Kaffarat adalah ganjaran atau hukuman. Kaffarat jatuh pada seseorang jika ia melakukan persetubuhan secara sengaja di bulan puasa. Namun jika ia tak sengaja atau lupa maka tak mengapa. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Majah dari Ibn Abbas,bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Bahwasanya Allah tiada menyalahkan ummatku karena mengerjakan sesuatu kesalahan (kesilapan), karena lupa dan karena dipaksa”.

Ada tiga pendapat tentang orang yang bersetubuh dalam bulan Ramadan:

  1. Wajib atas si suami saja memberi kaffaratnya.
  2. Wajib mengeluarkan kaffaratnya dan kaffarat istrinya.
  3. Wajib atas kedua-duanya memberi kaffarat, tetapi si suami memikul sekedar dapat dipukul, yaitu memerdekakan budak dan memberi makan orang miskin.

Memeluk istri atau merangkulnya lalu keluar mani, tidak mewajibkan kaffarat. Demikian pulalah pendapat Abu Hanifah, ”Setiap macam inzal (keluar mani) mewajibkan kaffarat, kecuali inzal karena mengulang-ulang pandang, tak ada kaffarat dan tak ada qadha.”

Tetapi Malik, Abu Tsaur mewajibkan qadha dan kaffarat. Pendapat ini dinukilkan juga dari Atha, Al-Hasan, Ibnu Mubarak dan Ishaq. Mereka berpendapat  wajib dikaffaratkan puasa lantaran rusak karena bersetubuh bukan dalam faraj (kemaluan).

Ulama berpendapat, jima (persetubuhan)  yang sempurna ialah jima dalam keadaan sadar. Karenanya orang yang berjima dalam keadaan lupa tidak rusak puasanya. Kaffarat ini sendiri hanya berlaku bagi puasa Ramadhan. Sedangkan bagi puasa sunah tidak berlaku.