Dalam konteks ibadah, Islam selalu memiliki ajaran-ajaran yang tidak hanya memiliki esensi ketuhanan (ulûhiyyah), akan tetatpi juga esensi kemanusiaan (ubûdiyyah). Islam senantiasa menerapkan dua esensi ini untuk menyeimbangkan kehidupan manusia yang memiliki dua garis hubungan, pertama garis horizontal yakni hubungan antara dengan Tuhannya (hablumminallah), kedua garis vertikal yaitu hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya (hablumminannâs).

Dalam menata hubungan horizontal, seseorang diharapkan  mampu berdialog dengan Tuhannya, di mana seseorang harus memiliki kesadaran bahwa setiap tindak tanduk perbuatannya akan selalu terlihat, sehingga ia harus memperhatikan setiap perkataan dan perbuatannya selama di dunia, karena harus dipertanggungjawabkan secara personal di hadapan Allah SWT, konsep ini disebut taqwa. Lain halnya dengan penataan hubungan vertikal, seseorang kerap kali lupa akan kewajibannya dalam menata hubungan ini, terkadang seseorang merasa tidak memiliki kewajiban dalam hal menolong sesama, padahal mereka adalah saudaranya yang seiman, jadi tidak heran bahwa tidak sedikit orang yang selalu taat beribadah, namun secara sosial ia tidak peduli yang akhirnya ia tidak mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

Semua ritual yang kita lakukan memiliki hikmah dan nilai yang sangat dalam yang merupakan tujuan esensi dari ibadah tersebut. Dengan kata lain, ada makna hakiki yang mendalam di balik simbol-simbol ritual tersebut. Inilah yang harus kita selami dan kita jabarkan dalam setiap aktivitas sosial kita. Kegagalan kita menyelami makna simbolis tersebut hanya akan menghasilkan pribadi yang terpecah. Ini terlihat, umpamanya, dalam diri seseorang yang secara lahir memiliki pengalaman keagamaan yang baik dan akrab dalam suasana religius dalam kehidupannya. Namun pada saat berhadapan dengan kekuasaan dan kehidupan duniawi pada umumnya, ia terjelembab dalam lumpur dan godaan materi. Ia terjebak dalam indahnya kekuasaan tersebut, sehingga melupakan orang banyak yang sedang berharap padanya. Ironisnya, tidak jarang pula ia menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan kekuasaan tersebut.

Ibadah puasa Ramadan melatih kita dalam mengasah kepekaan dan kepedulian kita terhadap sesama. Selama sebulan penuh umat Islam dianjurkan untuk lebih banyak perenungan dan menahan diri (imsâk), yaitu mengendalikan segala macam bentuk godaan nafsu syahwat dan duniawi. Rasa lapar dan haus yang kita alami sejak terbit fajar hingga terbenam matahari setidaknya menggugah hati dan jiwa kita, betapa banyak saudara kita yang kurang beruntung telah terlebih dahulu merasakan lapar dan haus.

Seorang mukmin, yang melakukan puasa dengan ikhlas, hatinya akan terketuk melihat penderitaan orang lain dan berusaha memberi pertolongan kepada mereka yang memang sangat membutuhkan pertolongan. Karena itu, seseorang yang ingin nilai puasanya tinggi di sisi Allah, tidak hanya akan melakukan puasa dengan menahan diri dari segala hal yang membatalkan (pahala ibadah) puasa itu, tetapi lebih dari itu, ia akan mengisi puasanya dengan mempertajam kepekaan sosialnya.

Kepekaan sosial inilah akan akan menjadi bekal hadiah bagi seseorang yang telah melakukan ibadah puasa dalam satu bulan untuk menghadapi bulan-bulan setelah bulan Ramadan. Jika kita kaji lebih dalam, segala perbuatan yang dianjurkan dilakukan pada bulan Ramadan dengan ganjaran (pahala ibadah) yang berlipat ganda, sesungguhnya melatih diri kita untuk terbiasa dalam melakukan amalan-amalan yang dianjurkan tersebut, meskipun bukan pada bulan Ramadan.

Esensi ibadah puasa dalam aspek sosial, adalah menjadikan seseorang memiliki jiwa sosial tinggi, peka terhadap lingkungan, selalu memberikan pertolongan bagi yang membutuhkannya, serta ikhlas dalam setiap perbuatannya tanpa ada pamrih, hal ini lah yang sangat membuat orang-orang yang beriman merindukan hadirnya bulan Ramadan sebagai bulan di mana mereka dapat kesempatan untuk melatih kesabarannya dan melatih kepekaan dirinya terhadap masalah sosial.

Akhirnya terciptalah dua hubungan yang harmonis yakni hubungan antara manusia dengan Allah SWT (hablumminallah) dan hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya (hablumminannâs). (Hijrah S)