Puasa wajib terkait dengan satu hal yang spesial yakni Hari Raya Idul Fitri. Dalam Bahasa Arab, kata ‘id diambil dari dari akar kata ‘ada, yang berarti ‘kembali’ sementara kata “fitri” adalah suci dan bersih. Jadi Idul Fitri adalah saat kita kembali bersih.
Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah diceritakan, ketika para pengikut Nabi Isa tersesat, mereka pernah berniat mengadakan 'Id (hari raya atau pesta) dan meminta kepada Nabi Isa agar Allah menurunkan hidangan mewah dari langit. Allah kemudian mengkabulkan permintaan pengikut Nabi Isa lalu menurunkan makanan. Nah, mungkin, sejak itulah, budaya hari raya senantiasa identik dengan hal-hal yang terkait dengan makanan dan minuman yang serba mewah dan berlimpah.
Menurut ulama, dinamai ‘id karena pada hari itu Allah telah mengembalikan kegembiraan dan rasa suka cita kepada hamba-Nya. Ada pula ulama yang mengatakan bahwa disebut ‘Id karena pada hari itu kembalinya kebaikan dari Allah kepada hamba. Ini disebabkan pada hari itu seorang hamba kembali suci karena telah bertaubat kepada Allah dan telah meminta maaf kepada sesama manusia.
Hari Raya Idul Fitri juga mengandung sejarah tersendiri. Wahab bin Manbah menjelaskan bahwa Allah menciptakan surga pada hari Idul Fitri, menanam pohon keuntungan (thuuba) pada hari itu dan Allah memilih Jibril sebagai pembawa wahyu juga pada hari itu tersebut.
Karena begitu istimewanya hari tersebut, umat Islam harus mengungkapkan rasa syukur yang mendalam. Ungkapan syukur itu bisa diterjemahkan melalui ungkapan dan kumandang takbir, tahlil dan tahmid. Allah berfirman, "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat." (QS. Al-A'la: 14-15)
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan anjuran untuk senantiasa berzikir kepada Allah. Di samping itu, membersihkan diri dalam ayat ini juga ditafsirkan sebagai mengeluarkan Zakat Fitrah. Abu Said al-Khudri berkata, yang dimaksud dengan “ingat nama Tuhannya” adalah dengan mengumandangkan takbir pada hari Idul Fitri. Sementara itu, yang dimaksud “shalat” dalam ayat tersebut adalah shalat Id. Hal ini dibenarkan oleh sejumlah ulama fiqih dan tafsir.
Rasulullah SAW juga bersabda, “Pada malam Idul Fitri Allah membayarkan pahala orang-orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan, lalu Allah memerintahkan kepada malaikat-malaikat-Nya di pagi hari agar turun ke bumi, mereka berdiri di ujung-ujung jalan dan pintu-pintu masuk perkampungan seraya menyerukan kepada mahluk di bumi ini dengan suara lantang yang didengarkan oleh semua mahluk bumi kecuali manusia dan jin. Kata mereka, “Wahai umat Muhammad, keluarlah kepada Tuhanmu Yang Maha Besar, menerima hal kecil, membalas dengan kebesaran, memaafkan dosa besar.”
Makna utama lain terkait hari raya adalah penyadaran mengenai asal diri kita yang hanya nuthfah, setetes air mani. Jika kakek kita Adam as berfitrah pada seonggok tanah liat, serta nenek kita Siti Hawa berfitrah dengan sebatang tulang rusuk, maka manusia selain mereka berfitrah pada nuthfah.
Allah menjelaskan hal ini dengan sangat lugas dalam beberapa firman-Nya. “Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah kemudian Kami jadikan saripati itu air mani yang disimpan dalam tempat yang kukuh. Kemudian air itu kami jadikan segumpal darah.” (QS. Al-Mu’minun: 12-14)
“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina, kemudian Kami letakkan dia dalam tempat yang kukuh (rahim) sampai waktu yang ditentukan?” (Al-Mursalaat: 20-22).
“Bukanlah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya?” (QS. Al-Qiyaamah: 37-38)
Menurut Said Hawwa yang mentadabburi penjelasan Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin yang ia tuangkan dalam kitab Tazkiyatun Nafs, disebutnya nutfhah secara berulang-ulang dalam al-Quran tak hanya untuk dilafazkan saja tapi menyiratkan kemestian untuk menzikirkan dan memikirkan makna serta hikmahnya. Nutfhah ini adalah hal yang dekat dengan manusia karena berasal dari tubuhnya. Zahir nutfhah adalah air menjijikkan yang seandainya dibiarkan sesaat saja terkena udara ia akan rusak dan busuk.
Tapi sekalipun begitu, proses lahirnya nutfhah sangatlah menakjubkan. Ia keluar dari perpaduan cinta dan sayang antara laki-laki dan perempuan. Lalu air itu ditempatkan pada suatu tempat spesial yakni rahim perempuan. Air yang berwarna putih mengkilap itu lalu diperkenankan Allah berubah warna menjadi merah dalam segumpal darah. Lalu sedikit-demi sedikit mengeras dan menjadi daging. Puncaknya, ia sempurna menjadi sesosok janin.
Rangkaian itu tak berhenti disini. Dengan kemuliaan-Nya Allah membagi nutfhah itu ke dalam banyak bagian: tulang, urat, sel, dan rangkaian pembuluh. Dia juga menyusun dari nutfhah itu organ dalam yang penting bagi manusia seperti paru-paru, jantung, hati, ginjal, dan lambung. Ia juga menjadi benda yang lebih keras lagi dalam bentuk gigi, menjadi jaringan yang sangat rumit dan halus dalam bentuk mata, menjadi kulit, otak dan sebagainya.
Demikianlah. Allah swt telah menjadikan hikmah yang besar dalam tubuh dan kejadian manusia. Ahli bashirah akan menemukan betapa Allah demikian mulia dan luas kasih-Nya pada manusia dengan memandang tubuhnya sendiri. Karenanya fitrah diri adalah pintu ma’rifatullah jalan untuk mencapai pengetahuan tentang-Nya.
Sering, menurut Said Hawwa lagi, tubuh kita ini abai untuk dipikirkan dan dizikirkan. Manusia hanya mengingat tubuh berdasar pada kebutuhan-kebutuhannya saja. Bila tubuh lapar manusia memberinya makan agar kenyang dan kemudian tertidur. Bila tubuh sedang bernafsu manusia melampiaskan rasa itu dengan berjima -yang terkadang dengan dosa dan melawan larangan-Nya. Bila tubuh itu marah maka manusia membawanya dalam perkelahian dan permusuhan.
Padahal inilah hal yang juga diketahui binatang dengan tubuhnya. Mereka tak diilhamkan akal budi untuk memaknai tubuh dan asal kejadian sebagai bukti bagi kebesaran Sang Rabb dan memperoleh makrifat tentang-Nya. Hanya manusia yang dapat beranjak dari pemahaman tubuh berdasar unsur hewaninya saja yang bisa masuk kedalam golongan muqarabin, orang-orang yang dekat kepada-Nya.