Kehidupan yang dijalani manusia tidak selalu berlangsung mulus-mulus saja. Dinamika kehidupan ini selalu dinamis ibarat roda pedati yang selalu berputar. Nasib manusia kadang ada di bawah dan kadang ada di atas. Hal ini sudah menjadi sunnatullah yang ditetapkan Allah SWT.

Dalam menghadapi dinamika dunia yang silih berganti, seorang mukmin hendaknya tidak perlu berkecil hati. Sebab apa pun langkah yang diambilnya senantiasa bermanfaat. Baginda Rasulullah SAW pernah mengungkapkan rasa kagumnya kepada kaum mukmin. Beliau mengatakan: “Sungguh menakjubkan keadaan orang mukmin itu. Allah tidak menetapkan suatu keputusan baginya melainkan keputusan itu adalah baik baginya. Jika ditimpa kesusahan, ia akan bersabar, dan yang demikian itu lebih baik baginya. Jika mendapatkan kesenangan, dia akan bersyukur, maka yang demikian itu adalah baik baginya. Dan hal tersebut tidak akan menjadi milik seorang pun kecuali orang mukmin.”

Begitulah, kesusahan apa pun yang dialami seorang mukmin tidak lantas membuatnya putus asa. Kesabaran dapat menajdi jalan keluar baginya. Apalagi ketika sedang senang, ungkapan syukurnya kepada Allah SWT semakin bertambah. Kedua-duanya sama baik di hadapan Allah SWT.

Namun repotnya, ada saja yang tidak senang terhadap sikap orang mukmin yang demikian itu. Tidak usah jauh melongok catatan sejarah untuk mengetahui hal ini. Cobalah perhatikan orang-orang mukmin di sekeliling, bagaimana mereka diperlakukan?

Sering kali terjadi terhadap orang mukmin, jika ia miskin dan lemah, dijadikan sebagai sasaran empuk untuk disakiti, ditindas, diperlakukan tidak adil dan sewenang-wenang. Sedangkan jika ia kaya dan berkuasa, lebih sering menjadi korban fitnah dan bentuk kezaliman lainnya.

Ditilik secara spiritual, hal-hal yang semacam itu adalah hal yang lumrah dan biasa saja. Allah SWT sendiri mewanti-wanti bahwa jangan dikira orang mukmin tidak mendapatkan hal-hal yang tidak mengenakkan hatinya, justru semua itu sudah menjadi skenario-Nya agar teruji sampai batas mana kesejatian imannya. Allah SWT berfirman:

"Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan : ‘Kami telah beriman,’ sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (QS. Al-Ankabut [25]: 2-3)

Memperhatikan ayat tersebut, dapat dikatakan bahwa ujian yang menimpa orang mukmin adalah mekanisme bagi dirinya untuk naik kelas ke tingkatan iman yang lebih tinggi. Namun, sebagai manusia biasa orang mungkin tentu punya kesabaran yang berbatas.

Membalas Kezaliman

Pada ayat Al-Qur’an yang lain, Allah SWT menyediakan beberapa jalan pilihan baginya ketika mendapatkan kezaliman yang tak terperi. Allah SWT berfirman: “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(Qs. An-Nisa [4]: 148)

Ayat di atas secara jelas melegalkan sumpah serapah atau perkataan buruk yang lahir dari mulut siapa pun yang teraniaya atau orang sering mendapat kezaliman. Bahkan perkataan buruk yang keluar dari mulut orang yang dizalimi itu terhitung sebagai doa di hadapan Allah SWT.

Terkai dengan hal itu Rasulullah SAW mewanti-wanti agar umatnya menjauhi perbuatan yang dapat dinilai sebagai suatu kezaliman kepada siapa pun. Sebab sumpah mereka yang teraniaya itu pasti diijabah oleh Allah SWT, termasuk sumpah serapah yang keluar dari mulut para pelaku maksiat.

Rasulullah SAW bersabda: “Hati-hatilah terhadap doa orang yang terzalimi, karena tidak ada suatu penghalang pun di antara doa tersebut dan Allah.” (HR. Al-Bukhari)

Pada hadis yang lain beliau bersabda, “Doa orang yang dizalimi itu mustajab, sekalipun dia seorang yang berbuat maksiat, kerana kemaksiatannya itu adalah tertanggung ke atas dirinya sendiri.” (HR. Ahmad)

Pada ayat yang lain, bahkan dibuka pintu yang lebih luas oleh Allah SWT bagi orang yang dizalimi untuk membalas perlakuan zalim yang pernah diterimanya. Allah SWT berfirman:

"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar." (QS. Al-Nahl [16]: 126)

Ayat di atas menerangkan bahwa pembalasan yang sepadan atas kezaliman yang diterima tidak melahirkan konsekuensi apa pun, termasuk lepas dari dosa. Namun, pada ayat lainnya disebutkan bahwa memaafkan adalah sikap terbaik daripada membalas kezaliman secara sepadan. Sedang jika membalas berlebihan, tentu saja hanya mengganti status dari semula korban menjadi pelaku kezaliman.

