ISLAM merupakan agama yang konsen terhadap pemberdayaan umat. Salah satu wujud pemberdayaan tersebut adalah perintah kepada umatnya untuk melakukan amal yang bersifat filantropis seperti infaq, shadaqah, dan zakat. Dari ketiga laku filantropi tersebut, zakat merupakan kewajiban bagi umat Muslim yang telah memenuhi kriteria. Zakat adalah salah satu pilar agama Islam yang mempunyai dimensi sosial.

Melalui zakat, Islam berusaha mewujudkan solidaritas sosial dalam masyarakat. Dengan instrumen zakat pula, Islam berupaya mengentaskan si miskin dari jurang kemiskinannya. Selain itu, zakat juga berfungsi sebagai sarana pemerataan pendapatan. Sehingga harta dan kekayaan yang beredar dalam masyarakat tidak hanya terkonsentrasi pada orang-orang yang kaya saja, melainkan bisa merata secara adil.

Distribusi kekayaan ini sangatlah penting, terutama jika dikaitkan dengan kehidupan modern seperti sekarang, di mana perimbangan harta kekayaan yang beredar di masyarakat sangatlah timpang. Menurut laporan Lembaga Dunia untuk Riset Pembangunan Ekonomi - Universitas PBB (UNU-WIDER) yang dirilis pada tanggal 5 Desember 2006, kekayaan global pada tahun 2000 adalah senilai 125 triliun USD. Setengah lebih dari keseluruhan jumlah tersebut dikuasai oleh “hanya” dua persen penduduk dunia dewasa (KOMPAS, 14 Desember 2007).

Ini tentu sangat ironis. Di satu sisi, orang-orang yang kaya hidup secara glamour dan dapat dengan mudah membeli apa saja yang mereka inginkan. Namun di sisi lain masih saja terdapat sekelompok masyarakat yang hidup dalam keadaan yang sangat miskin. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok pun mereka sangat kesulitan. Maka melalui instrumen-instrumen filantropi di atas, diharapkan hal tersebut dapat dieliminasi.

Terkait dengan peran dan fungsi zakat, Yusuf Qaradhawi menjelaskan secara komprehensif dalam bukunya, Fiqh al-Zakah. Menurutnya, selain bermanfaat pada sisi pemberi maupun penerima, zakat juga memegang peranan dalam konteks kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Dengan kata lain, zakat dapat berfungsi sebagai jaminan sosial dalam sebuah masyarakat (Qaradhawi, 2006).

Menyadari betapa pentingnya instrumen-instrumen filantropi tersebut dalam kehidupan masyarakat, Islam sangat menganjurkan umatnya untuk melaksanakannya. Bahkan dalam konteks zakat, al-Qur'an memerintahkan secara tegas untuk memungutnya. Dengan redaksi kata perintah "khudz" (ambillah/ pungutlah!), al-Qur'an hendak menegaskan bahwa laku zakat bukanlah dilakukan atas dasar opsional atau pilihan, melainkan sebuah keharusan yang bersifat memaksa.

Filosofi Tanaman

Berangkat dari peran vital instrumen-instrumen filantropi dalam kehidupan masyarakat, terdapat sebuah tamsil menarik. Yakni dalam al-Qur'an, perumpamaan-perumpamaan yang digunakan untuk menggambarkan instrumen-instrumen filantropi tersebut berupa unsur-unsur tanaman. Lihatlah misalnya surah al-Baqarah (2:261) yang menerangkan tentang tamsil orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah. Mereka akan mendapatkan balasan berupa pelipatgandaan pahala hingga ratusan kali lipat, bahkan hingga jumlah yang terbatas. Itu diibaratkan dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, di mana pada tiap-tiap bulir terdapat seratus biji.

Atau misalnya surah al-Baqarah (2:265) yang juga menerangkan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka. Mereka diumpamakan mempunyai sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi, yang disiram oleh hujan lebat. Kebun itu pun menghasilkan buahnya dua kali lipat. Sebaliknya, orang yang menafkahkan hartanya karena selain Allah diibaratkan sebagai orang yang mempunyai kebun buah-buahan, namun kebun itu terbakar karena ditiup angin keras yang mengandung api. Ini disebutkan dalam surah al-Baqarah (2:266).

Benih, bulir, biji, kebun, dan buah-buahan merupakan unsur-unsur tanaman. Mengapa al-Qur'an menggunakan unsur-unsur tanaman sebagai perumpamaan bagi orang yang berlaku filantropis? Salah satu hal yang bisa kita simpulkan adalah karena tanaman mempunyai banyak manfaat bagi kehidupan umat manusia, sebagaimana laku filantropis berguna bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.

Melalui tanaman, manusia bisa mendapatkan beras, jagung, gandum, buah-buahan, dan sayuran untuk memenuhi kebutuhan makanan mereka sebagai penopang hidup. Kayu dimanfaatkan untuk industri, peralatan rumah tangga, dan beberapa kegunaan lain. Fosil tanaman yang terpendam jutaan tahun dalam perut bumi akan menjadi bahan bakar. Akar pepohonan dapat menyerap dan menyimpan air di dalam tanah, sehingga banjir dapat dihindari, sekaligus sebagai cadangan air sewaktu kemarau. Selain itu, oksigen yang dihasilkan oleh pepohonan bermanfaat sangat vital bagi kehidupan manusia dan hewan, yakni untuk pernafasan mereka.

Seperti halnya tanaman, instrumen-instrumen filantropi juga banyak memberikan manfaat, baik bagi pemberi, penerima, maupun masyarakat secara umum. Instrumen tersebut merupakan media untuk menyucikan jiwa bagi orang yang melaksanakannya. Pada sisi penerima, instrumen filantropi dapat membantu orang-orang lemah dan fakir miskin dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Selain itu, instrumen filantropi juga dapat berperan sebagai jaminan sosial dalam masyarakat, serta manfaat-manfaat yang lain. Terdapat unsur persamaan antara laku filantropi dan tanaman, yakni nilai kemanfaatan yang dikandung keduanya bagi kehidupan manusia.

Meskipun demikian, tanaman yang baik dengan panen yang berlimpah hanya dapat dihasilkan melalui benih yang bagus dan perawatan secara benar. Lahan di mana benih disemaikan juga harus baik. Selain itu, pemilik tanaman harus merawat dan melindungi tanamannya dari hama dan penyakit-penyakit tanaman lainnya. Jika semua itu telah dilakukan, pemilik tanaman tinggal memasrahkan hasilnya kepada Allah (bersikap tawakkal).

Dalam konteks laku filantropi, untuk mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah harus memenuhi beberapa kriteria. Di antaranya adalah; dilakukan secara tulus dan ikhlas untuk memeroleh ridha Allah sekaligus membantu orang lain, tidak mengaharap pujian dan balasan dari orang lain, serta tidak mengikuti laku filantropi yang telah dilaksanakannya dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan penerima.

Dengan memenuhi kriteria tersebut, kita akan mendapatkan pahala yang berlipat atas laku filantropi yang telah kita laksanakan. Sebagaimana seorang petani yang menebar benih padi, kemudian merawatnya dengan baik. Akhirnya dia pun mendapatkan hasil panen yang bagus dan melimpah. Hasil panennya tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga masyarakat.

Penulis : Rohani
URL : http://tamanhikmah.blogspot.com/2010/04/filosofi-tanaman-dalam-laku-filantropi.html
Sumber Gambar : http://www.justzakat.org.uk