Syekh Siti Jenar adalah nama yang selalu dikaitkan – secara salah kaprah – dengan mistik kejawen, yakni agama Hindu-Buddha serta paham animisme dan dinamisme, jauh dari agama yang dianutnya sendiri, yakni Islam. Ia juga sering dikaitkan dengan kesesatan sebuah ajaran agama pada masa-masa awal perkembangan Islam di Indonesia. Hingga detik ini pun, riwayat biografinya masih diselimuti dongeng atau fiksi semi-ilmiah, sehingga membuat sebagian sejarawan meragukan keberadaannya sebagai sosok sejarah.
Bila dirunut, fenomena tersebut terjadi akibat kurangnya informasi yang memadai tentang sosok dan ajaran Syekh Siti jenar. Walaupun banyak karya ditulis tentangnya, namun kebanyakan justru melenceng jauh dari sosok Syekh Siti Jenar yang sebenarnya. Sebagian malah semakin mengaburkan eksistensinya. Oleh karena itu, KH Muhammad Sholikhin, terdorong untuk melakukan penelitian dan penulisan mengenai sosok dan ajaran Syekh Siti Jenar. Akhirnya, lahirlah buku ini, yang menjadi salah satu ikhtiarnya untuk meluruskan sejarah salah satu Wali Tanah Jawa ini.
Adapun kontroversi mengenai Syekh Siti Jenar dari perspektif sejarah memang wajar terjadi, bila dilihat dari posisi sosial-politik pada zamannya, posisi kewaliannya, serta keberagamaannya. Sebab – sebagaimana diulas di dalam tiga karya penulis sebelumnya - keterbukaan pemikirannya, beragam perannya sebagai pribadi, kemampuannya menyatukan berbagai perspektif dan sudut pandang keagamaan yang futuristik, menyebabkan Syekh Siti Jenar berada di titik luar mainstream agama dan politik pada masanya, hingga jauh menembus dan mencapai lompatan sejarah ke depan.
Syekh Siti Jenar adalah mistikus Islam besar di Indonesia (Jawa) yang sebenarnya memiliki gagasan-gagasan spiritual mendalam. Ia banyak dipuja sekaligus dicerca. Namun, semua itu justru semakin mengokohkannya sebagai tokoh makrifat yang mantap. Bahkan, popularitasnya tidak kalah cemerlang dibanding semua tokoh wali di zamannya. Dewasa ini, baik kajian, penelitian, dan penulisan mengenai ajaran-ajarannya tampak semakin banyak dilakukan orang.
Dengan demikian, pandangan yang objektif tentu sangat diperlukan. Terkait objektivitas ini, kita perlu mempelajari dan menelaah ajarannya secara langsung, yang dirujuk pada perkataan, ajaran, dan pengalaman Syekh Siti Jenar sendiri, serta beberapa hal yang dikemukakan oleh muridnya pada generasi pertama.
Namun tentu saja, mempelajari langsung bukan berarti dapat dengan mudah mengakses semua sumber tentang ajaran Syekh Siti jenar. Sebab, sebagaimana umumnya dipahami, dalam setiap tarekat dan aliran spiritual keagamaan, pasti terdapat beberapa segi ajaran yang hanya diperuntukkan bagi kalangan internal dan tidak boleh diakses orang luar. Bahkan penulis sendiri terpaksa tidak bisa mempublikasikan beberapa ajaran inti yang hanya diperuntukkan bagi kalangan internal.
Dalam buku ini juga dibantah bahwa Syekh Siti Jenar wafat karena dieksekusi oleh Wali Songo, seperti banyak dituliskan dan dijelaskan dalam berbagai riwayat. Di dalam buku ini dijelaskan bahwa Syekh Siti Jenar wafat secara normal, bahkan tanpa melalui keadaan sakit terlebih dulu. Ia wafat dengan sangat tenang pada sekitar tahun 1530 M dan jasadnya dikuburkan secara terhormat oleh para Wali di Astana Kemlaten. Kesunyian makamnya yang sampai sekarang terjadi, tidak lain menunjukkan keinginannya agar selalu berada dalam kesunyian bersama Ilahi. Pada masa lalu, tempat tersebut dikenal sebagai ”Suwung”.
Dalam sebuah versi dikatakan bahwa Syekh Siti Jenar wafat secara Mokswa, yakni wafat di mana jasadnya ikut hilang terserap menjadi ruh, dan berada di sisi Allah. Tentu hal ini dapat dipahami, bahwa Syekh Siti Jenar yang sudah diliputi Ruh Al-Haqq, sudah melepaskan diri kemanusiaannya secara total. Ia sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Ia bukan bapak, bukan saudara, bukan suami, bukan anak, bukan laki-laki, bukan guru suci, bukan ulama, bukan manusia, bukan sesuatu yang dikait-kaitkan dengan kata-kata, angan-angan, gambaran-gambaran, maupun gagasan-gagasan.
Dalam buku ini, penulis menekankan, bahwa berbagai tuduhan sesat atas ajaran Syekh Siti Jenar sebenarnya hampir semua mengacu pada serat dan babad Jawa, yang ditulis oleh mereka yang kurang mengerti tentang Islam dan Tasawuf. Syekh Siti Jenar tidak mengajarkan ilmu yang sesat maupun menyesatkan. Bahwa dia diberitakan dalam berbagai sumber tradisi mengajarkan ilmu wahdatul wujud dan pengakuannya ”Ana Al-Haqq” yakni bahwa dirinya adalah Allah sehingga dijatuhi hukuman pancung, harus diklarifikasikannya dalam konteks sejarah konflik paham keagamaan pada saat Serat Babad Demak – dan berbagai Serat serta Babad Jawa yang lain – ditulis.
Buku ini juga memaparkan tentang dua tokoh ulama yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar yang menyebarkan ajaran yang benar-benar menyimpang, sehingga nama baik Syekh Siti Jenar tercoreng. Akhirnya dan intinya, buku ini hadir serta memposisikan dirinya sebagai koreksi atas berbagai penulisan ”Serat” dan ”Babad” Jawa dalam penulisan sejarah Syekh Siti Jenar. (Adhika Prasetya Kusharsanto)