Depok-Hari mulai agak sore. Awan berarak gelap. Tak menunggu lama, butir-butir air hujan mulai membasahi daun, tanah, pelataran dan mana-mana tempat jatuhnya air. Meski udara terasa agak dingin di luar, tetapi tidak demikian di plaza lantai dasar Toko Buku Gramedia Depok. Di tempat itu, pada Kamis (29/1) lalu, justru suasana menjadi cukup hangat lantaran digelar talkshow yang dibungkus dalam acara bertajuk “Soft Launching Fatwa MUI Tematik”.

Pada kesempatan itu, Penerbit Erlangga meluncurkan lima buku himpunan fatwa MUI sekaligus. Empat buku merupakan fatwa MUI tematik, yang menghimpun fatwa-fatwa MUI masing-masing dalam satu buku. Buku pertama terkait dengan masalah akidah dan aliran Keagamaan. Buku kedua, terkait dengan masalah ibadah. Buku ketiga berkenaan dengan fatwa-fatwa dalam aspek sosial dan budaya. Sedangan buku keempat, memuat fatwa-fatwa mengenai pangan, obat-obatan, kosmetika, dan ilmu pengetahuan dan teknologi.Selain itu juga diterbitkan edisi terbaru Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 yang mencakup keempat tema fatwa MUI tersebut. Kelima buku tersebut sudah mencakup fatwa-fatwa mutakhir yang dihasilkan MUI sepanjang tahun 2014.  

Acara yang terlaksana atas kerja sama Penerbit Erlangga dengan Toko Buku Gramedia Depok itu menghadirkan Dr. Asrorun Ni’am Sholeh sebagai narasumber tunggal. Ia adalah Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, selain juga bergiat sebagai salah seorang komisioner di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Mengawali pemaparannya, Dr. Asrorun Ni’am Sholeh menyebut akan pentingnya fatwa dalam menjamin terlaksananya keberagamaan setiap Muslim secara konsekuen. Ia menjelaskan bahwa wahyu Allah SWT yang tertuang di dalam Al-Qur’an maupun dalam hadis melalui lisan Nabi Muhammad SAW, sudah putus dan terhenti lebih dari 14 abad yang lalu. Jika dahulu, semasa Nabi Muhammad SAW masih hidup, kaum Muslim kapan saja dapat bertanya dan berkonsultasi kepada beliau mengenai putusan suatu hukum, maka sepeninggal beliau hal itu tidak lagi dapat dilakukan.

Dalam wasiat terakhirnya, Baginda Rasulullah Muhammad SAW mengatakan bahwa sepeninggal beliau, jika kaum Muslim ingin selamat dunia dan akhirat, maka harus mengembalikan segala masalah yang bersifat duniawi maupun ukhrawi dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan hadis. Dari kedua sumber itulah, semua jawaban kehidupan dunia dan akhirat dapat dicarikan jawabannya.

Masalahnya, tidak semua Muslim dapat memahami kandungan pokok Al-Qur’an maupun hadis secara aplikatif. Sehingga terkait dengan banyak masalah baru yang muncul sebagai akibat langsung dari semakin majunya zaman, dibutuhkan suatu kepastian hukum mengenai hal-hal yang tidak dijelaskan secara eksplisit dan spesifik di dalam Al-Qur’an maupun hadis.

Misalnya saja, di dalam Al-Qur’an dan hadis disebutkan hukum pokok mengenai kewajiban shalat Jum’at yang berlaku bagi kaum Muslim laki-laki yang bermukim di suatu tempat (mustawthin). Sedangkan bagi mereka yang sedang musafir mendapat keringanan (rukhshah) untuk tidak menunaikan kewajiban shalat Jum’at, dan dapat menggantinya dengan shalat Zuhur sebagaimana berlaku pada hari lainnya. Lalu bagaimana dengan kaum Muslim penghuni kapal, yang mungkin saja berbulan-bulan berada di lautan lepas, apakah mereka juga terbebas dari kewajiban shalat Jum’at, sedangkan mereka adalah penghuni (mustawthin) di kapal tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan itu tentu perlu telaah tersendiri, mengingat jawaban mengenai kasus spesifik seperti itu adalah preseden baru yang tidak terjadi di masa Rasulullah Muhammad SAW, dan belum pernah ditanyakan oleh sahabat beliau, mengingat mereka umumnya beraktivitas di darat.   
Masalah lain, yang juga memerlukan kajian dan telaah lebih jauh misalnya terkait dengan hukum terorisme dan bom bunuh diri, pil anti hadi bagi Muslimah yang menunaikan ibadah haji, hukum kloning, hukum bayi tabung, hukum inseminasi buatan, hukum alkohol hasil rekayasa industri untuk keperluan obat dan makanan, juga hukum pemanfaatan organ manusia untuk pengobatan dan kosmetika, dan masih banyak lagi.

