Kedatangan Hari Raya Idul Fitri 1433 H tinggal hitungan jari ke depan. Dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, Hari raya Idul Fitri atau lazim disebut dengan Lebaran di Indonesia bukan saja menghadirkan fenomena ritus spiritual, tapi juga fenomena budaya dan sosial.

Banyak aspek budaya dan sosial yang mengemuka sebelum, selama, dan sesudah Lebaran berlangsung. Salah satunya adalah kebiasan mudik, saling memberi hadiah maupun uang, terutama kepada anak kecil, juga mengadakan silaturahmi dalam bentuk acara Halal bi Halal.

Tradisi mudik barangkali tradisi khas masyarakat Indonesia yang jarang ditemui di negara-negara Muslim lainnya di dunia. Begitu pula dengan tradisi Halal bi Halal seusai Lebaran.

Terkait dengan tradisi mudik, ada salah satu fenomena unik di Indonesia jelang Lebaran, yakni ramainya orang yang menukarkan uang kertas dengan nominal besar untuk dijadikan uang receh atau uang kertas dengan nominal lebih kecil. Umumnya, pecahan uang yang paling diminati adalah dengan nominal mulai dari Rp10 ribu, Rp5 ribu sampai pecahan uang dengan nominal Rp2 ribu.

Uang receh tersebut nantinya dipergunakan untuk menggembirakan anak-anak selama proses silaturahmi dan saling bermaafan di hari Lebaran.

Tingginya minat masyarakat akan uang pecahan kecil membuat sejumlah orang yang ingin mengais sejumput keuntungan. Pada beberapa titik keramian seperti di daerah terminal, stasiun, maupun jalan-jalan besar lumrah dijumpai para penjaja uang receh yang melayani jasa penukaran uang.

Para pelayan jasa tukar uang itu biasanya mengutip rata-rata Rp10 ribu sebagai imbal jasa dari penukaran uang kertas dengan nominal Rp100 ribu.

Penukaran uang semacam itu sesungguhnya telah sejak lama dipraktikkan oleh para kondektur angkutan umum yang biasa menukarkan uang kertas dengan nominal Rp10 ribu untuk mendapatkan uang logam receh sebanyak Rp9 ribu. Kutipan uang sebesar Rp1.000 tersebut sudah sangat dimafhumi oleh para kondektur.

Sikap MUI
Fenomena penukaran uang receh disikapi lain oleh beberapa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di daerah, terutama MUI Jawa Barat (Jabar), MUI Sumatra Barat (Sumbar), dan MUI Jombang. Ketiga lembaga keagamaan tersebut sejak tiga pekan terakhir gencar mengimbau masyarakat agar menghindari penukaran uang di pinggir jalan.

Larangan tersebut didasarkan pada praktik penukaran yang diindikasi mengandung riba atau transaksi ekonomi yang haram hukumnya dalam Islam.

"Itu termasuk riba yang mengambil keuntungan dari perdagangan yang tidak sah. Sehingga merugikan umat dalam hal ini konsumen," kata Salim Umar, Ketua MUI Jawa Barat Bidang Komisi Fatwa pada Selasa, 7 Agustus 2012, seperti dikutip vivanews.com.

Selain praktik ribawi yang dikeluhkan Salim, uang bukanlah alat tukar atau pun komoditi yang boleh diperdagangkan. Dalam hemat Salim, transaksi penukaran dengan mata uang sejenis (rupiah) tidak bisa disamakan dengan transaksi penukaran uang ke mata uang negara lain (perdagangan valuta).

"Transaksi penukaran uang receh termasuk riba, karena misalnya satu lembar pecahan sepuluh ribu ditukar hanya dengan sembilan lembar pecahan seribu," tegas Salim Umar.

Hal senada juga disampaikan oleh Gusrizal Gazahar, Ketua Bidang fatwa MUI Sumbar. Dimintai keterangan mengenai penukaran uang di pinggir jalan yang semakin marak jelang Lebaran, dia mengatakan bahwa praktik tersebut mengandung unsur riba karena jumlah uang yang ditukarkan dengan uang hasil tukaran tidak sama.

"Jika uang ditukar dengan uang yang nilainya sama tetapi salah satu di antara penukarnya kurang atau lebih maka tidak diragukan terdapat unsur riba," kata Gusrizal di Padang, Selasa, 7 Agustus 2012, seperti dikutip kompas.com.

Gusrizal juga menambahkan bahwa dalih yang mengatakan bahwa uang kutipan merupakan imbalan jasa tidak dapat diterima. Dikarenakan praktik transaksinya jelas tidak berkeadilan. Dia juga menghimbau agar setiap Muslim meninggalkan transaksi seperti itu karena dilarang oleh agama.

