Halal dan Thayyib (baik) adalah prinsip makanan dalam ajaran Islam. Makanan dalam Islam mendapatkan perhatian yang khusus dan penting sekali. Oleh karena itu, seorang Muslim diwajibkan untuk dapat memelihara dan menjaga makanannya agar tetap sesuai dengan norma-norma ajaran Islam.

Makanan memiliki kedudukan yang prinsipil dalam Islam, karena dari makanan semuanya bermula. Darah dan daging berasal dari makanan yang kita makan. Makanan yang halal dan baik akan menciptakan darah dan daging yang baik dan diberkahi, begitupun dengan pikiran yang jernih dan mulia. Begitu sebaliknya.

Karena itu, umat Islam harus senantiasa menjaga dan memperhatikan cara-cara mereka memperoleh makanan serta mewaspadai makanan yang akan dikonsumsinya.

Yusuf Al-Qardhawi, ulama kontemporer dari Mesir, menyatakan bahwa masalah makanan bukanlah masalah furu’ (cabang agama), melainkan masalah ushl (pokok).

Dalam surah ’Abasa, 80:24 Allah SWT memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan makanannya. Sementara itu, dalam 27 kali pembicaraan tentang perintah makan, Al-Qur’an menekankan dua sifat makanan yang dapat dikonsumsi, yaitu boleh (halal) dan baik (thayyib).

Kata ”halal” menurut bahasa berarti ”lepas” atau ”tidak terikat”. Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Halalnya suatu makanan terkait dengan hukum yang bersifat nonmateri. Sementara ”thayyib” dari segi bahasa (etimologis) berarti ”lezat”, ”baik”, ”paling utama” dan ”menenteramkan”.

Kata thayyib menurut sebagian pakar tafsir berarti makanan yang tidak kotor dari segi zatnya dan tidak rusak (kadaluarsa) atau dicampuri oleh benda-benda haram, sehingga thayyib berkaitan erat dengan hukum yang bersifat materi.  Menurut Imam Malik, kata thayyib adalah makanan yang menurut syarak atau secara zatnya suci dari hal-hal yang syubhat. Quraish Shihab menjelaskan bahwa makanan yang thayyib adalah makanan yang sehat, proporsional (tidak berlebihan), aman dimakan, dan tentu saja halal.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Turmudzi, Rasulullah SAW menegaskan bahwa yang halal dan yang haram itu sudah jelas, dan di antara keduanya adalah hal yang syubhat, siapa yang meninggalkan dan menjauhinya karena hendak memelihara diri, kehormatan dan agamanya, maka ia akan selamat dari bahaya syubhat tersebut. Sebaliknya, siapa yang mengerjakannya, maka ia akan terjatuh kepada hal-hal yang diharmakan Allah.

Dalam kesempatan Ramadan ini, marilah kita semua senantiasa salling mengingatkan dan memperhatikan makanan yang kita konsumsi. Puasa sesungguhnya melatih kita untuk selektif dalam mendapatkan dan mengkonsumsi makanan. Pelatihan selama bulan puasa ini diharapkan mampu memberi modal bagi kita untuk tetap konsisten dalam memilih makanan dan mendapatkannya. Seorang yang berpuasa akan berusaha mematuhi rambu-rambu yang ditentukan Allah SWT. Di samping itu, puasa juga merupakan pendidikan bagi umat Islam untuk mengatur pola dan cara makannya. Puasa mengajarkan kita untuk tidak berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan.

Seorang yang berpuasa ita harus menjaga dirinya untuk tidak memperturutkan hawa nafsu dengan melahap semua jenis makanan ketika berbuka puasa. Umat Islam harus mampu menjadikan makanan sebagai sarana untuk meningkatkan ibadah kepada Allah. Kalau umat Islam telah berlebih-lebihan dalam hal makanan, maka yang timbul adalah rasa kantuk dan berat untuk bergerak. Akhirnya hal ini akan membawa kita berat dan malas untuk beribadah

.—Hijrah Saputra|Editor