Written by ENDO KOSASIH, S.Pd.- Guru di SMPN 4 Pagaden dan Sekretaris Umum MGMP Bahasa Inggris, Kab. Subang.
Pemerintah pusat sebelum ini menguasai wewenang pengembangan kurikulum secara penuh. Saat ini satuan-satuan pendidikan tersebut diberikan wewenang langsung untuk mengembangkan kurikulum sendiri. BABAK aksi baru pendidikan di negara kita telah dimulai dengan di-gong-kannya kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) tahun 2006 ini. Ini berarti satuan-satuan pendidikan harus mampu mengembangkan komponen-komponen dalam kurikulum (baca KTSP). Komponen yang dimaksud mencakup visi, misi, dan tujuan tingkat satuan pendidikan; struktur dan muatan; kalender pendidikan; silabus sampai pada rencana pelaksanaan pembelajaran.

Jika dilihat dari semangat pemberian kekuasaan/wewenang pengembangan kurikulum ke satuan-satuan pendidikan (devolution), pengembangan KTSP ini mirip dengan konsep school based curriculum development (SBCD) di Australia yang mulai ditetapkan pertengahan tahun 1970-an.

SBCD atau “pengembangan kurikulum berbasis sekolah” ini muncul diawali dengan wacana yang berkembang di kalangan pelaksana pendidikan sekolah dalam hal ini guru-guru di Australia dan negara-negara lainnya pada awal 1970-an. Wacana tersebut pada intinya adalah tuntutan lebih banyak kebebasan dalam menentukan kurikulum di sekolah oleh warga sekolah.

SBCD memiliki beberapa karakteristik yang secara umum mirip dengan pengembangan KTSP di Indonesia. Yaitu, adanya partisipasi guru; partisipasi keseluruhan atau sebagian staf sekolah; rentang aktivitasnya mencakup seleksi (pilihan dari sejumlah alternatif kurikulum), adaptasi (modifikasi kurikulum yang ada), dan kreasi (mendesain kurikulum baru); perpindahan tanggung jawab dari pemerintah pusat (bukan pemutusan tanggung jawab); proses berkelanjutan yang melibatkan masyarakat; dan ketersediaan struktur pendukung (untuk membantu guru maupun sekolah).

Setelah hampir dua dekade, yakni sampai tahun 1990-an, pelaksanaan SBCD di Australia ternyata bukanlah tanpa hambatan. Ada sejumlah faktor yang bila tidak ditangani dengan baik dapat menghambat pelaksanaan SBCD di negeri Kanguru tersebut. Faktor-faktor ini tampaknya perlu kita perhatikan berkenaan dengan pelaksanaan KTSP di negeri kita.

Pertama, keberadaan struktur-struktur pendukung pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah. Guru-guru terkadang kekurangan informasi dan juga stimulus mengenai pengembangan kurikulum berbasis sekolah. Jika guru-guru tidak memperoleh informasi yang memadai dan tidak mendapat stimulus yang sesuai, maka pengembangan kurikulum berbasis sekolah sukar terwujud apalagi sampai mencapai taraf yang standar. Tentunya keberadaan struktur pendukung yang membantu guru-guru dan warga sekolah lainnya ini sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan kurikulum berbasis sekolah/satuan pendidikan.

Kedua, struktur pengambilan keputusan yang mendukung pelaksanaan pengembangan kurikulum. Partisipasi semua staf sekolah dalam pengambilan keputusan sangatlah diperlukan dalam pengembangan kurikulum. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan berkenaan dengan pengambilan keputusan yang menarik partisipasi semua staf di sekolah perlu ada dan dilaksanakan. Dominasi kepala sekolah yang berlebihan atas keputusan pengembangan kurikulum dapat menghambat keberhasilan pengembangan kurikulum.

Ketiga, perubahan dalam persepsi peran guru terhadap pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum tingkat sekolah/satuan pendidikan menghendaki adanya perubahan persepsi peran guru dari peran sebagai penerima-pasif ke arah peran pengambilan keputusan kurikulum. Jika persepsi terhadap peran guru ini tidak berubah, pengembangan kurikulum model ini tidak akan pernah berhasil.

Keempat, persoalan keahlian pengembangan kurikulum warga sekolah. Jika warga sekolah memiliki sejumlah pengalaman dan pengetahuan yang memadai tentang pengembangan kurikulum, pelaksanaan pengembangan kurikulum akan dapat dilaksanakan dengan mudah dan tanpa kesulitan berarti.