Puasa adalah amal yang menemui kita terus-menerus. Setahun sekali kita bertemu dengan puasa di bulan Ramadhan dan di luar itu amalan puasa sunah bisa kita jumpai hampir di setiap hari semisal puada Daud yang sehari berpuasa sehari tidak atau puasa Senin-Kamis yang terkhusus pada hari-hari tersebut. Puasa menemui kita terus tapi terkadang kita lalai untuk merenungkannya.
Menurut Seyyed Hossein Nasr puasa itu serupa kebenaran tapi kadang kebenaran tertutup kabut hingga dan kita harus terus mencari maknanya.Kadang kita berpuasa karena ayah-ibu kita mengajarkannya saat kita masih kecil, atau karena teman-teman kita berpuasa. Tak jarang juga kita berpuasa biar tidak malu dengan teman kantor atau teman sekolah atau alasan-alasan lain yang serupa itu tanpa kita mau meluangkan waktu sejenak merenungi, kenapa sebenarnya kita harus berpuasa di tiap-tiap tahun yang kita lalui?
Menurut Nasr, setiap ajaran agama memiliki unsur ruhaniah. Tanpa unsur ruhaniah bisa dipastikan kehidupan agama seseorang atau satu masyarakat –termasuk juga kemudian kebudayaan dan peradabannya- menjadi tak seimbang.Unsur ruhaniah terpenting dalam setiap ajaran agama adalah pengendalian diri atas hal yang bersifat indrawi dan jasmani (nafsu) yang menjadi jalan bagi jiwa manusia ke arah kehidupan spiritual yang utuh. Pengendalian inilah yang terdapat dalam ajaran puasa.
Puasa tentu saja memiliki berbagai manfaat sosial dan individu, yang sudah sering disampaikan dalam berbagai ceramah dan pembahasan mengenai puasa. Tapi, menurut Seyyed Hossein Nasr lagi, terkadang kita hanya memandang puasa sebagai sarana berempati bagi yang miskin dan lapar seraya menumbuhkan sikap kedermawanan. Yang kerap luput adalah esensi kehambaan yang terlepas dari segala macam analogi dan rasionalisasi. Ya, puasa adalah sebentuk ketaatan kepada perintah Allah SWT sementara sikap empati, pengendalian diri, adalah buahnya dan itu kita petik dari rasa lapar dan haus.
Hal yang paling sulit dalam puasa adalah pengendalian apa yang dalam Al-Quran disebut al-nafs al-amarah (nafsu amarah). Ketika berpuasa, kecenderungan untuk memberontak atas perintah Ilahi kerap muncul. Puasa adalah rule dan setiap rule sangat menarik untuk dilanggar (break the rule). Itulah sebabnya puasa tidak hanya berkaitan dengan makanan tapi juga suatu pengendalian yang tak hanya bersifat personal tapi juga kegagahan melanggar aturan.
Menurut Nasr lagi, dalam berpuasa, manusia diingatkan bahwa dia telah memilih Tuhan dibanding apapun. Itulah sebabnya Rasulullah Saw. sangat menyukai puasa. Ibadah puasa merupakan unsur dasar al-faqr (perasaan hina dina di hadapan Allah) yang dikatakan oleh beliau dalam pernyataannya, “al faqr fakhri” (fakir adalah kebanggaanku).
Sisi ruhaniah puasa karenanya menjadikan ruh sebagai bagian penting ibadah ini. Dengan berpuasa, manusia membatasi jasadnya namun membebaskan ruhnya meraih ketinggian.Manusia tersusun dari benda (maddi) dan yang bukan benda (maknawi) yakni ruh. Dua hal itu menyatu dalam satu waktu.
Sebagai benda material, tubuh tak abadi. Tubuh akan hancur seiring berjalannya waktu. Tubuh menerima yang kurang dan yang lebih. Karena itu ada tubuh yang besar dan ada tubuh yang kurus, tubuh berkulit kencang dan tubuh keriput. Sementara ruh itu halus dan cenderung tetap. Ruh senantiasa hidup dan merespon hal-hal yang hakiki.
Ruh bisa tinggi dan rendah. Yang tinggi mengenal Tuhannya dengan baik dan mewujudkan pengenalan itu dalam perbuatan mulia. Sementara yang rendah mengabaikan Tuhan hingga tega membiarkan tubuh melakukan hal-hal terlarang. Ruh kitalah yang akan melewati fase-fase hari akhir dari alam barzakh hingga saat bertemu Allah kelak di hari perhitungan.
Puasa membuat tubuh terkekang dari subuh hingga adzan Maghrib tiba. Tapi tertentunya waktu puasa ini menjadi rahasia keseimbangan Islam. Islam bukan agama yang mengajarkan umatnya mementingkan tubuh semata, tapi tak pula mementingkan ruhani saja. Saat tubuh menahan diri dari pagi hingga sore hari, tubuh tertahan kebutuhannya tapi ruh mendapatkan asupannya. Ruh menjadi tenang, redup nafsu dan ambisinya hingga bisa lebih merasakan kehadiran Tuhan. Tapi setelah itu, di malam hari, kita berbuka. Tubuh sebagai benda kembali mendapatkan jatahnya berupa makanan untuk mempertahankan dirinya, mendapat hak untuk kesehatannya.
Puasa diletakkan sebagai ibadah khusus tak lain agar ruh menjadi suci hingga dapat terhubung dengan kesucian Allah. Puasa juga adalah manifestasi kesaksian manusia kepada Allah. Maka wajar ada sebuah hadits Qudsi yang menyebut puasa adalah untuk Allah dan Allah langsung yang akan mengganjarnya dengan pahala.Seseorang bisa minum seteguk air lalu pura-pura mengeringkan mulutnya supaya dipandang orang ia berpuasa. Ia bisa makan lalu menyeka habis bekas-bekasnya di mulut agar tak kentara. Tapi jiwa tahu ia telah ingkar, jiwa tak bisa berpura-pura puasa. Jiwa tahu Allah senantiasa hadir dan menyaksikan.
Rasulullah sendiri dalam sebuah hadits riwayat Imam Bukhori menyebut puasa adalah benteng. Kita dilarang mengucapkan kata-kata kotor, takabur, arogan, dan congkak. Setiap ada yang mengejek atau berkata buruk kepada kita Nabi SAW mengajarkan kita untuk menjawabnya dengan kata-kata, “Sesungguhnya saya puasa. Sesungguhnya saya puasa”.
Puasa adalah benteng bagi ruh kita, hati kita, agar ia tidak merespon keburukan dengan keburukan pula. Sebab itu yang ingin suci batinnya tak akan meninggalkan puasa. Ada amanat Allah dalam puasa dan setiap orang wajib menjaga amanatnya itu. Maka siapa saja yang menyelesaikan ibadah puasa baik di bulan Ramadhan atau puasa sunah di hari biasa berarti memenangkan dirinya, kesucian kemanusiannya, serta menjadi jalan mendekat sedekat-dekatnya kepada Allah SWT. Ia menjadi berkah bagi ruh kita, aspek hakiki bagi kemanusiaan kita.