Written by St Kartono - Guru SMA Kolese De Britto Yogyakarta.
"Aku pikir mereka akan berbicara tentang semangat baru sebuah kurikulum dan berbagai pendekatan kepada siswa. Ternyata, yang namanya sosialisasi kurikulum baru oleh para pengawas dari Dinas Pendidikan hanyalah bicara hal-hal administratif belaka." Itulah ungkapan kekecewaan sebagian guru sebuah SMA di Yogyakarta, ketika usai mengikuti sosialisasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pertanyaan saya, benarkah pembaruan kurikulum hanya sebatas perubahan administratif?
Mestinya, sebuah kurikulum baru menghadirkan refleksi yang positif pada praksisnya.

Akan tetapi, perlu disadari bahwa kurikulum bukanlah satu-satunya unsur yang penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Masih ada buku pelajaran, pengelolaan persekolahan, administrasi, biaya, guru, peranan orangtua, dan siswa sendiri.

Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa selalu terjadi kesenjangan antara kurikulum yang direncanakan atau diidealkan dengan pelaksanaannya di lapangan. Kritik terhadap kesenjangan implementasi kurikulum di lapangan lebih banyak ditujukan kepada guru.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22/2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan Permendiknas No 23/2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan, mengantar kemunculan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau Kurikulum 2006. Setiap satuan pendidikan dasar dan menengah diberikan peluang mengembangkan dan menetapkan KTSP.

Keleluasaan dan kebebasan itu memang belum sepenuhnya mewarnai peluncuran KTSP, karena masih menyisakan sebuah paradoksal, yakni keharusan menempuh ujian nasional. Meski dihadang ujian nasional, toh ada semangat pembaruan terhadap kurikulum sebelumnya.

Kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang berlangsung selama ini dinilai sebagian kalangan sebagai overloaded dan para siswa dibawa untuk "tahu sedikit tentang hal yang banyak". Secara sentralistis, muatan pelajaran dan jam pelajaran ditentukan seragam untuk seluruh negara. Sebagai guru, saya menilai KTSP akan mendorong upaya kontekstualisasi pendidikan. Sekolah tak dilarang mengembangkan kurikulum sendiri.

Kecenderungan KTSP mengarah pada kurikulum pendidikan yang menekankan less is more, yaitu jumlah bahan mengajar dikurangi supaya siswa dapat meneliti secara mendalam. Pengurangan jumlah bahan pelajaran dilakukan agar siswa mempunyai banyak waktu luang untuk lebih mendalami bahan itu (Suparno, dkk, 2002). Siswa tak diburu waktu, tetapi mempunyai kesempatan untuk berpikir kritis dan berefleksi.

Model kurikulum less is more adalah menghilangkan substansi pelajaran yang berulang-ulang; menghilangkan pokok bahasan yang tak esensial yaitu pokok bahasan yang sekadar "kosmetik"; menawarkan ketuntasan belajar; menyediakan materi terapan yang dapat digunakan siswa untuk meningkatkan mutu kehidupannya; membiasakan pola berbudi pekerti, disiplin, tertib, menerapkan hak asasi manusia, kewajiban serta kepedulian sosial; menyajikan kurikulum pilihan yang sesuai dengan kemampuan sumber daya daerah.

Dalam kerangka less is more, penting ada kerja sama-sekurang- kurangnya ada komunikasi-dengan sesama guru pengampu mata pelajaran serumpun dalam satu sekolah. KTSP dapat dielaborasi oleh daerah dan/atau sekolah sesuai kondisi dan kepentingan daerah atau sekolah. Elaborasi oleh daerah atau sekolah dapat berupa silabus yang cocok dengan kondisi serta kepentingan daerah atau satuan pendidikan.

Kesiapan guru
Ketika KTSP bergulir, yang ingin saya temukan adalah semangat apa yang dihadirkannya? Kalau tidak demikian, saya pasti akan terjebak dalam arus kebiasaan sosialisasi atau seminar kurikulum baru, lantas membawa segepok dokumen ke sekolah, ujung- ujungnya sibuk dengan urusan administratif perubahan kurikulum.

Memang, guru acap kali dihadapkan pada bahasa kedinasan yang serba- harus, tanpa diperhitungkan profesionalitasnya. Hal ini bisa berdampak negatif dan menjadikan guru sekadar robot dalam pelaksanaan kurikulum, sekadar menunggu petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan.

Betapa mudah para penatar dalam sosialisasi mengatakan seharusnya begini atau seharusnya begitu, tapi setelah dikonfrontasikan dengan pelaksanaan di lapangan terbukti ada kesenjangan asumsi pengembang kurikulum pusat dengan situasi riil para pelaksana. Jadi, mendesak untuk para guru dikembangkan sikap "kekinian" terhadap kurikulum, baik mengenai pemikiran pedagogis maupun arus zaman di sekitar siswa.

Jika demikian yang terjadi, mendesak untuk disampaikan kepada para kepala sekolah dan guru di lapangan agar terus-menerus berani mencoba dan kreatif dalam mengimplementasikan KTSP. Kepala sekolah mesti mendorong para guru untuk mempertimbangkan penjabaran materi dengan mendahulukan materi yang sangat esensial.

Guru mesti memerhatikan kompetensi dasar minimum yang disyaratkan para siswanya. Penyesuaian materi secara kuantitatif memungkinkan memberi perhatian pada dimensi nilai-nilai kehidupan yang ada pada setiap pelajaran. Satu hal yang perlu dilakukan adalah kontekstualisasi materi pelajaran.

Guru diandaikan memiliki penguasaan bahan pelajaran, lebih dari sekadar materi dalam buku pelajaran. Ia perlu mengetahui karakteristik siswa-siswi sebagai orang yang belajar beserta lingkungan mereka. Karakteristik siswa dan lingkungan perlu dijadikan pertimbangan dalam menyusun proses belajar mengajar.

Sumber: Harian Kompas