Bagi kita—yang beragama Islam dan hidup di abad sekarang ini, nama Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga agama yang membidani berbagai kelahiran keputusan agama (baca: fatwa) tentu tidak asing lagi. Lembaga ini dikenal masyarakat sebagai lembaga yang berwenang dalam memusyawarahkan suatu masalah yang berkaitan dengan masalah agama dalam masyarakat. Ide pelembagaan agama yang kemudian dinamakan dengan Majelis Ulama Indonesia ini sebenarnya adalah cita-cita lama para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim sejak dulu, namun ide tersebut baru terealisasi pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. Majelis Ulama Indonesia—seperti yang ditulis dalam laman resmi MUI—adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri atas kesepakatan dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan, dan zuama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah "PIAGAM BERDIRINYA MUI", yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar
Kehadiran MUI—dan tentunya juga kehadiran fatwa-fatwanya, tidak dapat dipungkiri telah menuai tepuk tangan dan cibiran. Sebagian menganggap adanya lembaga ini tidak ubahnya oase di padang kekeringan, di mana masyarakat Muslim sebagai penganut agama mayoritas di Indonesia sangat membutuhkan keputusan-keputusan agama yang dapat dijadikan pedoman dalam kehiduapan keagamaannya, sebagian lain menganggap kelahiran lembaga ini justru sangat rentan akan politisasi di segala bidang misalnya sosial, politik, dan hukum, misalnya adanya fatwa haram Golput pada tahun 2009, yang dikhawatirkan MUI bisa jadi gagal mengemban fungsi dan tugasnya sebagai pengayom masyarakat, karena persoalan tersebut dianggap tidak masuk dalam ranah hukum positif yang diatur oleh negara. Adanya pro dan kontra lahirnya MUI setidaknya telah memberitahukan kepada kita bahwa MUI dalam kapasitasnya sebagai produsen hukum agama MUI diharapkan memiliki prinsip teguh dalam tata cara mencarikan solusi di bidang agama sehingga tidak memicu Kontroversi di kalangan masyarakat Muslim Indonesia.
Fatwa MUI dan Tuaian Kontroversi
Kita tentu masih ingat fatwa MUI tentang Arah Kiblat yang membuat kebingungan seluruh umat Muslim se-Indonesia pada tanggal Maret 2010 silam, atau tentang fatwa haramnya orang yang memilih Golput (Golongan Putih) pada Pemilu 2009, fatwa haram merokok? Fatwa haram Infotainment? Dan beberapa fatwa lainnya yang banyak menuai baik di seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Pada bulan Juni 2011 kritik pedas dilemparkan oleh editorial Koran Media Indonesia, catatan editorial yang diberi judul ”Wibawa Fatwa Haram” ini mengkritik habis pemerintah yang ketika gagal mendapat kepatuhan warga negara, pemerintah memmbawa-bawa ulama untuk mengeluarkan fatwa. Padahal belum tentu umat kelak mematuhi fatwa itu. Selanjutnya dikatakan bahwa jika kelak MUI menerbitkan fatwa orang kaya haram membeli BBM bersubsidi dan umat mengabaikannya, runtuhlah pula wibawa MUI. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Zuhairi Misrawi (cendekiawan NU) pada media yang sama. Zuhairi mengatakan bahwa ”MUI jangan jadi Tameng Pemerintah soal BBM”. Tuturnya.
Kritik pedas dan dukungan terhadap apa yang dilakukan MUI tentu banyak terjadi. MUI tidak jarang menerbitkan fatwa yang kontroversial. Di antaranya adalah fatwa-fatwa yang menyatakan sesat terhadap beberapa aliran agama Islam. Tercatat, sejak 1980, MUI telah menyesatkan kurang lebih 10 aliran kepercayaan yang telah dianut oleh ratusan ribu warga Indonesia (lihat buku himpunan fatwa MUI bidang akidah dan aliran keagamaan hal 35-114). Fatwa MUI tidak mengandung kekuatan hukum, hanya legal opinion. Oleh karena itu fatwa sah untuk tidak dipatuhi, termasuk fatwa kontroversial di atas. Namun karena sebagian masyarakat Muslim dan pemerintah menganggap bahwa MUI adalah corong agama, maka bagi mereka fatwa MUI merupakan suara kebenaran yang harus disikapi, direspon dan direalisasikan.