Begitu pula pendapat KH Cholil Dahlan, Ketua MUI Jombang, yang mengatakan bahwa penukaran uang di pinggir jalan kental unsur riba sehingga hukumnya haram.

Dia menceritakan kisah di dalam hadis yang mengungkap praktik seorang sahabat Nabi yang menukarkan kurma berkualitas jelek sebanyak dua timbangan dengan kurma kualitas bagus sebanyak satu timbangan.

Mengetahui hal itu, Nabi Muhammad SAW langsung menegur karena sahabat tersebut telah melakukan praktik riba.

“Fenomena jasa penukaran uang tersebut tidak jauh beda dengan kisah sahabat nabi yang melakukan penukaran kurma jelek dengan kurma kualitas bagus tadi,” kilah KH. Cholil Dahlan, seperti dikutip Tribunnews.com.

Respons Bank Indonesia
Gusrizal mengapresiasi Bank Indonesia (BI) yang telah menyiapkan infrastruktur untuk memudahkan masyarakat melakukan transaksi penukaran uang pecahan kecil agar terhindar dari riba.

BI memang secara proaktif melayani penukaran uang receh di bank maupun layanan bergerak. BI Padang, Sumbar, saja menyediakan uang untuk keperluan Lebaran senilai Rp1,8 triliun.

"Uang yang akan ditukar itu mulai pecahan Rp1.000 sampai Rp20 ribu," kata Kasir Senior BI Padang Sumbar Pinto Satiyono, pada Senin, 6 Agustus 2012, seperti dikutip Okezone.com.

Untuk kelancaran hal tersebut, BI Padang menggandeng BRI, BRI Syariah, BNI, Bank Mandiri, Bukopin, BTN, BCA, dan Bank Nagari. BI juga melayani nasabah di luar bank atau layanan bergerak.

"Jasa pertukaran uang ini disiapkan di komplek Gor H Agus Salim Padang mulai 1-15 Agustus…Selain itu disediakan mobil yang melayani jasa penukaran uang tapi mobil tersebut berpindah-pindah tempat," ungkapnya.

Selain di Padang, kegitaan serupa juga dilakukan BI di Jakarta, yang dipusatkan di lapangan IRTI Monas antara tanggal 6-12 Agustus 2012. Pada hari terakhir, pelayanan ditutup pada pukul 12.00 WIB.

Selain mengadakan pertukaran uang receh, BI juga mengadakan pelaksanaan penukaran e-Money. Dalam penukaran uang pada minggu lalu tersebut, turut hadir Deputi Gubernur BI, Ronald Waas.

Dalam pelaksanaan semua kegiatan itu, BI tidak mengutip serupiah pun dari uang yang ditukarkan oleh konsumen. Hanya saja, setiap konsumen dibatasi hanya boleh menukar uang hingga Rp5 juta.

Tanggapan dan Polemik
Sampai detik ini, larangan untuk menukar uang receh di pinggir jalan memang masih sebatas imbauan. MUI pusat maupun pengurus MUI di daerah-daerah baru sebatas mengimbau status haram praktik penukaran uang dengan cara tersebut dan menyarankan agar penukaran dilakukan di bank yang tidak terindikasi riba. Imbauan MUI ditanggapi beragam oleh pengguna jasa maupun penjaja jasa penukaran uang.

Anis (50) yang biasa menjajakan jasa penukaran uang di kawasan Jalan Diponegoro Padang, Sumbar, mengaku hanya ingin membantu masyarakat jelang Lebaran. Ia tidak terlalu hirau dengan imbauan MUI.

BI sendiri mengaku tidak bisa mengontrol banyaknya para penjual uang yang marak dan mengeruk peluang menjelang Lebaran. Ronald Waas mengungkapkan bahwa tidak ada Undang-Undang (UU) yang melarang hal tersebut.

Namun, BI Jabar mendukung imbauan MUI Jabar kepada masyarakat agar meninggalkan praktik menukar uang di jalanan yang sarat riba.

“Kami setuju dan mendukung sikap atau pernyataan MUI tersebut.Kami sendiri sudah melarang aktivitas tersebut dilakukan dijalan-jalan sekitar kantor BI.Masyarakat diharapkan mematuhinya,” kata Lucky Fathul, Pimpinan BI Jabar, seperti dikuti hidayatullah.com.

Fathul mengimbau agar masyarakat menukarkan uangnya di bank atau kantor BI saja, selain di loket-loket bergerak yang disediakan BI. Menurut Fathul, selain haram, jual beli tersebut juga banyak mudaratnya terutama bagi penukar. Kerugian tersebut antara lain penjual akan menaikan 10% dari uang yang ditukar warga.

Kerugian lain yang disebut Fathul adalah kerawanan beredarnya uang palsu atau rusak, di mana BI tidak bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Juga, rentan terjadinya manipulasi uang (kurang hitungan). [AND/dari berbagai sumber]