Qadha adalah ganti atau membayar kewajiban yang ditinggalkan. Masyhur membayar puasa yang ditinggalkan bisa dilakukan sepanjang hari, kapan saja di bulan selain bulan Ramadhan. Tapi sebagian ulama menetapkan bahwa mengqadha puasa Ramadan yang ditinggalkan wajiblah beriring-iringan, tak boleh berselang-selang. Tetapi sebagian ualam lain membolehkan berselang-selang.

Diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dari Ibn Umar bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: ”Qadha Ramadan boleh berselang dan boleh pula dengan beriring-iringan”.

Mafhum hadis ini apabila seseorang meninggalkan puasa lima hari umpamanya, maka ia boleh mengqadhanya sehari, berselang dan boleh juga terus-menerus kelima hari asal dalam tahun itu juga menjelang Ramadan yang berikutnya.

Disebutkan dalam Al Bahar, bahwa Daud berkata: ”Hendaklah orang yang mengqadha puasanya, menyesuaikan waktu qadha dengan waktu meninggalkan puasa. Jika ditinggalkan puasa itu di awal bulan, hendaklah ia mengqadhanya di awal bulan pula.”

Qadha Ramadhan tidak wajib dilaksanakan segera namun boleh ditakhirkan sehingga bulan Syaban, baik ada uzur, maupun tidak. Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah: ”Atasku ada puasa Ramadan, maka aku tidak mengqadhanya, sehingga datanglah bulan Syaban tahun berikutnya”.

Apabila seseorang tidak mengqadhanya sehingga menjelang Ramadhan yang berikutnya, maka menurut sebagian ulama diwajibkan atas orang itu memberi fidyah (denda) selain tetap wajib mengqadha puasanya.

Tetapi ulama Hanafiyah tidak mewajibkan fidyah baik ditakhirkan karena uzur, atau bukan. Malik, Asy Syafi’i, Ahmad dan Ishaq sependapat dengan ulama Hanafiyah.  Dalil yang dapat dipegang untuk pendapat ini tidak ada. Maka pendapat ulama Hanafiyah yang hak dalam hal ini.

Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Ibn Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Barangsiapa meninggal dan ada puasa Ramadhan yang telah ia ditinggalkan, maka hendaklah diberi makan atas namanya sehari seorang miskin”.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas: ”Apabila seseorang lelaki sakit dalam bulan Ramadan, kemudian ia meninggal dunia, padahal ia tidak berpuasa, diberi makanlah atas namanya (difidyahkan). Tak ada qadla atasnya. Dan jika puasa nazar hendaklah diqadlakan oleh walinya”.

Dari hadits di atas ulama mewajibkan fidyah atas orang yang meninggalkan puasa, tidak dapat mengqadlanya sebelum ia meninggal dunia.

Kata Ibnu Abbas:”Jika ia meninggalkan puasa tanpa uzur, wajiblah difidyahkan dan jika dengan uzur, tidak”. Kata Asy Syafi’i: ”Jika ia tidak mengqadhanya hingga sampai setahun dengan ketiadaan uzur, wajiblah difidyahkannya dan jika ada uzur, tidak”.

Kata An Nakha’i:”Tidak wajib atas mereka memberikan fidyah, karena Tuhan menyuruh mengqadhanya dan tidak menyebut urusan fidyah”.

Kata Ibn Abdil Haq dalam Al Ahkam: ”Tak ada hadits yang shahih yang menyuruh kita menyuruh kita memberi fidyah untuk puasa si mati”.