“Percayalah dan Yakinlah, bahwa kemerdekaan sebuah Negara yang didirikan di atas timbunan/runtuhan ribuan korban jiwa harta benda dari rakyat dan bangsanya tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia siapa pun juga.”

Siapa tidak kenal sosok Jenderal Soedirman? Sosok Panglima Besar era jelang kemerdekaan Republik Indonesia ini kini diabadikan sebagai nama jalan-jalan protokol di berbagai kota di Indonesia. Bahkan tidak jarang juga, ada nama gedung, kampus, atau juga Universitas yang memakai nama beliau sebagai identitas. Namun jika ditanya di manakah beliau lahir? Rasanya tidak banyak yang mengetahuinya.

Bodaskarangjati, sebuah desa yang terletak di Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, menjadi saksi kelahiran sang Panglima pada Senin, 24 Januari 1916. Ia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga sederhana. Karsid Kartowirodji, ayahnya, adalah pekerja Pabrik Gula Kalibagor. Sementara Siyem, ibunya, adalah keturunan Wedana Rembang. Tak heran, ketika berumur 8 bulan, Sudirman kecil diangkat sebagai anak oleh R. Tjokrosoenaryo, asisten wedana Rembang, yang masih merupakan saudara dari Siyem.

Dua puluh tujuh tahun (27) setelah Panglima Besar Sudirman wafat, diresmikanlah Monumen Tempat Lahir Jenderal Soedirman, tepatnya pada 21 Maret 1977. Monumen ini dibangun pada masa pemerintahan Bupati Goentoer Darjono ini pada 6 Februari 1976, sekarang nama bupati ini diabadikan sebagai nama Stadion Olah Raga di pusat kota Purbalingga. Di tempat inilah, terdapat replika ayunan bayi yang terbuat dari bambu dan boks tempat tidur untuk Sudirman. Di sampingnya, sepasang meja kursi dan dua buah dipan, yang sering digunakan oleh R. Tjokrosoenaryo untuk beristirahat. Sementara di ruang depan, merupakan tempat untuk rapat para pejabat Kawedanan.

Letak museum ini sekitar 35 km ke arah timur pusat kota Purbalingga. Mengingat jauhnya perjalanan yang harus ditempuh, tak heran lokasi wisata sejarah ini sangat sepi pengunjung.  Wisatawan yang berminat mengunjungi  tempat ini, jika hendak menggunakan angkutan umum, harus rela menghabiskan waktu 1-1,5 jam. Sementara, bagi mereka yang menggunakan kendaraan pribadi  tentunya waktu tempuhnya jauh lebih singkat , kurang lebih 20-30 menit dari pusat kota Purbalingga. Bisa dibayangkan sebenarnya, bahwa pada masa Jenderal  Besar ini, tempat ini tentu saja cukup sulit dijangkau. Selain infrastrukturnya belumlah memadai, tentulah pada masa itu, jangkauan kendaraan tidaklah semudah saat ini. Apapun itu, tempat ini menyisakan rekam jejak sejarah yang sudah seharusnya dihargai secara layak.

Sesampainya pengunjung di tempat ini, pengunjung disambut lanskap tanah lapang yang cukup luas. Lagi dapat kita temui  gaya tata ruang pada masa itu yang menempatkan tiga tempat sentral, yaitu: Alun-Alun, Masjid, dan Bangunan Pemerintahan. Di alun-alun inilah, terdapat tiga eks kendaraan tempur TNI yang dipagari rapi yang menyambut pengunjung menuju kompleks monumen.

Memasuki kompleks monumen, lagi-lagi terdapat tiga bangunan utama, yaitu: rumah duplikat, masjid, dan balai pertemuan. Siapa-siapa yang berperan dan meletakkan batu pertama untuk membangun tempat ini, terdapat pada “prasasti” di kiri dan kanan belakang relief yang menceritakan masa hidup Panglima Besar Jenderal Sudirman. Salah satunya disebutkan Ibu Soedirman, yang meletakkan batu pertama pada bangunan Masjid.

Sejuknya pemandangan di tempat ini seharusnya menjadi daya tarik tersendiri karena kini pun sudah didirikan bangunan perpustakaan umum di dalam kompleks monumen. Setidaknya, pengunjung dapat menemukan kembali hidup Pak Dirman pada masanya, tetapi juga meneliti rekam jejak sejarah tertulis yang terdapat pada perpustakaan ini. Moga-moga perjalanan saya ini menjadi undangan yang baik bagi pembaca untuk menghargai perjuangan seseorang yang mewarnai sejarah Negara kita ini sebagaimana layaknya. (Denis Guritno Sri Sasongko)