Upaya membalas kezaliman itu benar-benar dipraktikkan oleh para kaum salah saleh, di antaranya oleh Sahabat Rasulullah SAW yang bernama Sa’d bin Abi Waqqas RA. Setelah dilantik menjadi Gubenur Kufah di masa kekhalifahan Umar bin al-Khattab RA beliau dituduh oleh Usamah bin Qatadah, seorang penduduk Kufah, telah berlaku tidak adil dalam memutuskan suatu perkara. Mendapati tuduhan keji ini, dia berdoa kepada Allah SWT.

Sa’d bin Abi Waqqash RA memanjatkan doa sebagai berikut: “Saya benar-benar akan berdoa dengan tiga doa. Ya Allah, sekiranya hamba-Mu ini (orang yang menuduh) menipu hanya untuk riya dan mendapat nama, maka panjangkanlah umurnya, panjangkanlah kefakirannya, dan timpakanlah dia dengan berbagai ujian.” (Sahih al-Bukhari, Kitab al-Azan)

Terbukti beberapa lama waktu kemudian, Usamah bin Qatadah masih hidup hingga berusia lanjut, dan dalam usia lanjutnya itu dia masih tidak dapat melepaskan hasratnya dari para gadis.

Sahabat Rasulullah SAW yang lain, yakni Sa’id bin Zayd bin ‘Amr bin Nufayl RA juga berdoa kepada Allah SWT ketika dituduh telah merampas hak seorang perempuan bernama Arwa. Sa’id RA mengucapkan doa sebagai berikut: “ Ya Allah, sekiranya perempuan itu menipu, maka butakanlah matanya dan jadikanlah kuburnya di dalam rumahnya.” (Sahih Muslim, Kitab al-Musaqah)

Terbukti kemudian, perempuan itu mengalami kebutaan. Pada suatu hari saat sedang berjalan-jalan perempuan itu terjatuh dan terjerembab ke dalam sebuah danau yang ada di sekitar pekarangan rumahnya. Perempuan itu pun akhirnya mati di dalam danau tersebut.

Apa yang dilakukan para sahabat Rasulullah SAW tersebut tentu sah-sah saja, karena pintu untuk melakukan hal tersebut dibolehkan. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosa pun terhadap mereka.” (QS. Asy-Syura [42]: 39-41)

Teladan Memaafkan

Tentu saja, contoh terbaik dalam menyikapi kezaliman masih bias didapatkan dari kisah Nabi Muhammad SAW yang berakhlak begitu agung. Ketika mendapatkan perlakuan sangat tidak menyenangkan seusai berdakwah kepada bani Tsaqif di kota Thaif, yang menyebabkan gigi seri beliau tanggal karena dihujani kerikil oleh anak-anak penduduk kota yang mengusirnya, beliau berlindung di sebuah kebun milik Uthbah bin Rabi’ah. Dalam keperihan hati itu, Baginda Rasul mengadu kepada Allah SWT dan memanjatkan doa. Beliau mengatakan:

“Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu kelemahan kekuatanku, sedikitnyakemampuanku dan hinanya aku pada pandangan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, Kamulah Tuhan golongan yang lemah dan Kamu juga Tuhanku. Kepada siapa Kamu serahkan aku? Kepada orang jauh yang memandangku dengan wajah bengis atau kepada musuh yang menguasai urusanku? Sekiranya Kamu tidak murka kepadaku, aku tidak peduli (apa yang menimpa). Namun keselamatan daripada-Mu lebih melapangkan aku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari kegelapan serta memperelokkan urusan dunia dan akhirat. Aku berlindung daripada kemarahan-Mu atau kemurkaan-Mu terkena kepadaku. Kamu berhak untuk mencela aku sehingga Kamu ridha. Tiada kuasa dan tiada kekuatan melainkan dengan-Mu.” (Musthafa Sibaie, Sirah Nabawiyyah)

Demikianlah, kelapangan hati Rasulullah SAW membuat beliau sanggup bersabar dan meminta agar penduduk Thaif tidak mendapatkan balasan atas rasa sakit yang beliau derita. Jalan kesabaran yang dipilih Rasulullah SAW itu seiring dengan firman Allah SWT, yang artinya:

"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar." (QS. Fushshilat [41]: 34-35)

Semoga kita semua dapat mencontoh teladan mulia Baginda Rasul yang menjadi rahmat bagi sekalian alam. Amin, ya rabb al-‘alamin. [@abumubirah]