Selain itu, yang tak kalah kontroversialnya, pada tahun 2005, MUI menelorkan fatwa pelarangan kepada masyarakat Muslim untuk menganut paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Bagi kalangan yang memperjuangkan isme-isme tersebut percaya bahwa ketiganya merupakan pilar demokrasi yang jika ditiadakan akan meruntuhkan bangunan Demokrasi di Indonesia. Namun MUI mempunyai pandangan lain mengenai tiga isme tersebut. Menurut MUI sekularisme dianggap membahayakan akidah dan syari’at Islam karena mengajarkan relativisme agama, penafian dan pengingkaran adanya hukum Allah (syariat) serta menggantikannya dengan hukum-hukum hasil pemikiran akal semata. Adapun liberalisme mendorong pengikutnya untuk menafsirkan agama secara bebas dan tanpa kaidah penuntun. sedangkan pluralisme disesatkan karena dianggap mengajarkan sinkretisme agama atau penyamaan kebenaran semua agama.
Banyak kalangan mengkritik keras terhadap fatwa MUI yang melarang paham sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Menurut mereka, MUI tidak memahami secara tepat definisi tersebut. Jika kita lihat definisi Liberalisme menurut MUI dan membandingkannya dengan definisi liberalisme sesungguhnya, memang ada kesalah-mengertian akan definisi liberalisme menurut MUI. Liberalisme adalah doktrin politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai individu, yang menghendaki peminimalisiran campur tangan pemerintah dan mengedepankan asas rasionalitas, persamaan dan kebebasan. Ketiga asas ini merupakan sendi demokrasi, yang merupakan sistem pemerintahan negeri ini dan tentunya sama sekali tidak melanggar nilai-nilai ajaran Islam. Adapun yang yang dimaksudkan untuk mendefinisakan liberalisme versi MUI di atas adalah definisi rasionalime yang mengedepankan akal dan kebebasan. Apakah salah kalau umat Islam mengedepankan akal?. Kalau kita mau menelusuri khasanah intelektual klasik, pemikir-pemikir Islam klasik juga banyak yang menganut rasionalisme. Sebut saja Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, kaum Mu’tazilah, dan banyak pemikir Islam lainnya.
Dalam pendefinisian pluralisme pun MUI mendapat kritik yang keras. Pluralisme diartikan oleh MUI sebagai paham menyamakan semua agama atau sinkretisme. Adapun bagi para penganut dan pemerjuang paham ini, pluralisme merupakan paham yang mesti dianut masyarakat di Indonesia yang merupakan bangsa yang majemuk atau plural. Pluralisme merupakan paham yang menekankan kepada masyarakat untuk saling menghormati ideologi, agama dan pandangan yang dianut kelompok di luar kelompoknya. Hal ini selaras dengan falsafah Pancasila, Bhineka Tunggal ika. Juga, sama sekali tidak melanggar nilai-nilai ajaran Islam.
Tentu saja tidak sedikit masyarakat Muslim yang merasa memerlukan keberadaan MUI sebagai kiblat beragamanya. Mereka akan merasa tidak fair jika MUI dibubarkan. Oleh sebab itu perlu kiranya MUI mengoreksi diri tentang efektif atau tidak fatwa-fatwa yang sudah dikeluarkan. Akan tidak sehat jika MUI melakukan koreksi itu sendiran. MUI perlu mendengar kritik sehat dan membangun untuk keberlanjutan lembaga MUI yang efektif, diperlukan, peka terhadap realitas dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 45 dan Demokrasi
Buku Himpunan Fatwa MUI; Sebuah upaya dalam meluruskan paradigma kontroversial masyarakat
Tidak terlalu berlebihan rasanya Jika dikatakan bahwa terjadinya respon kontroversial atas beberapa fatwa MUI dimungkinkan adanya pencipta arus (mainstream) di kalangan golongan tertentu, yang imbasnya terjadi di kalangan masyarakat luas yang tidak tahu menahu duduk permasalahannya. Perluasan imbas opini dari golongan tertentu ini ini tentu akan terus dapat terjadi jika tidak ada penjelasan yang konprehensif dari pihak MUI terhadap apa yang difatwakan.
