Namanya adalah Umair bin Sa’ad. Meskipun ia seorang pejabat tinggi, namun ia dan keluargannya hidup dalam kesederhanaan. Umair bin Sa’ad dilantik sebagai gubernur dan ditugaskan di wilayah Hamsh oleh khalifah Umar bin Khattab. Anak dan istri Umair ditinggalkan di kota Madinah.
Konon, setelah lebih kurang setahun ia bertugas, ia dipanggil oleh khalifah Umar bin Khattab untuk dimintai laporannya secara langsung tentang perkembangan daerah yang dipimpinnya. Untuk memenuhi panggilan itu, datanglah Umair dari Hamsh dengan kendaraannya yang sangat sederhana, tanpa pengawal. Ia langsung menghadap Khalifah Umar bin Khattab. Dalam kedatangannya ini, ia memakai pakaian biasa. Dari segi pakaiannya saja, itu sudah mencerminkan kezuhudan dalam hidupnya. Di tangannya ada sebuah tongkat yang menggantungkan tempat-tempat air dan makanan untuk bekal selama perjalanan menuju Madinah. Keadaannya sangat sederhana, baik pakaian maupun perbekalan peralatannya, padahal ia adalah seorang gubernur.
Saat Umair telah tiba di hadapannya, Umar pun heran melihat keadaannya. Dalam keheranannya, Umar pun bertanya, “Mengapa keadaanmu demikian Umair? Apakah daerahmu tidak mempunyai hasil lagi atau apakah orang-orang di sana tidak mau membayar zakat dan pajak?”
Mendengar pertanyaan itu, Umair menjadi balik heran, lalu berkata; “Wahai Amirul Mukminin! Mengapa engkau menyangka demikian?”
Khalifah Umar: “Keadaanmu seperti itu membuatku berprasangka demikian.”
Umair: “Apakah keadaanku yang engkau lihat tidak pantas? Apakah aku menghadap kepadamu harus membawa dunia seluruhnya?”
Khalifah Umar: “Apa yang engkau maksudkan dengan membawa dunia?”
Umair: “Aku membawa tongkatku ini agar aku dapat bertahan tidak jatuh dan untuk menghalau kendaraanku, serta untuk mempertahankan diriku dari setiap serangan musuh yang menyerang.”
Khalifah Umar: “Oo....”
Umair: “Ini uncang terbuat dari kulit. Kupergunakan untuk tempat air minum dan air wudhuku. Dan uncang yang satu ini tempat makananku selama dalam perjalanan. Dan mangkuk ini tempat aku makan atau minum.”
Mendengar keterangan Umair sang gubernur, berlinanglah air mata khalifah Umar. Melihat khalifah Umar bin Khattab menangis, maka gubernur Umair menjadi keheranan dan bertanya. “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai Amirul Mukminin? Inilah keadaan yang sebenarnya, tak ada yang lain. Oleh sebab itu, inilah yang kujelaskan kepadamu.”
Khalifah Umar yang mendengar pertanyaan Umair itu, tak kuasa untuk menjawabnya. Dengan air mata yang bercucuran, ia meninggalkan gubernur itu dari tempat duduknya. Ia lalu pergi ke makam Rasulullah SAW dan Khalifah Abu Bakar Shiddiq. Ia pun tegak berdiri sambil menengadahkan tangannya ke langit, seraya berdoa:
“Ya Allah, jadikanlah aku orang yang lebih senang terhadap akhirat. Jadikanlah aku orang yang zuhud di dunia ini.” Kemudian ia kembali ke tempat semula, duduk dengan tenang tak berkata sepatah pun. Setelah beberapa saat kebisuan menyelimuti antara khalifah Umar dan gubernur Umair, khalifah Umar lalu bertanya,
“Apa yang engkau lakukan dalam tugasmu?”
Gubernur: “Kukumpulkan zakat dan pajak dari orang yang wajib mengeluarkannya.”
