“Jangan nilai isi buku dari sampulnya.” Pepatah demikian tampaknya cocok untuk menggambarkan sepenggal kisah hidup yang dialami Eni, seorang perempuan muda asal Padang, Sumatera Barat. Sewaktu remaja Eni lebih senang hidup foya-foya. Sampai suatu saat ketika usianya sudah cukup matang untuk menikah, hidayah Allah SWT menghampirinya. Menginjak usia 23 tahun, Eni mulai mengurangi kegiatannya membuang waktu percuma. Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk memahami Islam dan nyantri dari pengajian ke pengajian. Jilbab pun mulai ia kenakan.

Suatu kali, ia menghadiri sebuah pengajian. Kebetulan yang mengisi tausiyah adalah seorang ustaz muda nan tampan lagi terkenal. Ustaz muda nan tampan itu memang tidak sepopuler Uje atau Ustaz Solmed, namun bagi Eni, sang ustaz benar-benar memesona. Dalam waktu singkat, bayangan akan sang Ustaz susah lepas dari hatinya. Dalam hati Eni berharap, semoga sang ustaz menjadi jodoh hidupnya kelak.

Doa dan harapan Eni tidak perlu menunggu lama untuk terkabul. Diam-diam ternyata sang Ustaz juga menyukai Eni. Keduanya pun sepakat untuk menjalin silaturahim dan meningkatkan hubungan untuk bertaaruf atau saling melakukan perkenalan. Singkat cerita, Eni dan sang Ustaz akhirnya resmi melangsungkan pernikahan di depan penghulu.

Eni merasa sangat bahagia dinikahi oleh sang Ustaz. Apalagi, setelah dinikahi sang Ustaz statusnya berubah menjadi Bu Ustaz. Namun, berbulan-bulan kemudian, pernikahannya mulai dilanda prahara. Bahtera rumah tangga Eni dan suaminya yang seorang ustaz itu mulai diterpa riak-riak kecil, bahkan ombak besar pahitnya kehidupan.

Eni tidak pernah menyangka kalau suami tercinta yang seorang ustaz itu mengidap sebuah kelainan psikologis yang awalnya kurang dipahaminya. Jika ada keributan, tak pandang bulu, kecil atau besar, sang suami begitu mudahnya menyakiti Eni secara fisik. Padahal, dalam pergaulan di masyarakat, suami Eni itu sangatlah santun dan tidak ada sedikit pun pembawaan kasar.

Eni makin merasakan adanya keanehan dalam diri suaminya tatkala usai keributan yang terjadi antara mereka berdua, sang suami dengan mudahnya meminta maaf, bahkan sampai bersujud di bawah kakinya. Namun, tidak lama kemudian, ketika emosi sang suami sudah sulit dikendalikan lagi, Eni kembali menjadi sasaran kekerasan dari sang suami.

Eni sendiri berusaha sabar menghadapinya. Malah dia mengajak sang suami berobat ke psikiater. Namun tiap diajak berobat, sang suami serta-merta menolak. Kesabaran Eni makin diuji begitu mengetahui rencana sang suami yang mau menikah lagi.

Eni makin merasakan hidup serba salah. Pada satu sisi dia harus menjaga kehormatan keluarga dan suaminya yang merupakan tokoh panutan masyarakat. Namun, pada sisi lain, dia terkadang tak sanggup lagi menerima perlakuan kasar sang suami. Terlebih lagi apabila menyaksikan sang suami dengan entengnya berbohong kepada banyak orang dengan membangga-banggakan sesuatu yang tak pernah dilakukan atau disandangnya. Misalnya saja, Eni pernah mendapati sang suami mengaku telah sekian lama mengabdi sebagai dosen. Padahal, Eni tahu benar, suaminya tidak pernah mengajar di sebuah universitas maupun sekolah tinggi sekali pun.

Kesabaran Eni memuncak ketika pada suatu ketika sang suami mengasarinya kembali, bahkan kali ini seraya meremehkan Al-Qur’an setelah ia coba menasihati dengan tak lupa menyitir beberapa ayat Al-Qur’an. Apalagi, dalam beberapa kali pertengkaran, sang suami sering mengucapkan kalimat cerai yang didengar oleh adik, kakak, bahkan orang tua Eni. Mereka semua memang tinggal satu atap. Diam-diam, Eni pun akhirnya mantap untuk mendaftarkan gugatan cerai kepada suaminya di pengadilan agama setempat. Tanpa sidang yang berbelit-berbelit pernikahannya dengan sang ustaz pun berakhir.

Allah SWT tidak menyia-nyiakan kesabaran Eni menahan perlakuan kasar dan penderitaan dari suami pertamanya. Beberapa bulan setelah melewati masa iddah dari perceraiannya Eni menemukan kembali jodohnya. Eni makin bersyukur dikarenakan suami keduanya sangat santun dan setia.

Meskipun bukan seorang ustaz, perilaku santun suami kedua Eni terasa alamiah dan wajar, tidak ada yang dibuat-buat atau kamuflase. Citra ideal suami yang pernah didambakan Eni nyaris seluruhnya melekat dalam kepribadian suami keduanya. Eni tidak henti-hentinya memanjatkan kalimat syukur kepada Allah SWT.

Kini rumah tangga Eni yang baru telah berjalan tujuh tahun. Dua buah cinta hadir meramaikan biduk rumah tangga mereka. Kesabaran Eni kini telah berbalas kado terindah dalam hidupnya.

Cerita di atas merupakan saduran dari salah satu kisah yang termuat di buku Kesempatan Hidup Kedua: Pengalaman Nyata Orang-orang yang Dinaungi Rahmat Allah SWT.