Pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi setiap insan di dunia. Pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik kepada terdidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju kepribadian yang lebih baik, yang pada hakikatnya mengarah pada pembentukan manusia yang ideal (Abudinnata:101). Dengan demikian, relasi antara pendidik dan terdidik harus terjalin selaras agar terbentuk manusia yang ideal yakni manusia yang sempurna akhlaknya dan dibarengi dengan kemampuan intelektual.

Islam  sangat mendorong dan mengajak manusia untuk lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan bahkan Allah SWT menjelaskan kedudukan orang-orang yang berilmu, dalam Firman Nya:


“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ayat di atas menerangkan keutamaan orang-orang yang berilmu (berpendidikan) akan ditinggikan derajatnya. Dengan berilmu, manusia menjadi semakin maju dan berkembang karena akal dan pikirannya selalu terpacu untuk menggunakan dan memanfaatkan ilmunya sehingga bisa menghasilkan suatu karya dan terus berinovasi untuk memperbaharui karyanya. Karya tersebut bukan hanya dedikasi atas ilmu yang dimilikinya, namun tak jarang juga karyanya didekasikan untuk keperluan umat agar dapat dinikmati bersama. Dengan karyanya itu, orang-orang akan menghargainya dan secara tidak langsung kedudukannya akan lebih tinggi dan dihormati oleh manusia lainnya.

Pendidikan semakin berkembang mengikuti arus globalisasi. Di satu sisi, hal ini sangat  menguntungkan karena mempermudah kehidupan manusia. Secara tidak langsung, manusia akan semakin berlomba-lomba untuk mencari ilmu dan mengembangkannya kemudian akan menciptakan discovery pada bidang-bidang spesialisasi mereka dan terus berinovasi terus menerus. Di sisi lain, jika manusia tidak mengimbanginya dengan kesadaran akan pentingnya alam yang menjadi salah satu penunjang keberlangsungan hidup mereka di dunia, dan hanya berorientasi kepada kepentingan modernisasi semata, maka akan terjadi hal-hal negatif yang justru merusak alam. Jadi, perlu ada keseimbangan antara ilmu dan akhlak agar keduanya berjalan beriringan sehingga tidak akan menimbulkan kerusakan.

Islam sangat mengutamakan pendidikan yang diimbangi dengan akhlak mulia agar terjalin keharmonisan dalam hidup. Prof. Dr. Omar Mohammad At-Toumi Asy-Syaibany mendefinisikan pendidikan islam sebagai proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktifitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi masyarakat. (Asy-Syaibany, 1979:339).

Dalam Islam setidaknya telah memperkenalkan paling kurang tiga kata yang berhubungan dengan pendidikan islam yaitu, at-tarbiyah, at-ta’lim, dan at-ta’dib.

1. At-Tarbiyah

Kata at-tarbiyah berasal dari kata rabba atau rabaa (ربّ – يربّ- تربية)   di dalam Al-Qur’an disebutkan lebih dari delapan ratus kali dan sebagian besar atau bahkan seluruhnya  berkaitan dengan Tuhan.  Kata ini juga dihubungkan dengan alam jagat raya (bumi, langit, bulan, bintang, matahari, tumbu-tumbuhan, binatang, gunung, laut, dan sebagainya). Kata rabba atau rabaa juga dihubungkan dengan manusia seperti pada kata rabbuna (Tuhan kami), rabbuhu (Tuhannya), rabbuhum (Tuhan mereka semua), rabbiy (Tuhan-ku). Dengan demikian, kata at-tarbiyah menurut Naquib al-Attas tidak hanya menjangkau manusia melainkan juga menjaga alam jagat raya. Benda-benda alam selain manusia, menurutnya tidak dapat dididik, karna benda-benda alam selain manusia itu tidak memiliki persyaratan potensial, seperti akal, pancaindra, hati nurani, insting, dan fitrah yang memungkinkan untuk dididik. Yang memiliki potensi-potensial di atas itu hanya manusia. Untuk itu, Naquid al-Attas lebih memilih kata at-ta’dib (sebagaimana nanti akan dijelaskan) untuk arti pendidikan, dan bukan kata at-tarbiyah.

 

2. At-Ta’lim

Kata at-ta’lim atau asal katanya, yaitu ‘allam, yu’allimu, ta’liman(علّم-يعلّم-تعليما)   dijumpai dalam hadis sebagai berikut.

