Inilah barangkali kesimpulan yang disampaikan oleh Ahmad Baso dalam makalah Bedah buku NU Studies : Pergolakan antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal yang terselenggara pada hari sabtu, 31 Maret 2007 bertepatan dengan hari Maulud Nabi Muhammad SAW hasil kerjasama PWNU Jateng, Semesta Institute dan Penerbit Erlangga di Hotel Pandanaran Semarang.
Dalam kesempatan ini, penulis berupaya menelaah NU Studies (NU sebagai subyek, belajar), menghadapi Fundamentalisme Agama dan Imperialisme Neo-Liberal. Masing-masing kelompok tersebut sama-sama menawarkan pemikiran yang menggoda dan mengenakkan. Kkelompok liberal memasang iklan “umat Islam perlu mencerahkan pemikirannya, supaya tidak menjadi sasaran empuk kelompok-kelompok teroris”. Demikian pula, kelompok Neo-Wahabi memasang iklan “umat Islam perlu menegakkan syariat Islam supaya Indonesia bisa keluar dari krisis multidimensi”.
{mosimage} Kalangan pesantren dan para kiai khususnya sebagai warga nahdliyin, secara cerdas mnyikapi hal tersebut dengan tidak ditampik secara hitam putih tetapi disaring, dengan cara menempatkannya dalam konteksnya masing-masing. Disinilah pentingnya NU Studies hadir dalam konteksnya. Yakni konteks dimana NU bisa bermain dalam setiap arena dan panggung, dalam posisinya yang tetap awet dan legit, baik di tingkat lokal, nasional, maupun global.
Turut memeriahkan acara ini Penerbit Erlangga membuka stand pameran buku dengan menampilkan koleksi buku-buku agama Islam, khusus pembelian buku NU Studies pada hari itu akan mendapatkan tandatangan langsung dari penulis. (Fitra)
Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1985, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU. (www.nu.or.id)