Hujan lebat baru saja berhenti, udara yang biasanya panas, kini terasa sejuk, walau masih pukul empat sore namun langit tampak gelap. orang orang yang biasa lalu lalang melintas di depan rumah, kali ini tak terlihat, mungkin mereka memilih tinggal di rumah bercengkerama bersama keluarga. lalu lintas kendaraan yang biasanya sibuk dan bising pun kini tampak sepi. Aku baru saja bangun dari tidur, Ayah selalu memerintahkan agar semua anak-anaknya tidur siang.”Dengan tidur siang sebentar, energi kita akan pulih kembali setelah pagi sampai siang hari melakukan banyak kegiatan, waktu sore bisa dipakai untuk bermain dan malam harinya dapat mengulang pelajaran yang diterima di sekolah”, kata ayah. Begitulah cara ayahku membagi waktu untuk anak anaknya.
Kulihat Ibu sedang menulis di buku hariannya, mungkin beliau memilih waktu senggangnya disaat sore, ketika anak anaknya sedang tidur siang. Di usiaku yang baru 10 tahun dan duduk di kelas 4 SD, aku masih belum mengerti kenapa ketika sedang menulis, ibu kadang terlihat tersenyum dan sering kali air matanya berlinang. Aku pernah bertanya, “kenapa menangis, Bu?”, ibuku buru buru menyeka airmatanya, dan berkata, “Ini ibu baru baca cerita sedih, jadi larut dan ikut sedih”, katanya. Aku sendiri mengira-ngira, pasti Ibu sedang sedih karena Ayah, pikirku.
Sejak ayah tidak bekerja lagi di salah satu perusahaan milik negara itu, ayah membuka perusahaan kontraktor di bidang kelistrikan. Ayahku tamatan STM dan mempunyai basis kompetensi di bidang kelistrikan. Usaha Ayah berkembang, ayah mempunyai puluhan karyawan yang bekerja secara tetap, dan ratusan pekerja harian. Suatu ketika ada perusahaan nasional menggandeng perusahaan ayah untuk mengerjakan sebuah proyek besar. Semua installasi kelistrikan di proyek besar itu dikerjakan ayah, Semua modal yang dimiliki ayah diinvestasikan untuk mendukung proyek besar itu, namun, siapa sangka gonjang-ganjing politik di awal tahun 1969-an, menyebabkan beberapa proyek besar dihentikan, perusahaan besar yang menggandeng perusahaan ayah itupun hilang tak meninggalkan jejak, seluruh cabang kantornya di kota Medan ditutup. Ayah kehilangan jejak, perusahaan ayah bangkrut, dan seluruh karyawan diberhentikan dengan membayar pesangon dari menjual perhiasan ibu. Apakah karena itu, ibu kelihatan sedih? Aku tidak tahu, tapi suasana di rumah tetap seperti biasa, ayah dan ibu tetap sering bergurau bersama kami.
Sejak itu, kendali ekonomi rumah tangga ada di tangan ibu. Rumah kami terletak di lingkungan yang sangat strategis, kami bertetetangga dengan kompleks perumahan warga Tiong Hoa yang karena pergolakan politik di Aceh, mereka ditempatkan di pinggir kota Medan. Dari ratusan warga Tiong Hoa hanya ada sekitar 5 rumah pribumi di komplek itu.salah satunya adalah rumah kami. Jangan bayangkan komplek perumahan yang besar, mungkin komplek itu mirip dengan kamp penampungan, namun lebih tersusun rapi. Setiap warga Tiong Hoa hanya mendapatkan rumah dari dinding bambu berlantai tanah seluas 30 meter persegi. Sama dengan rumah kami saat itu, berdinding “gedek” dengan ukuran yang hampir sama. Ayah, ibu dan kami anak anaknya memulai kehidupan dari bawah lagi.
Bertetangga dengan warga Tiong Hoa memiliki keistimewaan sendiri. Kegigihan, kerja keras dan rasa kebersamaan mereka membuat keluarga kami terpacu untuk mengikuti irama mereka. Setiap hari jam 3 dini hari ayah dan ibu sudah bangun pagi memasak makanan kecil dan gorengan yang akan disiapkan untuk para buruh yang akan berangkat pukul 6 pagi. Rumah kami disimpang empat tempat di mana para buruh di pabrik pengolahan udang dan pabrik triplex menunggu jemputan. Sedangkan pukul 11 siang sampai pukul 14.00, ibu membuka warung makan dan melayani para buruh yang bekerja di pabrik pabrik yang didirikan warga Tiong Hoa tersebut.