Khalifah: “Lantas engkau apakan?”
Gubernur: “Kubagi-bagikannya kepada fakir miskin dan kepada orang-orang yang membutuhkannya.”
Khalifah: “Apa yang tinggal padamu?”
Gubernur: “Demi Allah. Seandainya ada sesuatu yang tinggal padaku pasti kuserahkan kepadamu, wahai Amirul Mukminin.”
Khalifah: “Bagaimana keadaan umat Islam dan orang-orang zimmy (orang kafir yang dijamin keselamatannya di dalam wilayah Islam) di sana?”
Gubernur: “Alhamdulillah, setahu saya semuanya kutinggalkan dalam keadaan baik dan patuh terhadap pemerintah. Tak seorang pun yang merasa dirinya dizalimi.”
Khalifah: “Sebenarnya aku sudah tahu, tapi aku ingin mendengarkan keterangan darimu langsung untuk menambah keyakinanku. Nah, sekarang kembalilah engkau ke tempat tugasmu.”
Gubernur: “Aku mohon izin untuk tinggal beberapa hari, sebab aku ingin menjumpai keluargaku.”
Khalifah: “Itu hakmu. Terserah kepadamu.”
Setelah mendapat izin dari Khalifah Umar ibn Al-Khattab, maka pergilah gubernur Umair menuju rumahnya yang agak jauh dari kota Madinah. Di antara keluarganya tak ada yang tahu atas kedatangannya. Ia disambut oleh istrinya dengan penuh kerinduan, juga anak-anaknya menyongsong kehadirannya dengan penuh mesra. Begitu pula gubernur Umair, hatinya telah diselubungi haru bercampur rindu terhadap keluarganya, yang sudah hampir setahun ditinggalkannya demi memenuhi tugas.
Istrinya yang bernama Nailah memandangi suaminya yang baru datang itu dengan tenang. Lalu ia mengemukakan pertanyaan sebagai awal pembicaraan mereka.
Nailah: “Keadaanmu sewaktu meninggalkan kami kulihat lebih baik dari keadaanmu sekarang ini. Bajumu sudah usang, pakaianmu murah dan kusut, sepatumu telah halus tumitnya. Tidakkah ada di sana uang yang dapat engkau pergunakan untuk kebaikan dirimu?”
Gubernur: “Apakah daerah tugasku itu tempat mengambil dan mengumpulkan harta, wahai Nailah!”
Nailah: “Maksudku bukan untuk mengumpulkan harta begitu. Mana gajimu selama ini? Dan ke mana saja engkau habiskan uang itu?”
Gubernur: “Gaji-gajiku yang kuperoleh, kuinfakkan untuk sabilillah. Telah kubayar akhiratku dengan duniaku itu?”
Nailah: “Apakah kita tidak lebih berhak menerimanya daripada orang-orang yang engkau berikan itu?”
Gubernur: “Aku tahu, apa yang ada pada kita masih dapat kita gunakan. Sedangkan orang-orang yang kuberikan itu tidak memiliki sama sekali.”
Ketika mereka sedang saling bertanya jawab, tiba-tiba datanglah anaknya yang masih kecil. Datang merangkul dan memeluk ayahnya yang dirindukan. Anak itu duduk di pangkuan ayahnya. Dengan suara yang manja ia berkata; “Mana oleh-olehnya Ayah? Apa yang ayah bawa untukku?”
Umair tersenyum mendengar pertanyaan manja anaknya itu. Ia mencium anaknya yang disayanginya itu dan berkata; “Wah, ayah lupa membawanya. Nanti saja ya... kalau ayah datang lagi!”
Mendengar ucapan suaminya itu, dengan suara yang agak kuat istrinya berkata, “Datang lagi? Hai Umair, apakah engkau tahu kalau kita masih hidup sampai pada waktu yang engkau sebutkan akan datang itu?”
