“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (2: 183)
Pernahkah kita bertanya kepada diri kita, sudah benarkah puasa kita? Seberapa manfaatkah puasa kita? Bermaknakah puasa kita?
Dalam paradigma kekinian, sebagian umat Islam dalam memahami perintah agama cenderung tidak memperhatikan sisi esensi dari perintah ibadah tersebut. Pola pemahaman seperti ini kini begitu lazim dilakukan, menjadi lumrah, dan menjadi kebiasaan, bahkan telah mengakar di tubuh dinding ideologi umat modern.
Hal seperti ini tentu tidak diinginkan kita, mengingat pemahaman praktis akan menjebak seseorang dalam ibadah yang bersifat fisik dan seremonial dan tidak memahami sisi esensial yang justru menjadi inti dan tujuan perintah tersebut.
Islam sebenarnya tidak rumit atau berbelit-belit. Islam selalu memberikan risalah yang sederhana, simpel, dan sangat mudah dipahami, baik itu secara teoritis maupun secara pelaksanaannya. Namun, kesederhanaan ini tidak lantas diejawantahkan dalam konsepsi sederhana yang umum. Alih-alih sederhana, kemudian Islam—dalam hal ajarannya—dianggap sesuatu yang gampil dan sepele. Bukan itu yang dimaksud.
Islam mengajarkan kepada manusia, tentang bagaimana memaknai ajaran “sederhana” tersebut dengan konsepsi takwa, yakni keseriusan, pendalaman (spiritualitas), dan keyakinan (keimanan) yang kuat. Konsepsi takwa ini akan mengantarkan seorang Muslim untuk mampu memaknai seluruh perintah Allah SWT dengan sebaik-baiknya yakni sampai pada pemahaman hal yang subtansial.
Mengapa pemahaman esensial sangat diperlukan? Seluruh amalan-amalan ibadah (ubudiyah) dalam Islam memiliki multiorientasi. Maka jika seorang Muslim hanya memaknainya sekadar ritual seremonial dan tidak menjadikan seorang Muslim tersebut menjadi baik, maka ibadahnya adalah sia-sia. Lain halnya dengan seorang Muslim yang mampu menjadikan ibadahnya sebagai ruang komunikasi dan kontemplasi dirinya dengan Allah SWT secara individual (hablu min Allah), dan juga ruang komunikasi antara manusia dengan manusia yang lain secara sosial (hablum min al-Nas).
Dalam ibadah puasa, paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan titik tekan tujuan, antara lain:
(1) Puasa sebagai media pembelajaran (tarbiyah)
Puasa selain memiliki tujuan ibadah, juga memiliki subtansi pendidikan. Pendidikan yang dimaksud di sini adalah manusia yang melakukan puasa diharapkan mampu menggali potensi dirinya dalam memaknai hal-hal yang berkaitan dengan pengayaan diri pribadi. Puasa diharapkan mampu membawa seseorang untuk berpikir bagaimana menjalani hidup, bagaimana mencari rezeki yang halal dan baik, serta berpikir bagaimana menjadikan diri menjadi lebih baik dalam hal pemikiran dan spiritual. Sehingga setelah melewati ibadah ini seseorang diharapkan mampu menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
(1) Puasa sebagai media sosial kemasyarakatan
Puasa juga memiliki tujuan dalam menata hubungan sosial kemasyarakatan agar lebih baik. Adanya kontak sosial yang rutin terjadi misalnya ketika shalat Tarawih berjemaah. Puasa sangat memiliki peran dalam membina hubungan ini. Selain itu, ketika puasa kita dianjurkan untuk berbuat amal saleh, sehingga banyak dari kita berlomba-lomba dalam bersedekah dan sebagainya. Sehingga hubungan sosial di mana yang mampu akan membantu yang kurang mampu.
(2) Puasa sebagai media kontemplasi
Bagi mereka yang memaknai bulan ramadan sebagai peleburan dosa-dosa, maka puasa ialah jalannya. Puasa melatih seseorang untuk selalu waspada dalam melakukan setiap hal, baik itu keseharian atau ibadah. Puasa pada hakikatnya adalah ruang di mana seseorang dapat merenungi secara mendalam tentang arti kehidupan, arti berbagi, dan arti memiliki Tuhan. Puasa memiliki tujuan yang sakral, di mana diharapkan manusia dapat berdialog secara spiritual agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Pada bulan Ramadan seseorang dianjurkan untuk banyak mendirikan shalat pada malam hari, dan iktikaf di masjid, menyerahkan seluruh jiwa dan raga dalam kepasrahan kepada Allah SWT.
- Hijrah Saputra|Editor