Poin penting pemaknaan puasa adalah dengan berpuasa seorang mukmin telah melakukan sebuah tindakan mengakrabi Allah swt. Ini bisa kita lihat dalam sebuah hadist qudsi yang populer dimana Allah SWT menyebut dengan gamblang bahwa amal puasa yang dilakukan seorang mukmin adalah untuk-Nya, bukan untuk yang lain.
Allah berfirman: Bagi mereka sendirilah amal yang dikerjakan anak cucu Adam, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku. Dan Aku sendirilah yang akan memberi balasannya. (Hadis Qudsi, riwayat Abu Hurairah)
Dalam kitab Madarijus Salikin dikisahkan seorang sufi Abu Yazid Al-Bustamy bermunajat kepada Allah: “Ya Allah bagaimanakah caranya berjalan menuju hadirat-Mu?” Saat itu terdengar bisikan menyusup ke jiwanya: “Ketahuilah bahwa nafsu adalah gunung yang tinggi dan besar. Dialah yang menghalangi perjalananmu menuju Allah, tidak ada jalan lain untuk sampai pada Allah kecuali melewati gunung itu terlebih dahulu.”
Nafsu jelas merupakan penghalang bagi seorang hamba mencapai Tuhannya. Hal ini telah ditegaskan Rasullulah saat perang Badar usai. Perang yang dirasa sahabat paling hebat yang pernah mereka alami ternyata belum apa-apa dibanding perang melawan hawa nafsu.
Konteks jihad melawan hawa nafsu yang diisyaratkan Nabi kita temui dalam amaliyah puasa. Peengekangan jasmani manusia dari makan, minum, dan berhubungan seksual bertujuan tak lain agar manusia dapat menjalin hubungan akrab dengan Sang Rahman. Inilah yang membawa kita pada konsep takwa, yakni satu keadaan dimana seorang mukmin mengerti bagaimana seharusnya bersikap kepada Allah agar Dia senantiasa gembira dan tidak murka.
Untuk sampai ke derajat takwa, puasa diperlukan sebagai latihan. Puasa mengasah kemampuan mukmin mengendalikan nafsu seraya memberi nutrisi bagi ruhaninya. Manusia dikaruniai nafsu hewani namun, di luar itu, manusia juga tercipta dari nur ilahi. Makan, minum dan berhubungan seksual adalah pemenuhan bagi nafsu hewani tadi. Kebutuhan ini menjadi kebutuhan primer karena kelangsungan hidup manusia tergantung darinya. Tapi kadang kebutuhan ini dipenuhi secara berlebihan yang mengakibatkan seseorang terlalu gemar hingga lupa daratan. Akibatnya nur ilahi dalam dirinya tertutupi. Maka puasa diperlukan untuk melatih seorang mukmin mengendalikannya. Bila seseorang bisa mengendalikan nafsunya nur ilahi dalam dirinya akan berkilau.
Seseorang yang berhasil mengendalikan hawa nafsunya dan sukses pula memunculkan nur ilahi dalam dirinya akan membawa pada keakraban dengan Allah. Keakraban di sini bukanlah temporer, atau hanya berlangsung di bulan Ramadhan saja. Buah latihan Ramadhan dinikmati di bulan-bulan lain dan sepanjang hidup mukmin. Jika takwa sudah diraih tak ada halangan lagi bagi mukmin menuju ke hadirat Allah SWT.
Selain mengakrabi Allah, puasa juga terkait penyucian jiwa. Tak ada satu orang saleh pun yang menolak hal ini. Rasulullah sendiri bersabda bahwa puasa adalah amanat maka hendaklah setiap orang menjaga amanatnya itu. Puasa dilakukan tak hanya menyertakan fisik tapi juga batin yang berada dalam kejernihan dan menuju ke kesuciannya.
Pesan penting puasa yang menyertakan batin didalamnya inilah yang kemudian membuat terang makna ayat ke-183 surat Al-Baqarah yang sudah sangat kita hapal. “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang selain kamu agar kamu bertakwa.”
Jelas sekali bahwa puasa adalah sarana menuju takwa, suatu kondisi tertinggi dari penyucian jiwa. Bisa dikatakan jika orang sudah berpuasa tapi perilaku dan gerak hatinya tak mencerminkan ketakwaan maka ia dapat dikatakan belum berpuasa. Takwa, menurut al-Ghazali, memiliki jalan tersendiri dan puasa adalah salah satu jalan meraih takwa itu. Takwa adalah cermin nyata cahaya al-Quran dan hadits yang mengajarkan porsi utuh tentang tanggung jawab manusia secara pribadi maupun sosial.
Karenanya takwa menuntut tanggung jawab mengerjakan amal-amal dalam aspek sosial, amalan fardu kifayah. Amalan ini tak bisa dipisahkan dengan amalan fardhu dan sunah pribadi. Inilah jalan ibadah pada maqam ihsan yakni mengerjakan segala perbuatan baik dan menghidari kemaksiatan.
Puasa, ketakwaan, serta kesabaran mengendalikan nafsu, semuanya bermuara pada hati. Maka mengamalkan puasa berarti menyambut sebuah pengembaraan penting bagi setiap hati. Menuju kesuciannya dan menuju ridha sang Rahman, pencipta tiap-tiap hati.
Maka siapa saja yang menyelesaikan ibadah wajib di bulan Ramadhan atau senantiasa mendawamkan diri mengamalkan puasa sunah di luar Ramadhan berarti memenangkan dirinya, kesucian kemanusiannya, serta menjadi jalan mendekat sedekat-dekatnya kepada Allah SWT. Mukmin yang selesai menjalankan puasa dengan makna terdalamnya akan lahir kembali dan menjadi mukmin yang gagah, bernilai, serta memiliki kekuatan untuk hidup sesuai kehendak Allah SWT.
Puasa juga memberikan siraman wewangian kepada jiwa manusia yang keharumannya dapat dicium setiap saat. Puasa memberikan sumber energi yang dapat bermanfaat dalam keseharian kita.