Dengan tenang gubernur Umair menjawab: “Kalau kita masih tetap hidup lagi, hadiah itu tentu akan aku bawa. Tetapi, kalau kita mati sebelumnya, tentu sampai di situlah kekuasaan kita. Yang menentukan detik kematian itu adalah Allah. Bukanlah hadiah itu dapat mengundurkan kita dari waktu kematian. Dan ingatlah kalaupun hadiah itu ada, tak ada pula manfaatnya bagi kita di dalam kubur nanti.”
Mendengar jawaban itu Nailah sedikit marah terhadap suaminya. Tadinya ia berharap bahwa apabila suami pulang dari tugas, ia akan membawa uang dan harta yang banyak. Kemudian mereka pun meneruskan pembicaraan dengan saling tanya jawab.
Nailah: “Hai Umair, memang keterlaluan engkau ini. Engkau samakan dirimu dan pikiranmu yang telah tua itu dengan anak kecil ini.”
Gubernur: “Aku sangat sayang dan kasihan terhadap anak-anakku.”
Nailah: “Engkau katakan kasih sayang? Coba, mana buktinya kasih sayangmu itu? Kau utamakan memberikan uangmu kepada orang lain daripada anak dan istrimu sendiri. Kau batasi untuk dirimu dan keluargamu. Ingatlah Allah telah berfirman: “Katakanlah: Siapa yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkannya untuk hamba-hamba-Nya, dan (siapakah yang mengharamkan) rezeki yang baik.” (QS. Al-A’raf: 32)
Gubernur: “Hai Nailah, bukan begitu. Aku paham dan tahu tentang ayat yang engkau bacakan itu. Tetapi, aku memberikan gaji dan uangku itu bukanlah kesalahan. Lupakah engkau, Allah telah berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukai kepada orang miskin, anak-anak yatim dan orang yang ditawan.” (QS. Al-Insan: 8). Juga telah berfirman: “... dan mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran sendiri, mereka itulah orang yang beruntung.’ (QS. Al-Hasyr [59]: 9).”
Nailah: “Tetapi, tetangga-tetangga kita tidak berbuat seperti apa yang engkau lakukan itu Umair,” dengan menunjukan wajahnya yang kelihatan muram dan keningnya yang dikerutkan.
Gubernur: “Apa persoalan kita dengan para tetangga? Setiap orang mengurusi persoalannya sendiri. Biarkan mereka. Hidup mereka lain, hidup kita lain. ”
Mendengar kata-kata istrinya yang menyiratkan tak sanggup itu, dengan suara agak keras Gubernur Umair berkata, ”Sebenarnya engkau sanggup. Tetapi, nafsumu telah tenggelam bersama dunia. Sedangkan engkau tahu bahwa benda-benda dunia ini tak ada yang abadi.” Ia menyambung katanya lagi, “Sudahlah, tinggalkan aku, hidangkanlah makanan apa yang ada sebab aku sangat lapar.”
Nailah terus berdiri, dan gubernur Umair terus saja asyik menciumi dan membelai anak-anaknya yang manja di pangkuannya. Tak lama kemudian, Nailah pun datang dengan membawa hidangan yang berisikan beberapa potong roti dan gulai. Sambil menghidangkan ia berkata, “Inilah yang paling enak dihidangkan, hai Umair.”
“Alhamdulillah atas segala nikmat-Nya yang telah demikian banyak diberikan kepada kita. Syukurlah kita masih dapat makan roti berkuah begini. Banyak orang-orang lain yang sudah beberapa hari tidak menikmati roti,” kata Umair membalas.
Mereka pun memakan apa yang telah dihidangkan oleh istrinya bersama-sama. Di tengah-tengah acara itu Nailah berkata lagi, “Agaknya engkau tahu bahwa saat ini kami yang engkau tinggalkan di sini sudah hampir kehabisan belanja. Engkau ingat sewaktu engkau berangkat dulu, bekal belanja kami yang engkau tinggalkan hanya untuk beberapa hari saja.”
