TAHUN 2014 ditutup dengan gonjang-ganjing seputar pengalihan Kurikulum 2013 ke KTSP. Emosi reaktif guru, kerisauan orang tua, dan kebingungan pemerintah lokal menunjukkan bahwa kurikulum masih menjadi jantung pendidikan nasional kita. Kurikulum berfungsi laiknya buku manual untuk mengoperasikan mesin-mesin yang mencetak produk-produk dengan spesifikasi yang seragam. Sekolah merupakan sebuah industri raksasa yang beroperasi secara mekanistis. Produk mekanisasi itu bernama siswa.

Tahun 2015 seharusnya menjadi titik balik untuk memanusiakan guru. Guru bukanlah robot pengoperasi mesin yang potensi kreatifnya bisa dikebiri buku manual bernama kurikulum. Guru membutuhkan kurikulum yang memandu, bukan mendikte. Kurikulum seharusnya memberikan ruang yang leluasa bagi guru untuk mengambil keputusan, untuk memilih dan memilah materi yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan siswa.

Pemerintah perlu menjadikan 2015 sebagai momen untuk memberdayakan guru melalui destandardisasi kurikulum, program-program pendampingan, membantu guru untuk mengakses bahan ajar di luar buku teks, dan mendorong tumbuhnya materi dan bahan ajar (resource) yang variatif untuk mendorong kreativitas guru.

Di 2015, guru perlu menjadi komunitas literat yang kritis dan berdaya. Pemberdayaan tersebut memerlukan dukungan sistem, yang tidak hanya terdiri atas pemerintah, tetapi juga semua elemen pegiat literasi dan perbukuan.

Terdapat alasan lain mengapa 2015 layak dicanangkan sebagai Tahun Kebangkitan Literasi. Dunia perbukuan Indonesia menjadi sorotan di panggung dunia dalam perannya sebagai guest of honour dalam ajang Frankfurt Book Fair Oktober 2015. Pemerintah tengah menyiapkan buku-buku terbaik dan representatif untuk mencitrakan Indonesia di mata dunia. Ironisnya, di ranah buku anak, buku-buku yang merangkum Indonesia dalam cerita yang berkualitas dan elemen visual yang baik tak banyak jumlahnya.

Rendahnya kualitas dan keragaman buku anak menunjukkan bahwa dunia perbukuan belum dapat berperan maksimal sebagai bahan ajar pendidikan, apalagi meningkatkan minat baca. Mengadopsi istilah yang dipopulerkan Anies Baswedan, gejala itu menandakan gawat darurat literasi anak di Indonesia. Literasi dapat dikatakan sekarat kalau tak berbenah dan meningkatkan kualitas diri. Ia gagal apabila tidak memiliki visi edukasi; menyadarkan anak akan misinya menjadi manusia sejati.

Salah satu contoh kesenjangan reading for learning dan reading for pleasure dapat ditengarai dalam literasi awal. Di Indonesia, anak belajar membaca dengan mengeja suku kata tanpa makna. Ba–ba–ba. Bi-bu–bo. Kefasihan membaca ditentukan seberapa cepat anak mengeja tanpa cela. Ketertarikan anak terhadap teks dan isi cerita (yang kemudian dapat berkembang menjadi rasa ingin tahu dan kegemaran membaca) belum menjadi benchmark atau kriteria kesuksesan literasi. Kurikulum mensyaratkan membaca dengan intonasi yang baik (reading with fluency) dan kemampuan anak untuk menceritakan isi teks kembali (yang berkaitan dengan reading comprehension) sebagai tonggak pencapaian literasi. Setelah itu, anak digegas untuk meraih capaian berikutnya. Tak ada waktu untuk memilih bacaan yang mereka suka dan menganalisisnya. Sekolah dan kurikulum yang kaku telah gagal mengembangkan minat baca anak sejak belia.

Ketika anak beranjak dewasa, buku-buku yang menarik minat mereka tak banyak tersedia. Buku harus bersaing dengan ragam aplikasi dan fitur teknologi. Di sekolah, buku-buku pelajaran melulu didominasi teks yang berceramah tanpa jeda, tanpa bersusah-payah menarik minat pembacanya. Ironisnya, di banyak sekolah, buku-buku fiksi yang anak sukai masih disikapi dengan apriori. Apabila terbawa ke sekolah, buku-buku novel dan komik itu akan tersita dalam razia.

Selama bangsa ini menganggap standardisasi sebagai satu-satunya cara untuk memajukan pendidikan, segala daya dan upaya akan dicurahkan untuk menciptakan banyak standar. Kurikulum yang rigid, standar evaluasi, dan buku teks pelajaran dengan instruksi detail yang seragam sesungguhnya bertentangan dengan semangat literasi.

Tidak seharusnya guru diatur teks bernama kurikulum. Literasi seharusnya memampukan anak dan guru untuk memiliki agensi dan otoritas terhadap teks. Misalnya, guru dapat memilih teks yang sesuai dengan target capaian dan relevan dengan latar belakang anak didiknya. Perlunya pemihakan Menciptakan lingkungan literat yang beragam dan memperkaya merupakan sebuah SENO hal yang niscaya. Dalam pendidikan literasi yang memberdayakan, keterkaitan perlu terjalin antara kegiatan membaca dan menulis.Hal itu dilandasi dua premis. Pertama, dalam kegiatan menulis, anak perlu dibebaskan untuk memilih dan menulis topik yang disukainya. Kedua, kegiatan menulis anak perlu diletakkan dalam konteks kegiatan membaca.