“Pengetahuan adalah kehidupan islam dan pilar islam, dan barang siapa yang mengajarkan ilmu Allah akan menyempurnakan pahala baginya, dan barang siapa yang mengajarkan ilmu dan ia mengamalkan ilmu yang diajarkan itu, maka Allah akan mengajarkan kepadanya sesuatu yang belum ia ketahui.” (HR. Abu Syaikh)

Di dalam hadis tersebut, kata ta’lim dihubungkan dengan mengajarkan ilmu kepada seseorang, dan orang yang mengajarkan ilmu tersebut akan mendapatkan pahala dari Tuhan. Kata at-ta’lim dalam arti pengajaran yang merupakan bagian dari pendidikan banyak digunakan untuk kegiatan pendidikan yang bersifat nonformal, sepeti majelis taklim. Kata at-ta’lim dalam pendidikan sesungguhnya merupakan kata yang paling dahulu digunakan daripada kata at-tarbiyah. Kegiatan pendidikan dan pengajaran pertama kali dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dirumah Al-Aqram di kota Mekkah, dapat juga disebut majelis at-ta’lim.

3. At-Ta’dib

Kata at-ta’dib berasal dari kata addaba, yuaddibu, ta’diban تعديب)- (عدّب-يعدّب yang dapat berarti education (pendidikan), discipline (disiplin), punishment (peringatan atau hukuman) dan chastisement (hukuman-penyucian). Kata at-ta’dib berasal dari kata adab yang berarti beradab, bersopan santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika.

Kata at-ta’dib dalam arti pendidikan sebagaimana disinggung di atas, ialah kata yang dipilih oleh Naquid al-Attas. Dalam hubungan ini, ia mengartikan at-ta’dib sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tenpat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuatan dan keagungan Tuhan.

Berdiri dan semakin menjalarnya lembaga pendidikan islam baik di tingkat dasar (Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah), tingkat menengah (Madrasah Aliyah) maupun tingkat tinggi khususnya swasta seperti Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI), Institut Agama Islam (IAI), bahkan berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam menjadi wadah untuk menaungi aktivitas kaum Muslim dalam menuangkan berbagi ide dan saling bertukar pikiran dalam mencari solusi dari setiap masalah umat Muslim. Hal ini menjadi salah satu manifestasi pendidikan islam yang sangat berharaga bagi keberlanjutan sistem pendidikan Islam di tengah sengitnya arus modernisasi yang semakin merajalela

Guna memanifestasikan pendidikan islam tersebut terdapat tiga kunci kemajuan pendidikan islam, yaitu:

 

  1. Epistemologi pendidikan Islam
  2. Manajemen pendidikan Islam, dan
  3. Kesadaran pendidikan

 

Ketiganya bekerja dan bergerak pada ranah tugasnya masing-masing. Epistemologi pendidikan Islam sebagai kunci memajukan ide-ide, gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran, wawasan-wawasan, konsep-konsep, dan teori-teori pendidikan Islam. Manajemen pendidikan Islam sebagai kunci memajukan penyelanggaraan, pelaksanaan, atau penerapan pendidikan Islam secara kelambagaan. Kesadaran pendidikan sebagai kunci memajukan perilaku umat Islam dalam mengikuti proses pendidikan Islam dan meraih keislamannya.

Kesadaran pendidikan merupakan kekuatan yang dahsyat dalam merealisasikan keberhasilan pendidikan termasuk keberhasilan pendidikan Islam. Sebaliknya, kesadaran pendidikan yang lemah menjadi penghambat yang paling serius menuju keberhasilan dan kemajuan pendidikan Islam.

Lembaga pendidikan Islam yang ingin mencapai kemajuan yang seharusnya menekankan misi dan fungsi akademisnya. Lembaga-lembaga akademik dituntut senantiasa mengembangkan ilmu pengetahuan dan tidak boleh mandek pada suatu pemahaman atau pemikiran, apalagi jika keduanya disakralkan. Lembaga-lembaga akademik dituntut senantiasa mengembangkan pemikiran, pemahaman, gagasan, ide, konsep, wawasan, teori, dan strategi sehingga selalu mengalami perubahan dan pembaruan progresif yang bersifat positif-konstruktif, yang mengandung muatan nilai-nilai makin efektif dan efisien. Karena itu, lembaga-lembaga akademik (keilmuan) sangat menghargai inisiatif, pemikiran kritis, analistis, kreativitas dan produktivitas, karena ini semua yang mampu mengawal kemajuan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari peradaban. – Dani Fitriyani

Sumber:

  • Ali Al-Jumbulati,Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan pendidikan Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta
  • Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
  • Zamroni, Ahmad. 2013. Makalah Pendidikan Islam