Kata “syukur” memiliki kisaran makna “pujian atas kebaikan” atau “penuhnya sesuatu”. Dalam Al-Qur’an kata “syukur” biasa ditandingkan dengan kata “kufur”, “… jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim [14]: 7). Dalam ayat ini “syukur” juga diartikan sebagai menampakkan sesuatu ke permukaan, sedangkan “kufur” adalah “menutupinya”. Menampakkan nikmat Allah SWT antara lain dalam bentuk memberi sebagian dari nikmat itu kepada pihak lain, sedangkan menutupinya adalah dengan bersifat kikir.

Imam Al-Ghazali pernah berkata bahwa Allah SWT memberi balasan yang banyak terhadap pelaku kebaikan dan ketaatan yang sedikit. Allah SWT juga yang menganugerahkan kenikmatan yang tidak terbatas waktunya untuk amalan-amalan yang terhitung dengan hari-hari tertentu yang terbatas.

Siapa yang membalas kebajikan dengan berlipat ganda, maka ia dinamai mensyukuri kebajikan tersebut, dan siapa yang memuji perbuatan baik, ia pun dapat dinamai mensyukurinya. Jika Anda melihat makna syukur dari pelipatgandaan balasan, maka yang paling wajar memberi balasan hanya Allah SWT, karena pelipatgandaan ganjaran-Nya tidak terbatas sebagaimana ditegaskan dalam Surah Al-Baqarah [2]: 261, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Setiap pekerjaan atau setiap yang baik yang lahir di alam raya ini adalah atas izin dan perkenan Allah SWT. Apa yang baik dari Anda dan orang lain pada hakikatnya adalah dari Allah SWT semata; jika demikian, pujian apa pun yang Anda sampaikan kepada pihak lain, akhirnya kembali kepada Allah SWT. Itu sebabnya kita dianjurkan oleh-Nya untuk mengucapkan “Alhamdulillâh”, dalam arti “segala puji bagi/milik Allah”.

Allah SWT juga memuji Nabi-nabi-Nya, memuji hamba-hamba-Nya yang taat, “Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri hamba-Nya yang berbuat kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 158). Namun pujian kepada siapa pun ketika itu, pada hakikatnya adalah pujian yang kembali kepada Allah SWT juga. Bukankah setiap pekerjaan, atau setiap yang baik yang lahir di alam raya ini adalah atas seizin dan perkenan Allah juga?

Al-Quran juga menyatakan bahwa ada hamba-hamba-Nya yang bersyukur walau tidak banyak, “Hanya sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. Saba’ [34]: 33).  Manusia yang bersyukur kepada makhluk/manusia lain, adalah dia yang memuji kebaikan serta membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik atau lebih banyak dari apa yang telah dilakukan oleh yang disyukurinya itu. Syukur yang demikian dapat juga merupakan bagian dari syukur kepada Allah. Karena “Tidak bersyukur kepada Allah siapa yang tidak bersyukur kepada manusia.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi). Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling dapat berterima kasih kepada sesama manusia.” (HR. Ahmad dan perawinya adalah orang yang terpercaya).

Kedua hadis di atas berarti bahwa siapa yang tidak pandai bersyukur atas kebaikan manusia, maka dia pun tidak akan pandai mensyukuri nikmat Allah. Hal tersebut juga berarti Allah tidak akan menerima syukur seseorang kepada-Nya, sebelum ia mensyukuri kebaikan orang lain, karena kebaikan orang lain yang diterimanya itu, bersumber dari Allah juga. Itu pula sebabnya sehingga Allah merangkaikan bersyukur kepada kedua orang tua. “Dan bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibu bapakmu.” (QS. Luqman [31]: 14).

Syukur manusia kepada Allah dimulai dengan menyadari dari lubuk hatinya yang terdalam betapa besar nikmat dan anugerah-Nya disertai dengan ketundukan dan kekaguman yang melahirkan rasa cinta kepada-Nya dan dorongan untuk bersyukur dengan lidah dan perbuatan.

Melalui perbuatan, kita dapat bersyukur kepada-Nya dengan menghayati makna syukur. Syukur juga diartikan sebagai “menggunakan anugerah Ilahi sesuai dengan tujuan penganugerahannya”. Hal Ini berarti Anda harus dapat menggunakan segala yang dianugerahkan Allah di alam raya ini sesuai dengan tujuan Allah menciptakannya. Pelajarilah mengapa laut, angin, bumi, dan lain-lain diciptakan Allah kemudian gunakan ciptaan itu sesuai dengan tujuan penciptaannya. Dalam kedudukan Anda sebagai khalifah, Anda harus dapat mengantar segala ciptaan menuju tujuan penciptaan. Diperkenankah kembang dipetik sebelum mekar? Tidak! Karena itu boleh jadi tidak mengantar kepada tujuan penciptaannya. Bolehkah Anda tidur di kelas, kantor atau masjid? Tidak! Karena kelas, kantor dan masjid tidak dicptakan untuk tidur! Baikkah Anda menyia-nyiakan anak? Tidak! Karena anak adalah amanat-Nya yang harus dijaga. Apakah baik Anda makan di tempat tidur? Tidak! Karena ranjang diciptakan bukan untuk dijadikan tempat makan. Demikian seterusnya. Semakin sesuai sikap dan tindakan Anda dengan makna-makna itu, semakin banyak syukur Anda.

Perlu diketahui juga bahwa mengabaikan sikap syukur, menjadikan manusia kufur. Salah satu hal yang penting untuk dilakukan – dalam rangka meraih syukur – adalah dengan melihat hal-hal lain yang berada di bawahnya.

Demikianlah sedikit cara meraih syukur. Lihatlah yang berada di bawah Anda dan jangan melihat yang di atas Anda! Seorang yang hanya memiliki motor akan merasa bersyukur meski hanya memiliki motor, karena masih banyak orang yang tidak memiliki motor dan hanya memiliki sepeda. Orang yang hanya memiliki sepeda pun hendaknya merasa bersyukur meski hanya memiliki sepeda karena masih banyak pula orang yang tidak memiliki sepeda dan kesana-kemari hanya berjalan kaki. Orang yang tidak memiliki sepeda dan yang kesana-kemari hanya berjalan pun hendaknya bersyukur karena masih memiliki kaki yang sehat dan dapat menopang tubuhnya. Bahkan, orang yang tidak memiliki kaki pun hendaknya merasa bersyukur kepada Allah SWT, karena betapa banyak orang yang memiliki kaki namun kedua kakinya hanya digunakan untuk melangkah ke tempat-tempat maksiat dan tidak digunakan untuk melangkah ke tempat-tempat yang baik dan diridhai Allah SWT. Demikian, seterusnya. Semakin kita melihat ke bawah, akan semakin besar pula rasa syukur kita kepada Allah. “Lihatlah orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu karena hal itu lebih patut agar engkau sekalian tidak menganggap rendah nikmat yang telah diberikan kepadamu.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA) . Demikian, wallahu a’lam. (Diambil dari buku Islamic Relationship) –Hijrah Saputra