Anak seharusnya diminta merespons teks bacaan, dan apabila perlu, mendekonstruksinya. Sayangnya, keterkaitan tersebut tidak tercipta dalam pendidikan literasi saat ini. Kegiatan menulis di sekolah sering berfungsi untuk mengetes pemahaman anak terhadap teks. Di jenjang literasi awal, pendidikan literasi bahkan tereduksi menjadi kegiatan membaca. Menulis masih dianggap sebagai aktivitas ‘sakral’ untuk meminimalisasi kesalahan eja dan mengekspresikan ide dengan struktur yang sempurna, yang tentu terlalu rumit untuk pembaca pemula.

Ketersediaan beragam teks di luar buku pelajaran tidak hanya membantu siswa menjadi literat secara kritis dan kreatif, tetapi juga mendorong mereka untuk menemukan gairah (passion) terhadap literasi. Satu upaya awal untuk menciptakan itu ialah pemerintah perlu berperan lebih besar dalam memperkaya resource pendidikan ini.

Dalam kondisi gawat darurat literasi, pemerintah seharusnya tidak menyerahkan produksi buku anak sepenuhnya kepada kendali pasar. Pemerintah perlu mengupayakan keragaman dengan mendorong tumbuhnya buku-buku anak yang mengangkat tema-tema multikulturalisme, sains, sosial kemanusiaan, dengan standar penjenjangan yang kompatibel dengan pendidikan literasi (tingkat awal hingga tingkat lanjut), sains, dan matematika di sekolah. Upaya itu tentu tidak semata-mata menghalalkan proyek-proyek pengadaan buku ala inpres di masa Orde Baru yang saat itu menghasilkan buku-buku tanpa supervisi konten sehingga tidak berkualitas, rawan korupsi, dan tidak terdistribusi dengan baik.

Kebangkitan literasi dapat terjadi melalui peningkatan kualitas buku, penguatan peran fasilitator, dalam hal ini orang tua, guru, dan komunitas, dan pemaknaan baru terhadap kegiatan membaca dan menulis.

Membangun komunitas yang gemar membaca dan menciptakan individu yang literat dapat dilakukan dengan mengurangi kesenjangan antara reading for learning dan reading for pleasure. Beberapa langkah strategis untuk memperkaya sumber daya literasi dan mereformasi pendidikan literasi di antaranya:

  1. Membentuk lembaga independen beranggotakan pustakawan, pendidik, akademisi, pakar, dan sastrawan, untuk menetapkan rujukan literer sastra anak melalui pemberian anugerah sastra anak dan sosialisasi daftar buku rekomendasi. Amerika Serikat telah melakukan hal itu melalui American Library Association (ALA) dengan penghargaan Newberry dan Caldecott yang bergengsi. Demikian pula National Book Development Council of Singapore (NBDCS) di Singapura, sebuah lembaga yang aktif mengadakan festival literasi dan penganugerahan sastra anak setiap tahun.
  2. Memberikan subsidi untuk mendukung produksi buku-buku anak yang berkualitas tinggi, yang selama ini tidak diproduksi penerbit komersial karena dianggap kurang laku (low-sell). Di Amerika Serikat, buku-buku anak pemenang penghargaan yang kurang diminati pasar tetap diproduksi karena diapresiasi komunitas akademik dan digunakan di sekolah. Buku-buku itu didistribusikan ke perpustakaan-perpustakaan sekolah atau ditawarkan kepada sekolah dengan harga murah, dilengkapi dengan panduan untuk mengintegrasikannya dengan pelajaran bahasa, sains, dan matematika.
  3. Mendukung adaptasi buku dengan teknologi untuk meningkatkan aksesibilitasnya ke penjuru negeri. Selain itu, rekonstruksi konten buku dalam format multimedia dan fitur yang interaktif juga bertujuan merespons kebutuhan dan minat anak di era digital ini.
  4. Mendukung dan mendampingi guru-guru dalam memilih dan mendayagunakan bahan ajar di luar buku teks pelajaran dan menerapkannya di dalam kelas dengan metode yang kreatif dan inovatif.

Pelatihan-pelatihan untuk guru yang hanya bertujuan mencekoki guru dengan aspek teknis implementasi kurikulum sesungguhnya merupakan degradasi profesi keguruan. Kita membutuhkan lebih banyak kisah kesuksesan tentang pengalaman dan kepakaran guru di dalam ruang kelas; tentang bagaimana mereka mendayagunakan bahan ajar dan menghadapi kebutuhan siswa yang beragam. Kita membutuhkan lebih banyak subjektivitas guru dan mendukung mereka untuk menemukan gairah (passion) dalam mengajar.

Sekolah tentu bukan satu-satunya lokus kebangkitan literasi. Gerakan literasi juga perlu terjadi dalam keluarga dan komunitas. Di samping langkah strategis di atas, pemerintah perlu mendukung inisiatif-inisiatif kampanye literasi di masyarakat melalui rumah baca dan perpustakaan komunitas. Hanya melalui upaya sinergis dan kolaboratif di antara elemen pendukung elemen literasi, kebangkitan literasi dapat terwujud pada 2015.

Sofie Dewayani - Ketua Yayasan Litara dan Pegiat Gerakan Ayo Membaca, Indonesia!

Sumber : Satria Dharma