Pada suatu masa hiduplah seorang raja bernama Izzuddin Muhammad di sebuah negeri yang disebut Baldatun Thoyyibah. Raja Izuddin, demikian sapaan akrabnya, memerintah dengan sangat adil dan bijaksana. Sehingga warga Baldatun Thoyyibah pun hidup dalam kemakmuran. Kesenjangan antara yang kaya dan miskin di negeri Baldatun Thoyyibah tidak terlalu kentara.

Pasalnya, setiap orang kaya secara sukarela mengangkat tiga orang tetangganya yang miskin sebagai saudaranya. Hal ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh kaum Anshar yang berasal Madinah kepada kaum Muhajirin yang merupakan kaum imigran asal Mekkah di zaman Rasulullah Muhammad SAW. Sehingga meskipun jumlah orang kaya di negeri Baldatun Thoyyibah hanya sepertiga dari total populasi yang ada, orang-orang miskin di negeri tersebut tetap tidak merasakan hidup dalam kemiskinan. 

Raja Izuddin sendiri telah memerintah selama 10 tahun. Beliau mewarisi tahta dari ayahandanya yang bernama Izuddin Muhammad. Beliau naik tahta pada usia ke-60 tahun. Setelah 10 tahun menjabat sebagai raja, beliau merasa sudah saatnya untuk lebih konsentrasi mendekatkan diri kepada Allah SWT. Karena itulah, beliau hendak menyiapkan pewaris tahta secepat mungkin.

Raja Izuddin sendiri mempunyai dua orang anak laki-laki. Anak laki-laki pertama Raja Izuddin yang juga putra mahkota bernama Muhammad Nasaruddin, sedang anak kedua bernama Muhammad Anas.

Status Muhammad Nasaruddin sebagai putra mahkota dibatalkan oleh Raja Izuddin Muhammad lantaran anak tertuanya itu menjadi tersangka dalam penggelapan 100 karung gandum yang diperuntukkan sebagai aksi tanggap darurat bagi warga yang tertimpa bencana banjir di sebagian kecil wilayah negeri Baldatun Thoyyibah.

Setelah menjadi tersangka, status Muhammad Nasaruddin dianggap sama sebagai warga negara biasa. Hal ini dilakukan agar lembaga peradilan dapat bekerja dengan lancar dan baik. Raja Izuddin sendiri sudah sejak awal tidak mau mencampuri urusan pengadilan. Beliau menyerahkan urusan tersebut kepada para mufti istana, meskipun terkadang dalam kasus-kasus pelik beliau akan turun langsung menegakkan keadilan.

Setelah dilakukan pemeriksaan secara seksama dengan menghadirkan bukti dan saksi, Muhammad Nasaruddin terbukti menjadi otak penggelapan bahan makanan bantuan banjir tersebut. Pengadilan menjatuhkan hukuman penjara selama 10 tahun kepada Nasaruddin. Jadilah, Muhammad Anas sebagai putra mahkota negeri Baldatun Thoyyibah.

Muhammad Anas sendiri adalah seorang penjelajah ulung. Nyaris hampir setiap pelosok negeri Baldatun Thoyyibah pernah ia singgahi. Sebab itulah ia cukup populer di mata warga negeri Baldatun Thoyyibah. Warga negeri Baldatun Thoyyibah sendiri berharap agar kelak Anas menggantikan Raja Izuddin Muhammad setelah status putra mahkota Muhammad Nasaruddin dicopot. Namun, Anas rupanya punya pemikiran lain. Suatu hari dia mendatangi ayahandanya.

“Ayah, aku ingin bicara perihal penting,” ujar Anas di hadapan ayahandanya.
“Apakah yang hendak engkau bicarakan, anakku? Sampaikanlah maksud dan tujuanmu,” balas Raja Izuddin Muhammad.
“Ayah tentu jauh lebih mengenalku dibandingkan kebanyakan orang. Jiwa petualanganku tak mampu kubendung, Ayah. Berat rasanya buatku untuk tinggal berlama-lama di balik benteng istana nan megah ini. Karena itu, tanpa mengurangi rasa hormatku kepadamu Ayah, juga tanpa menepis rasa cintaku kepada seluruh warga Baldatun Thoyyibah, aku mundur sebagai putra mahkota,” demikian ucap Anas dengan mantap.

Raja Izuddin masih sempat membujuk anak keduanya itu agar bersedia memangku tahta negeri Baldatun Thoyyibah. Namun Anas bergeming dengan pendiriannya. Jiwa pemberontak Anas memang sedemikian deras mengalir dalam darahnya. Sekali bulat menyatakan sikap, tidak ada yang mampu mengubah pendiriannya itu.

Setelah cukup lama merenung akhirnya Raja Izuddin memutuskan untuk mengakhiri dinasti kerajaannya. Beliau mencetuskan ide radikal dengan mengadakan sayembara kepada warganya ihwal kesempatan menjadi raja bagi siapa pun yang berminat. Raja Izuddin tidak muluk-muluk dengan kriteria raja idamannya. Asalkan mereka lolos persyaratan administrative kemudian mampu menjalani satu ujian yang diberikan, maka ia pantas menjadi raja.