Salah satu kesalahan MUI adalah tidak adanya upaya sosialiasai yang memadai kepada masyarakat yang selama ini hanya mengetahui hasil dan kesimpulan dari sebuah fatwa tanpa mengetahui latar belakang dan sebab-sebab dikeluarkannya fatwa, termasuk rujukan-rujukan penting seperti Al-Qur’an, Hadis, kitab-kitab fikih, dan ijtihad para ulama.
Selama ini MUI memang telah menelurkan dua buku himpunan fatwa MUI, yaitu tahun 2009 dan tahun 2010. Namun penyebaran buku ini tidak begitu luas, sehingga seluruh masyarakat Indonensia tidak dapat mengetahui. Memang MUI telah juga memposting seluruh fatwa MUI di laman resminya (www.mui.or) namun tidak semua lapisan masyarakat dapat mengakses internet, bagaimana dengan masyarakat Muslim yang berada di pelosok-pelosok desa. Oleh karena itu adanya buku himpunan fatwa MUI diharapkan mampu meminimalisasi kesalahpahaman masyarakat Muslim atas fatwa-fatwa yang dikeluarjkan oleh MUI.
Selain media buku, sesungguhnya ada jalan untuk keluar dari tuaian perdebatan dan respon negatif kontroversial atas fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI yaitu adanya mediator dari kalangan Islam yang menyediakan diri menjadi mediator dialog untuk menjernihkan kontroversi seputar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebut saja misalnya yang dilakukan oleh Muhammadiyah yang membuka dialog tentang hasil Musyawarah Nasional ketujuh yang mengharamkan liberalisme, sekularisme, dan pluralisme agama. Walhasil pemahaman seperti ini yang mampu merubah paradigma masyarakat kita yang cenderung kontroversial.
Dialog, tentu bertumpu pada tugas dan fungsi masing-masing tanpa harus mengganggu harmoni sosial atas dasar kemajemukan masyarakat. Untuk itu, Komisi Fatwa MUI perlu menegaskan bahwa fatwa yang telah dikeluarkan tetap menjamin dan melindungi pluralisme sosial yang sudah berkembang sehingga merupakan modal sosial bangsa yang penting. Pada sisi lain, ungkapnya, pluralisme agama jangan mengarah kepada relativisme dan sinkretisme agama karena juga berdampak negatif bagi bangsa Indonesia karena juga dapat menganggu keharmonisan yang telah tumbuh.
Selain dua cara di atas peran pemerintah dalam kontroversi fatwa MUI juga sangat penting adanya. Ada empat prinsip yang seharusnya pemerintah pegang dalam menghadapi keberagaman pemahaman agama warga negara. Pertama, pemerintah mencoba melindungi keberagaman itu dan mencantumkan hak warga negara untuk beragam dalam konstitusi negara. Negara dengan penduduk yang sangat besar dan heterogen, mustahil hanya memiliki satu paham agama. Apalagi di era modern yang sangat terdiversifikasi, perbedaan pemahaman agama tak bisa dicegah oleh kekuatan mana pun. Keberagaman itu dianggap kenyataan sosiologis yang eranya sudah datang. Ratusan bom atom dapat dikerahkan untuk mencegahnya. Jutaan polisi dapat dikerahkan untuk menahannya. Jutaan ahli agama dapat dikerahkan untuk menangkalnya. Namun, seperti dikatakan pepatah, tak ada yang lebih kuat dari sebuah realitas yang waktunya telah datang.
