Sekolah Cinta

Pada akhir Juni hingga awal Juli 2016 ini, dunia pendidikan disibukkan dengan isu kasus Samhudi, guru SMP Raden Rachmat Balongbendo, Sidoarjo. Ia dilaporkan oleh Yuni Kurniawan, orang tua siswa bernama sebut saja A, ke polisi karena tuduhan melakukan kekerasan.

Kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat, terutama para pendidik. Pro dan kontra mewarnai kasus Samhudi yang sempat menjalani persidangan di PN Sidoarjo. Upaya penyelesaian masalah itu secara kekeluargaan awalnya buntu. Namun, berkat mediasi dari jajaran Muspida Sidoarjo, kasus tersebut akhirnya berakhir damai dan laporan dicabut oleh Yuni.

Kekerasan di lingkungan sekolah memang tengah menjadi isu hangat di jagat pendidikan tanah air saat ini. Belum lagi kasus-kasus lainnya seperti narkoba di kalangan pelajar dan kenakalan remaja lainnya. Berita-berita negatif yang menyeret warga sekolah seakan-akan tak ada habisnya di media massa.

Karena itu, buku Sekolah Cinta ini bisa dikatakan laksana oase di padang gurun yang luas dan diterpa terik. Buku ini merupakan kelanjutan dari Pemimpin Cinta yang memang merupakan bagian dari trilogi Manajemen Sekolah Cinta. Sang penulis, Edi Sutarto, merupakan sosok di balik keberhasilan Sekolah Islam Athirah yang tersebar di wilayah Sulawesi Selatan.

Kiprahnya di dunia pendidikan bisa dikatakan gelimang. Pernah menjabat sebagai kepala SMA Islam Al-Azhar Pondok Labu, Jakarta Selatan, ia juga dikenal sebagai konsultan dan motivator pendidikan. Prestasinya berlanjut saat menjadi direktur di Sekolah Islam Athirah milik keluarga besar H.M. Jusuf Kalla sejak 2011. Tak heran jika pada 2015 ia dianugerahi penghargaan Tokoh Inspiratif Bidang Penididkan Sulsel oleh Tim Ekspedisi Kapsul Waktu Presiden RI bersama Fajar Group, media terbesar di Sulsel.

Dalam buku ini, Edi mengutip pernyataan Dr M. Syafii Antonio MEc di buku Muhammad SAW The Super Leader Super Manager (2015: 3-8) bahwa krisis terbesar saat ini adalah krisis keteladanan. Akibat yang ditimbulkan dari krisis ini jauh lebih dahsyat daripada krisis energi, kesehatan, pangan, transportasi, dan air. Karena absennya pemimpin yang visioner, kompeten, dan punya integritas tinggi, maka masalah air, konservasi hutan, kesehatan, pendidikan, sistem peradilan, dan transportasi akan semakin parah (hlm. 13).

Karena itu, ia menilai bahwa kunci keberhasilan sebuah proses pendidikan di sekolah amat ditentukan oleh faktor pemimpinnya. Sudah saatnya kepala sekolah sebagai pemimpin tertinggi di sekolah melakukan perubahan. Dengan lugas, disebutkan oleh penulis bahwa kunci dari jawaban seluruh persoalan itu ada di Alquran surat Al-Alaq. Mengapa Al-Alaq? Sebab, di surat ini ada perintah paling utama dan pertama dari Allah SWT, yakni iqra’ (bacalah), sebelum perintah melakukan shalat dan bentuk ketakwaan yang lainnya. Jadi, kalau seseorang mengaku beragama Islam lalu enggan membaca, maka keislamannya patut dipertanyakan.

Disimpulkan bahwa kepala sekolah yang rajin membaca dapat dipastikan cakrawala berpikirnya luas. Orang yang cakrawala berpikirnya luas sudah pasti berbanding lurus dengan kecakapan memandang sebuah persoalan dan kecakapan mengurai solusi persoalan tersebut. Ia pasti akan mengurainya dengan cara yang paling menguntungkan namun tetap dalam rida Allah SWT (hlm. 16).

Menjawab persoalan hukum yang belakangan ini sering menyeret guru, di buku ini juga dijelaskan bagaimana seyogianya pendidikan itu menjauhi kekerasan, apa pun bentuknya. Di Bab II Menjadi Guru Cinta, dipaparkan secara jelas dan tegas bagaimana semestinya seorang guru menjadi guru yang bergairah, guru yang menaklukkan diri, bersedia mencintai, tegar, mengajarkan realitas, dan tak sekadar bicara.

Terlebih dahulu ia mengingatkan bahwa guru harus paham tentang hakikat mendidik. Selain membuat anak dari tidak tahu menjadi tahu, seorang guru juga harus membuat anak yang tidak disiplin menjadi disiplin. Akan tetapi, hal-hal yang berbau kekerasan harus dijauhi. Mendidik kedisiplinan bisa dilakukan dengan pendekatan pendidikan akhlak. Oleh sebab itu, seorang guru selayaknya memiliki gairah besar dalam mendidik, mengajar, membimbing, dan membina siswa dengan memberikan keteladanan.

Di tengah krisis keteladanan yang saat ini terjadi di berbagai bidang, guru semestinya mampu tampil di depan. Keteladanan itu harus dimulai dari kesadaran dan kegairahan untuk terus mengembangkan potensi dan kompetensi diri. Kuncinya, sebagaimana diterangkan dalam buku ini, adalah banyak membaca. Artinya, literasi juga menjadi kunci penting dalam proses membangun keteladanan itu.

Buku ini tidak sekadar motivasi di mulut saja. Sebab, si penulis merupakan praktisi pendidikan yang lama berkecimpung di lingkungan sekolah sehingga sedikit banyak saran atau solusinya berasal dari pengalamannya langsung. Hebatnya, itu dituliskan dengan sederhana sehingga enak dibaca dan menjawab implementasi pembudayaan literasi sebagai salah satu alat pendorong keteladanan.


Oleh: Eko Prasetyo (Pendidik dan Penikmati Buku)

Sumber: Jateng Pos