa. Allah swt. berfirman:
….dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir (QS. Yusuf/12: 87).
Kini, setelah keyakinan bahwa ke depan harus lebih baik, maka petunjuk Rasulullah saw. berikutnya perlu kita hayati dan kita implementasikan: Barangsiapa yang keadaannya hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung; Barangsiapa yang keadaannya hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia termasuk orang yang rugi; dan barangsiapa yang hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka dia termasuk orang yang celaka. Semoga keadaan kita di waktu yang akan datang lebih baik dari waktu kemarin atau waktu yang telah lalu, allahumma amiin… yaa mujiibassaailiin.
Disarikan oleh Faisol dari Ceramah KH. Dr. Said Agil Siradj (29 Desember 2011)