Salah satu ajaran Islam yang esensial adalah keimanan kepada hari akhirat. Menurut Fazlur Rahman (1919-1988), tokoh neo-modernisme Islam, ide pokok yang mendasari ajaran mengenai hari akhirat (eskatologi) dalam Al-Qur’an adalah, bahwa akan tiba suatu saat ketika setiap manusia akan memperoleh kesadaran unik yang tidak pernah dialaminya pada masa sebelumnya mengenai amal perbuatannya. Pada saat itu setiap manusia akan dihadapkan kepada apa yang telah dilakukannya dan ia akan menerima balasan akan perbuatannya tersebut.

Paham eskatologi yang khas dengan agama Islam merupakan implementasi atas keyakinan yang mengakar dalam tubuh pemeluk agama Islam, sebab kepercayaan akan sesuatu yang metafisika, sesuatu yang gaib (termasuk eskatologi) merupakan salah satu kewajiban pemeluk agama Islam dalam meyakininya.

Penyampaian paham eskatologi pada zaman Rasulullah SAW selalu mendapat pertentangan dari kaum kafir Quraisy, karena mereka pikir hal tersebut adalah suatu hal yang mustahil, menurut mereka, apakah bisa tulang belulang yang telah hancur lebur akan dibangkitkan dan dihimpun kembali oleh Allah pada hari akhir nanti?

Sebenarnya penolakan masyarakat Quraisy Mekkah terhadap ajaran tentang kebangkitan ini tidak lepas dari sikap sosial-politik dan ekonomi mereka yang sangat despotik dan eksploitatif. Mereka, sebagai kaum aristokrat yang memegang aset-aset ekonomi dan kekuasaan politik, menjalankan kehidupan yang menghalalkan segala macam cara untuk memperkuat kedudukan mereka dalam masyarakat. Intinya paham yang dibawa oleh Rasulullah SAW sangat bertolak belakang dengan pola hidup masyarakat Quraisy pada saat itu. Tak pelak lagi Rasulullah SAW dianggap merusak tatanan masyarakat sosial yang telah mengakar lama, Rasulullah SAW dianggap telah menghancurkan struktur kekuasaan hegemonial kaum kafir Quraisy, sehingga Rasulullah SAW tidak hanya dianggap telah menghancurkan sistem akidah tetapi juga telah menghancurkan tatanan sosial yang telah lama ada pada masyarakat Quraisy.

 

Kalau kita refleksikan dengan keadaan bangsa kita saat ini, perilaku masyarakat Quraisy Mekkah tidak jauh berbeda dengan perilaku sebagian elite politik dan elite ekonomi kita. Keyakinan akan adanya akhirat hanya berupa keyakinan pengetahuan semata, sementara perbuatannya sangat bertolak belakang dengan apa yang diyakininya. Itulah sebabnya penyelewengan uang negara, perilaku politik yang tidak sehat, dan berbagai perbuatan-perbuatan lain yang melanggar koridor moral dan etika agama sangat permisif dilakukan oleh sebagian kita.

Keyakinan akan adanya akhirat dan ibadah puasa merupakan jalinan kelindan pada ranah ketauhidan  dalam Islam. Puasa yang kita lakukan pada hakikatnya mengajarkan kita untuk mengendalikan segenap indra kita. Puasa mempertajam keyakinan orang beriman terhadap janji Allah akan balasan perbuatan manusia selama di dunia. Janji tersebut akan dibuktikan saat nanti ketika kita dibangkitkan kembali di alam akhirat. Apabila raga telah berlatih dalam hal menahan segala yang diinginkannya, maka begitupun dengan jiwa yang terus berlatih akan ruang kepercayaan yang sulit dijelaskan dan hanya orang tersebutlah yang tahu. Puasa adalah ibadah yang melatih ketajaman dan mempertegas keyakinan akan adanya alam akhirat kelak (eskatologi).

Alangkah dahsyat ibadah puasa. Puasa mampu menggerakkan seseorang yang sedang berpuasa (shaim) untuk menjaga dengan segenap tenaga dirinya dari segala hal yang akan merusak puasanya. Hal ini menjelaskan bahwa puasa adalah tangga terdekat menuju Allah SWT. Selain itu, puasa juga mampu menggerakkan tangan si shaim untuk berbagi dan bersedekah. Dengan bersedekah seseorang tidak hanya dijanjikan mendapatkan pahala yang berlipat ganda, namun ia juga akan mendapatkan ketenangan batin.

Puasa melatih jiwa dan raga kita untuk sedikit demi sedikit memperkuat keyakinan kita akan sistem pahala yang akan didapatkan, keyakinan akan adanya hari perhitungan, hari pembalasan. Puasa melatih diri kita untuk memperkuat iman kita terhadap sesuatu yang metafisika, selayaknya puasa sebagai ibadah yang bersifat personal, di mana hanya kita dan Allah SWT lah yang menegetahui apa yang kita perbuat. Begitupun juga dengan iman yang berada di dalam lubuk hati kita.