Dengan tenang Umair menjawab, “bersyukurlah kepada Allah.”
Dalam masa istirahat itu dipenuhi dengan rasa haru dan rindu, namun bercampur dengan tanya jawab yang agak tegang antara gubernur Umair dengan istrinya. Tiba-tiba seorang utusan khalifah Umar bin Khattab yang bernama Habib datang. Ia diutus oleh khalifah Umar dan keluarganya untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kehidupan sang gubernur. Sebab peristiwa dan kata-kata gubernur itu sewaktu datang melapor dan menghadap khalifah Umar sangat mempengaruhi hati Umar. Ia ingin tahu keadaan yang sebenarnya. Habib dititipi dari Khalifah Umar kiriman uang sebanyak seratus dinar. Ketika Habib mau berangkat, khalifah Umar berpesan kepada Habib, “Coba, engkau tinggal bersama-sama mereka, lihatlah keadaannya. Kalau engkau melihat keadaan mereka sulit, maka berikanlah uang itu kepada Umair dan keluarganya dan katakanlah bahwa uang ini dari bait al-mal (kas negara).”
Kedatangan Habib dan permohonannya untuk tinggal bersama-sama mereka disambut dengan gembira. Habib pun tinggal di tengah-tengah keluarga itu. Pada mulanya ia merencanakan akan tinggal di sana selama tiga hari. Setiap hari dilihatnya makanan yang dihidangkan di rumah itu tak lain hanya roti yang dikuahi dengan minyak samin. Tidak pernah ada perubahan. Rupanya Habib itu tidak tahan dan tak sabar hidup seperti ini. Ia merasa seolah-olah di dalam tahanan. Belum tiga hari ia pun permisi minta izin kepada gubernur Umair untuk pulang. Sebelum pulang, ia meninggalkan uang sebanyak seratus Dinar yang dikirimkan oleh khalifah Umar kepada gubernur Umair. Ia berkata, “Uang ini dari bait al-mal. Keadaanmu menyedihkan. Khalifah menginginkan agar keluargamu tidak terlalu merasa kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.”
Diterimanya uang itu, lalu ia berkata kepada istrinya, “Nailah, bawalah ke sini uncang unta kain itu!” Istrinya menyangka gubernur Umair akan menunjukan kepada Habib keadaan mereka di rumah itu yang telah kehabisan persediaan makanan. Dalam pikiran Nailah menyesal, mengapa dia tadi bertanya dengan suaminya tentang uang. Seolah-olah ia seorang isteri yang tak sabar dan tak rela dengan suaminya.
Di hadapan Habib, gubernur membagi-bagikan uang yang diterimanya itu menjadi lima bagian. Lalu katanya, “Nah, ini bagian si anu, anu, anu, anu , dan si anu.” Ia pun menyebut nama-nama orang miskin yang diketahuinya serta memberikannya. Dia mohon bantuan kepada istrinya dan Habib untuk memberikan uang itu kepada orang-orang yang telah disebutkannya tadi. Habib kemudian pulang ke tempatnya semula. Ia pun melaporkan apa yang dilihatnya di tengah-tengah keluarga gubernur Umair itu kepada Khalifah Umar bin Khattab. Habib berkata, “Sedikit pun harta kekayaan tidak ada bersamanya. Dialah Gubernur yang paling zuhud.”
Mendengar itu, khalifah Umar lalu berdoa, “Alhamdulillah, syukur kepada Allah yang telah menjadikan di tengah-tengah kaum Muslim ini ada orang yang mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri atau kepentingan keluarganya. Dia menghambakan dirinya untuk kepentingan rakyat. Demikianlah orang-orang yang membeli akhiratnya dengan dunianya.”
(Kisah ini diambil dari buku Seri Perkaya Hati 9; PENGEN BEBAS STRES? HIDUP SEDEHANA, HIDUP ZUHUD!, Penulis: Saiful Hadi El-Sutha, Penerbit Erlangga: 2009)