Setelah pengumuman sayembara dilakukan, anak-anak muda dari seluruh pelosok negeri Baldatun Thoyyibah berdatangan. Mereka kemudian menyerahkan kelengkapan administrasi yang dipersyaratkan pihak kerajaan. Dalam seleksi administrasi didaptkan sekitar 300 calon raja negeri Baldatun Thoyyibah. Raja Izuddin tampak senang melihat begitu banyak potensi kepemimpinan warganya. Dalam hati, beliau merasa bersyukur bahwa program pendidikan gratis yang dilancarkan sejak masanya menjabat telah membuahkan hasil. Di dalam balairung besar istana Raja Izuddin kemudian berpesan kepada 300 calon raja tersebut.    

“Aku senang mendapati kenyataan bahwa di antara wargaku ternyata banyak yang berpotensi untuk menggantikanku,” ucap Raja Izuddin membuka kesan di hadapan peserta ujian para calon raja. Kemudian beliau melanjutkan sambutannya.

“Ujian yang akan kuberikan cukup sederhana, namun perlu kesabaran ekstra. Aku akan berikan kalian masing-masing 1 pot dan 1 benih tanaman. Kalian kuberikan kesempatan untuk menanamnya, menyiramnya, dan membawanya ke tempat ini lagi pada satu tahun mendatang. Pada hari itulah akan kutentukan siapa di antara kalian yang berhak menjadi raja setelahku.”

Satu di antara pemuda yang turut mendapat ujian itu adalah Hijrah. Dia adalah anak yatim yang tinggal berdua dengan ibunya. Ditinggal sang ayah sejak masa sekolah menengah pertama, dia tumbuh menjadi pribadi mandiri dan tidak cengeng.

Hijrah berotak cemerlang dan pandai bergaul. Dia sangat rajin beribadah namun tidak pandang bulu mengasihi dan menyayangi siapa saja. Baginya, di dunia ini hanya ada dua jenis manusia, yang baik dan buruk, dan selebihnya sama, makhluk Allah SWT. Dia juga amat peduli dengan tetangganya yang kurang beruntung. Dia membantu sebisanya, mulai dari tenaga, pikiran, bahkan uang jika ada.

Hijrah memang tidak terlalu ganteng, namun banyak gadis kampung yang mendambanya. Pembawaannya yang kalem dan sopan, namun pintar, memikat kaum hawa mana pun yang memandangnya.     
Sekembali dari istana, Hijrah mengabarkan kepada ibunya bahwa ia termasuk dalam daftar 300 orang yang berpeluang menjadi raja. Dia juga menceritakan secara mendetail perintah raja kepadanya dan anak-anak muda lainnya.

Setelah melaporkan semua kejadian kepada ibunya, Hijrah mulai menyemai benih yang diberikan oleh Raja Izuddin. Secara telaten dia memperlakukan benih itu dengan baik, mulai dari menyirami dengan air yang cukup sampai memberinya pupuk. Hari demi hari berlalu, namun benih tanaman di pot milik Hijrah belum juga bertunas. Namun, dia terus bersabar. Dia ingat pesan raja bahwa ini merupakan ujian kesabaran.

Minggu ke minggu berlalu, bulan demi bulan berselang, namun benih yang diharapkan bertunas tak jua menampakkan pucuk daun. Setelah 4 bulan berlalu, Hijrah menyempatkan diri untuk menengok perkembangan benih yang ditanam oleh para pesaingnya. Dia terkejut bukan main mendapati benih para pesaingnya tumbuh subur bahkan banyak yang telah berbunga dengan indahnya. Sementara benih yang disemainya masih belum jua bertunas.

Diliputi rasa kecemasan mendalam, Hijrah pun mengadukan hal tersebut kepada ibunya. Sang ibu berpesan agar dia kembali bersabar, siapa tahu dalam 8 bulan tersisa benih yang disemainya akan tumbuh. Namun, apa mau dikata sampai waktunya tiba benih di pot Hijrah tak jua tumbuh bersemi.

Hijrah pun mengadu lagi kepada sang ibu apa yang harus dilakukannya, sementara besok semua peserta calon raja akan kembali dikumpulkan di balairung istana.
“Bunda, apa yang harus aku lakukan? Benih tanaman banyak pemuda tumbuh dengan kokoh dan indah disertai bunga menjuntai, sementara benih milikku sampai detik ini tak jua tumbuh!” Tanya Hijrah yang sebenarnya sudah tahu akan jawaban sang ibu.

“Anakku, kau bawa saja benih dan potnya ini ke hadapan raja. Sampaikan kepada beliau ungkapan maafmu karena tak mampu menumbuhkan benih. Katakan bahwa kau telah berusaha sebaik mungkin memelihara benih tersebut. Katakan saja apa adanya, anakku. Kalaupun kau tak menjadi raja, kau tetaplah raja di hatiku,” jawab sang ibu dengan penuh kasih saying.