Manakala jawaban semua masalah itu tidak dapat ditemukan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an maupun hadis, karena memang merupakan masalah yang benar-benar baru muncul, maka dengan ijtihadnya ulama dapat melahirkan suatu solusi dan keputusan hukum yang dinamakan dengan fatwa, agar kaum Muslim mendapat kepastian hukum dan keberagamaan mereka tetap terjamin dalam koridor syariah.

Dalam konteks tersebut, fatwa yang dilahirkan MUI dapat diposisikan sebagai sebuah ijma’ (konsensus ulama), yang juga dapat menjadi salah satu sumber hukum syariah, apabila keterangan di dalam Al-Qur’an maupun hadis masih sangat bersifat umum atau tidak spesifik.

Tentu saja,apa yang dinamakan dengan fatwa itu adalah produk hukum yang tetap merujuk pada nilai-nilai dasar etika dan moral Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber syariah (hukum Islam). Sebagaimana dikatakan Imam asy-Syatibi dalam al-Muwafaqat, bahwa diturunkannya hukum syariah dalam Al-Qur’an maupun hadis bertujuan agar tetap terpeliharanya agama (hifzh ad-din), akal  (hifzh ‘aql), harta  (hifzh al-mal), nyawa  (hifzh an-nafs), dan keturunan (hifzh an-nasl) setiap orang.

Sesi talkshow semakin hangat begitu memasuki sesi tanya jawab. Sekurangnya ada empat penanya yang diberikan kesempatan untuk bertanya kepada Dr. Asrorun Ni’am Sholeh. Sebagiannya merupakan kawan-kawan jurnalis yang memang sengaja datang untuk tujuan liputan.

Beberapa pertanyaan yang sempat mengemuka, antara lain, mengenai apa hukumnya melaksanakan shalat Jum’at bagi pekerja yang tinggal di anjungan pengeboran minyak dan gas (RIG), yang umumnya berada di lautan lepas, sedang tempat yang digunakan terkadang juga dipakai untuk ibadah umat beragama yang lain. Ada pula yang menanyakan tentang hukum mengonsumsi kopi luwak, menanyakan arah kiblat, serta menanyakan berapa lama suatu fatwa diproses dalam sidang-sidang Komisi Fatwa MUI.

Secara lugas, Dr. Asrorun Ni’am Sholeh menjawab bahwa semua jawaban persoalan hukum yang ditanyakan sebenarnya sudah terdapat di dalam kelima buku himpunan fatwa MUI yang sedang diluncurkan. Sedangkan mengenai berapa lama MUI memutuskan suatu fatwa, hal tersebut bergantung pada sejauh mana tingkat masalah atau kasus yang sedang dihadapi. Jika terkait dengan makanan, maka MUI juga melibatkan para ahli makanan dan pangan baik dari kalangan akademisi semisal dari Institut Pertanian Bogor (IPB), maupun dari para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang lain, agar kesimpulan hukum yang dihasilkan tidak semata memenuhi unsur legis formalnya saja.

Dr. Asrorun Ni’am Sholeh juga mengimbau agar setiap Muslim tidak menggampangkan dan mengecilkan hukum-hukum agama. Apalagi, dewasa ini kejelasan halal-haram sering kali dibuat sumir. Terkait dengan hal ini, ia sempat mengkritik mantan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi yang cenderung menggampangkan saja anasir-anasir yang haram dalam bahan-bahan produk obat, dengan alasan untuk kepentingan medis. Padahal dalam hukum agama jelas tidak ada kompromi terhadap yang haram. Selama masih ada obat berbahan halal, maka obat yang mengandung unsur-unsur yang haram mutlak wajib ditinggalkan. Kecuali, jika pilihan pada yang halal itu memang tidak tersedia, sedangkan kondisi mendesak dan memaksa penggunaan obat berusur haram.

Dalam kaitan itu, siapa pun wajib mengetahui putusan-putusan hukum syariah dalam menjawab berbagai persoalan mutakhir dewasa ini. Salah satu upaya untuk itu adalah dengan mencermati putusan-putusan yang dilahirkan MUI di dalam Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Edisi Terbaru) atau yang terdapat pada empat buku seri tematiknya.  [AND]

Tautan:
1. Diluncurkan, Buku "Fatwa MUI Tematik"

2. Apa Dasar Fatwa Halal MUI Terhadap Kopi Luwak?

3. Islam Hanya Membolehkan Operasi Penyempurnaan Alat Kelamin

4. MUI: Perceraian Marak Gara-gara Nonton Infotainment

5. Infotainment Bikin Gampang Cerai

6. MUI Dukung Hukuman Mati untuk Pengedar Narkoba, Ini Alasannya

7. MUI Perbolehkan Menyetrum Hewan Sebelum Disembelih