Pengalaman menjadi istri seorang pegawai BUMN yang serba kecukupan dituangkan dalam buku harian Ibu, terlebih lebih ketika kondisi sangat sulit dan ayah jatuh bangkrut dan bagaimana mereka mengatasi kesulitan itu bersama sama. Ayahku adalah seorang Jawa tulen, beliau berasal dari desa Gumuk Rejo Oro Oro Ombo di Kartasura, Solo Jawa Tengah. Bersama sepupunya seorang Tentara, ayah merantau ke Kota Medan, dan mempersunting seorang istri yang masih punya keturunan Jawa. Kakek dan nenek dari Ibuku berasal dari Cirebon, beliau adalah seorang pegawai perusahaan jawatan kereta api sejak jaman belanda dulu. Sebagai seorang keturunan Jawa yang lahir di kota Medan, Ibuku hanya bisa berbahasa Jawa secara pasif, itupun bahasa “ngoko” bahasa Jawa kasar yang hanya pantas dijadikan bahasa pergaulan usia yang sebaya. Karena kondisi yang sangat sulit, kerinduan Ibuku untuk dapat bertemu dengan metuanya di Solo harus tertunda sampai 12 tahun. Kekhawatiran tidak bisa berbahasa Jawa dan tidak dapat berkomunikasi dengan mertua, terus menghantui pikiran Ibuku. Ayahku mencoba menghubungi teman-temannya sampai akhirnya menemukan sebuah metode belajar bahasa Jawa. Ayahku mendapatkan hadiah dari temannya segepok majalah “Panjebar Semangat” dan buku buku berbahasa Jawa. melalui media itu, dengan sangat gigihnya Ibuku belajar bahasa Jawa, dan selalu berkomunikasi bahasa Jawa tingkat “Kromo inggil” dengan ayahku.
Setelah menunggu begitu lama di tahun 1973, akhirnya kerinduan bertemu mertuanya dikabulkan oleh Allah. Kami sekeluarga berkunjung ke rumah kakek nenekku di desa yang sangat pelosok di Kartasura Solo Jawa Tengah. Ibuku segera mempraktekkan bahasa Jawanya di sana. Komunikasi dengan mertuanya yang tidak bisa bahasa lain selain bahasa Jawa dapat berjalan dengan baik, bahkan kakek nenekku memuji ada orang Sumatera yang lebih “Jowo” ketimbang orang Jawa sendiri, begitu puji kakek nenekku kepada Ibuku. Karena kesenangannya membaca menulis, dan bercerita, ada saja yang diceritakan ibuku kepada tetangga-tetangga desa ayahku di Solo. Mula-mula hanya beberapa orang yang mendengar ibu bercerita. Semakin lama, tamu rumah nenek makin ramai, mereka senang mendengar Ibuku bercerita. Dengan bekal majalah majalah bekas dan beberapa buku cerita berbahasa Jawa yang didapatkan dari lapak di sebelah stadion Sriwedari Solo, Ibuku mulai beraksi. Penggemarnya mulai tak tertampung, bahkan datang dari desa lain. Akhirnya pertunjukkan bercerita dibuat menjadi dua sesi, sesi sebelum waktu magrib dan sesi setelah magrib. Berita tentang Ibu makin ramai, di pasar dan di tempat pengajian di desa itu. Ada orang Sumatera yang mendongeng pakai bahasa Jawa, kira kira begitu cara mereka memperkenalkan Ibu. Orang orang desa rela menanti berjam jam untuk mendengar kisah ibu, baik cerita yang bersumber dari buku maupun kisah cerita pengalamannya sendiri. Namun, ada sesuatu yang membekas di hati penggemar cerita Ibu, ketika Ibu menceritakan kisah yang berasal dari buku hariannya yang Ia terjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Ada tangis haru, keprihatinan, kegairahan, semangat dan optimisme berbaur menjadi satu serta tawa gembira bila kisah tersebut ditutup dengan ending yang menyenangkan.
3 minggu Ibuku di desa ayahku, ketika akan meninggalkan desa tersebut, ibuku dilepas oleh ratusan penggemar ceritanya, mereka seperti tak ingin melepas ibuku pergi. Mereka seakan kehilangan sebuah hiburan yang berbicara tentang mereka sendiri, ikut merasakan bagaimana kehidupan yang sulit itu berlangsung, dan sebuah spirit untuk tetap optimis untuk menyongsong hari depan. Sebuah pemandangan yang mengharukan sekaligus pelajaran yang sangat berharga bagiku. Bahwa dimanapun kita berada kita tidak akan pernah kesepian bila ditemani oleh bahan bacaan. Dan bila pengalaman itu dibagi ke orang lain, tentu akan mempunyai makna dan arti yang tidak pernah kita duga. Seperti yang aku petik dari kisah tentang catatan harian Ibuku ini…
Saat ini Aku sudah menjadi ayah dari 2 orang anak yang sudah remaja, Ayahku telah tiada dan Ibuku sedang sakit, sementara aku belum dapat menjenguknya lagi, ditengah kerinduan yang amat sangat, kutulislah kisah ini. Semoga Pembaca ikut mendoakan agar Allah SWT memberikan kesembuhan, hidayah, barokah, dan kemulian untuk Ibunda tercinta…Amiin ..
Salam, Joko Wahyono