Dengan langkah bimbang, Hijrah pun turut datang ke balairung istana. Dia menyaksikan banyak pemuda berbagi cerita perihal benih tanamannya. Berbagai warna bunga menghiasi tanaman mereka dengan pot yang dihias renda nan indah. Hijrah hanya dapat menghela napas panjang.

“Apa boleh buat, mungkin ini sudah suratan takdirku,” Hijrah bergumam lirih.
Saat memasuki balairung istana Hijrah sengaja memilih tempat agak di belakang. Beberapa pemuda langsung tertawa sepuasnya begitu melihat pot miliknya hanya berisi benih. Namun sejurus kemudian para pemuda itu meminta maaf kepadanya sambil menyindir, “Usaha yang bagus, kawan!”

Lepas Zuhur, Raja Izuddin pun memasuki balairung. Beliau menyalami setiap pemuda. Kemudian beliau berujar, “Sungguh, tanaman yang sangat indah. Tahukah kalian bahwa hari ini aku akan langsung memilih salah seorang di antara kalian untuk menjadi raja, dan menggantikanku hari ini juga!”
Sesaat kemudian, Raja Izuddin terganggu oleh gerak-gerik seorang pemuda yang tampak gelisah di ujung belakang barisan. Beliau pun memerintahkan kepada para pengawal untuk membawa pemuda tersebut ke hadapannya.

“Hai, anak muda, siapa namamu? Mengapa engkau tampak gusar?” tanya Raja Izuddin.
“Nama hamba Hijrah tuan. Hamba amat gusar karena tidak mampu memenuhi amanat tuan untuk menumbuhkan benih yang telah tuan berikan setahun yang lalu. Hamba mengaku gagal, dan hamba bersedia tuan menghukum hamba asal jangan tuan libatkan ibunda hamba,” ucap Hijrah agak gemetaran.

Semua pemuda yang menyaksikan kejadian itu tertawa. Raja Izuddin meminta mereka semua untuk diam. Kemudian raja turun dari singgasananya untuk mengamati Hijrah dari dekat. Hijrah merasa ditelanjangi oleh sang raja karena sang raja memandangi dirinya nyaris tak berkedip dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tubuh Hijrah pun semakin keras berguncang menahan rasa takut.

Raja Izuddin kemudian mencabut pedang dan diacungkan tinggi-tinggi. Tamu yang memenuhi balairung istana membelalakkan mata. Jantung mereka mulai berdegup kencang, menunggu peristiwa apa yang kira-kira akan terjadi.

“Setahun yang lalu, di tempat ini, aku memberikan kalian sebuah benih. Aku meminta kalian untuk menanamnya, menyiramnya, dan membawanya kembali hari ini. Kalian semua menuruti apa yang kukatakan dahulu, kecuali Hijrah, pemuda yang ada di hadapan kalian ini,” ucap Raja Izuddin dengan lantang sambil menghunus pedang lebih tinggi.

Setelah menghunus tinggi-tinggi, Raja Izuddin menurunkan pedang tersebut lalu berkata, ”Ketahuilah wahai wargaku sekalian, saat ini juga, saksikanlah raja baru kalian. Dia adalah Hijrah!”
Para hadirin seisi balairung terperanjat kaget, tidak mengira, bagaimana mungkin Hijrah bias terpilih sebagai raja padahal dia tak mampu memenuhi permintaan sang raja. Belum habis rasa heran para hadirin dan juga para kontestan pemuda, Raja Izuddin kembali berujar.

“Tahukah kalian, mengapa Hijrah kutetapkan sebagai raja? Kalian tentu mengetahui bahwa benih yang kuberikan setahun lalu itu adalah benih yang telah dimasak, sehingga tidak mungkin benih itu dapat tumbuh dan berbunga. Kalian mengetahui semua itu, tetapi tidak satu pun dari kalian, kecuali Hijrah, yang berani membawa benih yang telah kuberikan dahulu itu. Kalian malah menggantinya dengan benih yang masih mentah sehingga dapat tumbuh dan berbunga. Tahukah kalian bahwa aku tidak menyukai seorang raja yang penakut dan pembohong?!”

Para pemuda yang hadir di balairung menyadari keinsyafan mereka. Semula mereka akan mengira bahwa sang raja akan memuji mereka namun ternyata sebaliknya. Satu per satu dari mereka mendekati Hijrah dan menyalaminya. Mereka kagum dengan keberanian dan kejujuran Hijrah. Akhirnya Hijrah pun didaulat sebagai raja tanpa menyisakan iri hati dari para pesaingnya. Negeri Baldatun Thoyyibah pun mendapatkan kembali raja pengganti yang arif dan bijaksana dalam diri Hijrah. [erlangga.co.id/Disadur dari islamcan.com]