Pertanyaan yang menjadi judul di atas mungkin terkesan konyol. Mana ada orang baik seperti Anda secara sadar mau ikut-ikutan membajak. Apalagi membajak buku, barang yang saat ini belum banyak orang cari dan beli. Jangankan dibajak, dilihat saja mungkin tidak. Secara logika mana ada orang membajak barang jika tidak menguntungkan. Iya kan?
Sepintas mungkin anggapan itu benar. Tapi fakta menunjukan hal berbeda. Di negeri ini, sejak beberapa tahun lalu aksi pembajakan buku juga tak kalah marak dibanding pembajakan barang komersial lain seperti CD, kaset, software program atau apapun. Apalagi jika kita melihat definisi pembajakan buku yang biasa tercantum di setiap buku -yaitu upaya memperbanyak buku dengan cara dicetak, difoto-copy atau cara lain tanpa mendapat izin tertulis dari penerbit buku terkait- maka akan kita temukan banyak sekali pihak yang secara sadar ataupun tidak sadar bisa disebut pembajak.
Sepinya perhatian masyarakat terhadap aksi pembajakan buku ini memang bisa dimaklumi. Berita seputar pembajakan buku tidak banyak diulas media. Akibatnya masyarakat banyak yang tidak tahu adanya aksi yang merugikan banyak pihak ini.
Meskipun pihak penerbit dan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sudah banyak melakukan kegiatan untuk mengurangi aksi pembajakan ini, mulai dari aksi penyadaran agar masyarakat tidak turut membajak hingga upaya penindakan hukum kepada pedagang, percetakan dan pengusaha yang membajak buku, tetap saja isu tentang pembajakan buku ini tidak ramai dibicarakan orang.
Tentu kondisi ini sangat mengkhawatirkan. Apalagi kalau melihat dampak negatif yang timbul akibat pembajakan tak hanya secara materiil tapi juga non-materiil.
Secara materiil pendapatan penerbit buku akan berkurang karena maraknya buku bajakan. Padahal pada saat yang sama penerbit harus membayar royalti kepada penulis, membayar penerjemah, membayar biaya operasional, membayar biaya promosi, dan membayar biaya produksi. Sedangkan secara non-materil yang dirugikan adalah bangsa ini. Banyak penerbit dan penulis luar negeri yang sungkan bekerjasama dengan penerbit lokal karena khawatir buku yang dibuatnya dibajak orang. Sehingga secara bisnis kurang menguntungkan.
Kampanye.
Melihat kondisi yang mengkhawatirkan itu Penerbit Erlangga berinisiatif melaksanakan kampanye “Jangan Bajak Buku”. Aksi yang dimulai awal Oktober ini mengajak seluruh pihak, mulai dari masyarakat, pengusaha fotokopi, pedagang buku, pengusaha percetakan, kalangan media dan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), secara bersama-sama melawan aksi pembajakan buku. Fokus kegiatan ini adalah menarik perhatian semua kalangan untuk peduli dan bersedia “memerangi” aksi bajak buku.
Untuk mencapai tujuan tersebut Penerbit Erlangga melaksanakan beberapa kegiatan seperti pembagian sticker dan PIN kepada masyarakat, kunjungan media, kerjasama dengan Asosiasi Pengusaha Photocopy, kerjasama dengan IKAPI melaksanakan penindakan hukum kepada pedagang dan percetakan buku bajakan. Selain itu akan diadakan pula lomba disain poster “Jangan Bajak Buku” untuk kalangan mahasiswa se-Indonesia. Hasil lomba ini akan dilanjutkan dengan pameran poster “Jangan Bajak Buku” yang dilaksanakan di beberapa kota besar.
Corporate Social Responsibility
Kampanye “Jangan Bajak Buku” yang rencananya akan dilaksanakan setiap tahun ini adalah salah satu bentuk aktifitas sosial atau corporate social responsibility Penerbit Erlangga. Kampanye “Jangan Bajak Buku” tidak semata-mata ingin menindak kalangan tertentu yang mengambil keuntungan dengan cara illegal tapi juga membangun kesadaran masyarakat tentang pengertian bajak buku. Sebab maraknya pembajakan buku saat ini tidak lepas dari minimnya pengertian masyarakat tentang aksi bajak buku.
Kebanyakan orang beranggapan yang dimaksud dengan bajak buku adalah memperbanyak buku dengan cara mencetak secara professional untuk kemudian dijual-belikan. Sehingga aktifitas di luar pengertian tersebut tidak termasuk pembajakan. Padahal pengertian pembajakan buku lebih luas lagi. Upaya memfotokopi buku secara keseluruhan tanpa izin dari penerbit juga termasuk pembajakan.
Melalui gerakan “Jangan Bajak Buku” ini Penerbit Erlangga coba membenahi kekeliruan pandangan tersebut. Dengan beberapa kegiatan yang sudah dirancang tersebut Penerbit Erlangga berharap masyarakat menyadari akibat negatif yang dihasilkan pembajak buku. Jika pembajakan buku marak, maka penerbit buku yang dirugikan. Jika penerbit dirugikan maka banyak yang tidak mampu berusaha. Jika penerbit banyak yang tidak mampu berusaha maka tidak ada yang akan membuat buku. Ujung-ujungnya masyarakat juga yang akan dirugikan karena tidak tersedia bahan bacaan. Semoga saja situasi tak benar-benar terjadi.