Desainer politik modern tak punya pilihan lain selain mengakomodasi keberagaman itu dan melindunginya. Memiliki persepsi mengenai metafisika, Tuhan, rasul, tujuan hidup, adalah hak paling dasar warga negara. Kepercayaan terhadap suatu iman dan pandangan metafisika tak dapat dipaksakan.
Kedua, pemerintah tidak ikut campur dan tidak memihak dalam perbedaan pemahaman itu. Setiap komunitas pemahaman tak terhindari menganggap hanya pemahamannya yang benar. Tak terhindarkan pula pimpinan komunitas itu perlu memberikan pedoman kepada pengikutnya untuk mengkonfirmasi kebenaran pemahaman kelompoknya dan kesalahan pemahaman kelompok lain.
Karena setiap pemahaman memiliki komitmen yang kuat menyelamatkan dunia dan manusia, tak jarang masing-masing komunitas itu ekspansi dan mempengaruhi kelompok lain untuk meninggalkan pemahaman agamanya atau bahkan menukar imannya. Dalam masyarakat yang lebih keras lagi tingkat konfliknya, tindakan saling mengharamkan antarkomunitas dan pimpinan komunitas itu terjadi. Namun, pemerintah dalam sistem demokrasi berdiri di tengah. Pemerintah tidak membela salah satu komunitas dan menyalahkan komunitas lainnya. Yang dibela pemerintah hanyalah prinsip konstitusi. Sejauh tak ada yang menyalahi konstitusi, pemerintah tak pernah ikut campur mengharamkan atau melarang eksistensi pemahaman agama mana pun. Sekali pemerintah memihak sebuah komunitas dan meninggalkan prinsip konstitusinya, pemerintah itu justru memulai bencana. Ketiga, intervensi pemerintah terhadap keberagaman pemahaman agama hanyalah dalam upaya menjalankan hukum yang berlaku saja. Pemerintah membolehkan setiap kelompok membuat panduan bagi umatnya dan mempublikasi panduan itu. Namun pemerintah mencegah dan menghukum siapa pun yang melakukan kekerasan untuk memaksakan pemahaman agamanya sendiri. Sekali pemerintah membiarkan kekerasan terjadi, dasar dari konstitusi modern dikhianati oleh pemerintah sendiri. Pemerintah akan kehilangan wibawa.
Untuk melindungi konstitusi dan hukum pula, pemerintah dapat melarang sebuah pemahaman agama jika mengarah kepada tindakan kriminal dan pornografi saja. Misalnya, ada sekte yang menumpuk senjata dan menciptakan polisi bagi komunitasnya sendiri. Atau ada sekte yang mempraktikkan seks bebas bagi anak-anak di bawah umur. Intervensi itu dilakukan bukan karena pemerintah ingin terlibat dalam pemahaman agama tetapi melindungi hak warga negara dari potensi kekerasan pihak lainnya. Keempat, pemerintah juga membedakan kehidupan publik dan kehidupan pribadi. Untuk kehidupan publik (wilayah publik, public sphere), harus ada konsensus bersama mengenai apa yang dibolehkan dan apa yang dilarang. Konsensus itu dibangun berdasarkan prinsip kesamaan warga negara dan diikat dalam aturan hukum nasional. Misalnya, semua warga negara, apa pun pemahaman agamanya, dan apa pun warna kulitnya memiliki hak yang sama untuk menggunakan fasilitas negara.
Namun, untuk kehidupan pribadi masing-masing warga negara, pemerintah membiarkan warga itu sendiri yang menentukan. Warga negara itu dibolehkan memiliki gagasan apa pun, atau memercayai pemahaman agama apa pun sejauh tidak melakukan kekerasan dan tidak mengerjakan tindakan kriminal.
Pro dan kontra fatwa MUI tak terhindari sebagai bagian dari keberagaman persepsi warga negara Indonesia modern. Yang penting, pemerintah berkomitmen hanya menundukkan diri kepada konstitusi negara yang melindungi keberagaman pemahaman agama warga negarai. (Hijrah S)