Di permulaan Islam, ketika baru-baru datang perintah wajib puasa, kaum muslimin menyelenggarakan makan minum dan bersetubuh di kala terbenam matahari, sehingga shalat isya, atau sehingga tidur saja. Sesudah itu tidak lagi makan minum dan menjima’i istri.

Sekali peristiwa terjadilah pelanggaran atas aturan itu yang dilakukan Sayidina Umar Ibn Khaththab. Pada suatu malam sesudah Umar shalat isya, beliau menggauli isterinya karena lupa. Sesudah terjadi pelanggaran itu, dengan menyesal beliau pergi kepada Rasulullah Saw. menanyakan hukumnya.

Demi Umar menceritakan kesalahannya dengan terus terang, bangunlah beberapa shahabat yang lain, menyatakan bahwa merekapun pernah melanggar aturan itu. Umar memohon maaf karena telah melakukan pelanggaran.

Pada suatu kali lagi terjadilah pula suatu peristiwa pelanggaran terhadap hukum puasa yang dilakukan oleh Qais Ibn Syirmah, yaitu sesudah Qais shalat isya pada suatu malam, isterinya minta izin untuk mencari barang sedikit makanan dari salah seorang shahabat. Sementara isteri Qais pergi mencari makanan itu, Qaispun berbaring-baring dan kemudian terus pula tertidur. Di kala isteri Qais pulang ke rumah, Qais telah tertidur nyenyak. Istri Qais melihat Qais telah tertidur nyenyak, lalu menyimpan makanan itu, karena ia mengetahui tak ada faedahnya lagi membangunkan suaminya, lantaran tidak dibolehkan makan lagi. Qais tidur dengan tidak makan sedikitpun.

Pada hari esoknya terasalah kepayahan puasanya, karena dua hari berturut-turut tidak makan. Setelah mendekati kepayahan yang sangat berat itu ia mengadukan halnya itu kepada Rasulullah SAW ; Rasulullah SAW membenarkan Qais berbuka dengan mengqadla kelak.

Berkenaan dengan perbuatan Umar dan Qais ini, Allah menurunkan ayat yang membolehkan bersetubuh dengan isteri, membolehkan jima’ dan membolehkan makan minum di malam hari bulan puasa hingga terbit fajar, dengan tak ada pembatasan sebagai yang sudah-sudah.

Hal-hal yang membatalkan puasa adalah sebagai berikut:

1. Membatalkan Niat untuk Berpuasa

Apabila seseorang membatalkan niatnya untuk berpuasa, puasanya menjadi batal kendatipun ia tidak makan, minum karena niat merupakan salah satu rukun puasa.

    2. Makan dan minum dengan sengaja

    Dalil yang membatalkan puasa dengan makan dan minum ialah firman Allah SWT: ”Dan makan dan minumlah kamu sehingga nyata padamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar”. (QS. Al-Baqarah: 187).

    Hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah: ”Demi Tuhan yang diriku di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah dari bau kasturi, ia meninggalkan makannya dan syahwatnya karena Aku”.

    Diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: ”Barang siapa lupa ia berpuasa lalu ia makan dan minum maka hendaklah ia sempurnakan puasanya. Kejadian itu adalah karena Allah telah memberi makan dan minum kepadanya”.

    Dikabarkan oleh Ahmad dari Ummu Ishaq bahwa Ummu Ishaq (seorang budak yang telah dimerdekakan seorang shahabat) berada di sisi Rasulullah Saw. lalu dibawa kepada Rasulullah satu mangkuk tsarid. Maka makanlah aku (Ummu Ishaq) beserta Rasul Saw. sendiri. Kemudian aku teringat bahwa aku berpuasa, lalu aku kabarkan kepada Rasulullah Saw. Rasulpun bersabda:”Sempurnakanlah puasamu, yang telah kamu makan hanya rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu”.

    Jika seorang yang dengan sengaja merusakkan puasa dengan makan atau minum maka sebagian ulama mewajibkan ia mengqadlakan puasanya. Dalil mereka ialah mafhum mukhalafah dari sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dari Abu Hurairah yaitu:

    ”Barangsiapa berbuka sehari dari Ramadlan karena lupa, maka tak ada qadla atasnya tak ada kaffarat”.

    Dari hadits ini dipahamkan bahwa makan minum dengan sengaja mewajibkan qadla. Namun di antara ulama ada pula yang mewajibkan kaffarat, mengingat perintah Rasulullah Saw. kepada orang yang berjima di bulan Ramadhan.

    Sementara itu Ahlut Tahqiq yang tidak berhujjah dengan mafhum mukhalafah, tidak mewajibkan qadha terhadap mereka yang sengaja tidak mau berpuasa, dan yang sengaja membatalkannya dengan makan dan minum. Kata mereka: membatalkan puasa dengan sengaja, adalah suatu kesalahan besar, tak dapat diganti oleh qadha, tak ada keterangan yang mewajibkan qadha dan tak ada yang menerangkan bahwa qadha itu melepaskan tanggung jawab. Terutama bila kita renungkan hadits yang diriwayatkan Ibn Khuzaimah dari Abu Hurairah:

    ”Barangsiapa berbuka sehari dari puasa Ramadlan tanpa udzur dan sakit, tiadalah dapat diganti (puasanya yang rusak itu) oleh puasa sepanjang masa, walaupun dilakukannya”.

    3. Bersetubuh

    Apabila seseorang bersetubuh di siang hari dalam keadaannya berpuasa, maka batallah puasanya dan wajiblah dia qadla serta memberi kaffarat. Apabila seseorang merusakkan puasanya dengan bersetubuh ia wajib memberi kaffarat, yakni: memerdekakan seorang budak, jika tak sanggup, hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tak sanggup pula, hendaklah memberi makanan 60 orang miskin.

    Pada malam hari terbenam matahari hingga terbit fajar, dibolehkan kita makan, minum dan bersetubuh, sebagaimana yang ditegaskan oleh firman Allah SWT.: ”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka terangkanlah kepada mereka; sesungguhnya Aku dekat. Aku memperkenankan doa orang yang bermohon apabila ia bermohon kepada-Ku. Karenanya hendaklah mereka memenuhi seruan-Ku dan mengimani-Ku, mudah-mudahan mereka mendapat petunjuk. Telah dihalalkan bagimu di malam hari bulan puasa mendekati isteri; mereka (isteri) itu pakaianmu dan kamu pakaian mereka. Karena itu, Allah mengetahui bahwasanya kamu mengkhianati dirimu. Karena itu Allah menerima taubatmu dan memaafkan kesalahanmu. Maka sekarang dekatilah mereka (isteri-isteri) dan campurilah mereka dan carilah apa yang telah Allah tetapkan untukmu; makanlah kamu dan minumlah kamu di malam hari, sehingga nyata kepadamu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasamu, hingga malam (terbenam matahari). Dan janganlah kamu mendekati istri-istrimu,  sedangkan kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah batas-batas yang telah Allah tetapkan; karena itu janganlah kamu mendekati batas-batas itu. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) kepada kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al Baqarah: 186-187).