Di banyak diskursus tentang ibadah puasa, selalu dikatakan bahwa tujuan puasa yang esensial adalah agar yang menjalaninya (shaim) dapat merasakan penderitaan orang-orang yang kesehariannya menahan lapar dan haus karena ketidakmampuan ekonomi. Dari “rasa” itu, diharapkan tumbuh kesadaran, kepedulian, empati kepada penderitaan mereka. Pada akhirnya, dari kesadaran dan kepedulian tersebut diharapkan melahirkan tindakan-tindakan nyata yang bisa dirasakan oleh sesama umat manusia terutama kaum duafa.
Seorang ulama pernah berkata bahwa ukuran keberhasilan ibadah seseorang dapat dilihat dari perubahan positif dalam dirinya setelah menjalankan ibadah tersebut. Misalnya, setelah menjalankan ibadah puasa sebulan penuh, seseorang yang sebelumya kikir berubah menjadi dermawan, yang sebelumnya pemarah berubah menjadi penyabar, yang sebelumnya kasar berubah menjadi lemah lembut, yang sebelumnya jutek berubah menjadi ramah dan murah senyum, dan seterusnya. Jika setelah menjalani ibadah, seorang muslim mengalami perubahan positif, berarti ibadahnya benar-benar barhasil memberi nilai-nilai positif terhadap akhlak dan tingkah lakunya sehari-hari.
Sebaliknya, jika setelah menjalankan ibadah, kepribadian, akhlak dan tingkah laku seorang muslim tidak berubah, berarti ibadahnya bisa dibilang gagal. Ibadah yang dijalankannya hanya sebatas rutinitas ritual yang tak memberi nilai apa pun pada dirinya. Lalu—mengutip lirik Bimbo—Buat apa berlapar-lapar puasa? Pertanyaan yang terkesan lugu ini sebenarnya pertanyaan yang sangat mendasar tentang apa sebenarnya tujuan berpuasa dan tujuan ibadah secara lebih luas.
Menjalankan perintah Allah SWT seperti ibadah puasa Ramadhan sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an adalah kewajiban setiap muslim yang sudah baligh. Benar! Tapi, apakah kita berpuasa hanya sekadar menjalankan kewajiban agama? Hanya menjalankan rutinitas ritual keagamaan dengan harapan mendapatkan pahala dan menghindari siksaan api neraka?
Allah SWT memerintahkan ibadah kepada hamba-Nya, tentunya kerena ibadah itu bernilai dan bermanfaat untuk hamba-hamba-Nya, baik manfaat secara fisik, mental, maupun spiritual. Apalagi dijalankan dengan niat ibadah, sungguh-sungguh, dan ikhlas karena Allah SWT.