Aspek Teologis Konsep Mashlahah dalam Kitab al-Muwafaqat

Pada awalnya apa yang melatarbelakangi Bapak menulis buku ini?
Saya melihat buku-buku teologi yang berkembang saat ini adalah buku-buku teologi yang murni, sehingga kaidah-kaidah teologi yang ada di dalamnya itu sering tidak mempertimbangkan relasi antara teologi dengan hukum, padahal hukum juga penting. Karena itu ketika saya melihat Asy-Syafi’i seorang ulama ushul fiqh yang banyak berbicara teologi, saya jadi tertarik.

Jadi untuk memperkenalkan bahwa ulama fikih atau ushul fiqh sama sekali tidak melepaskan diri dari pemikiran teologi dalam setiap karya-karyanya. Itu awalnya, kemudian saya membaca lagi beberapa buku ushul fiqh ternyata buku-buku ushul fiqh standar itu, menurut Ibnu Khaldun, justru ditulis lebih dulu oleh teolog ketimbang ulama fikih misalnya ulama Mu'tazilah dan ulama Asy'ari. Ulama Mu'tazilah itu al-Qadhi Abdul Jabbar penulis kitab al-Hukm dan Abu Husein al-Basri penulis kitab al-Mu’tamar, itu semua dari Mu'tazilah.

Kemudian dari kalangan Asy'ari Imam al-Haramain penulis buku ushul fiqh kalau tidak salah judulnya "al-Burhan", Imam al-Ghazali menulis kitab al-Mustashfa. Jadi empat orang ini mewakili dua aliran, Mu'tazilah dan Asy'ariyah. Maka saya semakin yakin hubungan teologi dengan pemikiran hukum itu sangat erat. Itulah yang saya ingin lakukan untuk membuktikan bahwa ustadz Syathibi, penulis kitab Al-Muwafaqat memiliki pemikiran yang sarat dengan teologi. Kemudian selain itu juga karena pergulatan teologi yang banyak dibahas di Indonesia adalah antara rasionalis dan tradisionalis. Rasionalis berakar dari Mu'tazilah sedangkan tradisionalis atau al-muhaddis berakar dari Asy'ari. Saya melihat kedua aliran ini sama ekstrimnya.

Di antara kedua aliran ini. ada aliran namanya al-Maturidi, aliran ini pun terbelah dua. Al-Maturidi tidak banyak dikenal oleh masyarakat dunia, namun Asy'ari dikenal di Indonesia, Barat dan di mana-mana. Saya ingin menunjukkan bahwa tidak sepenuhnya Mu'tazilah salah dan tidak sepenuhnya Asy'ari keliru, ada bagian-bagian tertentu yang rupanya dipadu oleh pemikiran Maturidi.  Kebetulan saya lihat Asy-syafi’i ini cenderung ke al-Maturidi. Al-Maturidi tetap berpikiran kepada kaidah-kaidah aturan Islam atau sunah tapi juga sangat menghargai pemikiran rasional meskipun tidak se-liberal Mu'tazilah.

Dan itu yang saya ingin kemukakan bahwa berpikiran rasional tidak harus menjadi Mu'tazilah. Kemudian dengan menyajikan teologi-teologi rasional, yang tetap berpijak kepada kaidah-kaidah pokok atau hadis sunah, mungkin bisa membantu kita mengkonfigurasikan dengan kehidupan bangsa sekarang. Saya juga melihat informasi sekarang ada pada dua kutub yang sangat ekstrim. Pertama kutub sekularis yang tidak menghargai nilai-nilai ibadah. Kedua kutub di mana justru menghargai semua, termasuk yang terkait dengan dukun-dukun, kuburan-kuburan, hal-hal yang berbau mistik dan berbau horor seperti yang ada televisi saat ini. Jadi maunya saya, kita harus tinggalkan hal-hal seperti itu dengan mengembalikan posisi teologi kepada keimanan Islam yang rasional.

Dan dengan keimanan yang rasional kita juga dapat mengisi cara hidup sesuai orang-orang sekuler itu, menjadi sekuler bukan berarti menularkan sekulernya pada nilai-nilai ketuhanan. Jadi biarlah mengislamisasikan pemikiran materialis sekuler itu menjadi suatu pemikiran yang memiliki pijakan teologi. Kemudian membuktikan pemikiran-pemikiran yang terlalu mistik, seperti terlalu mudah orang sekarang ke kuburan atau dukun, dan kadang-kadang dukun lebih dihargai daripada seorang kyai. Jadi inilah penyakit bangsa kita sekarang, lebih dekat secara teologis dan satu sisi lebih materialis sekuleris, jadi pantas juga yang materialis sekuler ini tidak menghargai kegaiban karena mungkin kegaiban yang mereka kenal seperti kegaiban yang ada di televisi. Padahal ada nilai-nilai agama yang menghargai kegaiban tapi tidak bentuk-bentuk tahyul seperti tadi. Saya kira itulah dasar pokoknya, mengapa saya tertarik untuk menulis mengenai pemikiran-pemikiran itu.

Masyarakat  Muslim Indonesia secara tradisional turun-menurun baik sadar maupun tidak, penyampaian agama dari kyai atau ustadz itu berakar dari pemikiran teologi Asy'ari. Apakah bapak melihat ada problem dalam pengajaran Asy'ari yang mungkin sedikit fatalis dan sepertinya hanya Asy'ari saja yang berkembang? saya melihat ada problem, begini teologi Asy'ari tidak hanya dianut masyarakat awam tapi kadang-kadang masyarakat intelektual juga dan menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat. Misalnya kita minta seorang pelatih olah raga, mungkin orang tidak melihat kaitan teologinya tapi saya selalu melihat ada. Kemudian tim Indonesia misalnya menang mutlak di luar negeri, "Apa sih kiat-kiatnya sehingga tim Indonesia bisa menang? saya juga tidak tahu karena ini persiapannya simple sekali". Itu seolah-olah tidak percaya diri, seolah-olah ini adalah mukjizat dari Tuhan. Ini seolah-olah menyerahkan seluruhnya kepada Tuhan, seharusnya dia bicara bahwa ini dipersiapkan dengan matang dan sebagainya. Jadi secara teologis dia sudah mengingkari usahanya dia sendiri, dan ini terjadi di seluruh masyarakat kita tanpa sadar. Ini satu contoh saja, andaikata dia jawab karena memang dengan persiapan yang matang, kita persiapkan segala-galanya, saat itu kita berdoa kepada Tuhan. Demikian juga kalau kalah, komentarnya juga malah terbalik "aduh tidak tahu saya karena persiapan 2 atau 3 tahun tapi tetap kalah, mungkin ini takdir Tuhan". Sepertinya menyerahkan kepada takdir. Jadi semestinya jawablah persiapannya cukup, mungkin ada hal-hal teknis yang kita terlupa dan justru hal itu yang menentukan.

Terus kalau yang kita kedepankan pemikiran Syathibi, secara simplenya gimana pa, yang dapat berguna untuk kemaslahatan muslim? Syathibi melihat bahwa usaha manusia punya andil besar dalam kesuksesannya. Tetapi Syathibi menekankan bahwa manusia itu tidak sombong, segala-gala tidak ditentukan oleh manusia. Itulah bedanya Mu'tazilah karena Mu'tazilah itu 100 % usahanya itu dari Tuhan, doa itu hanya untuk penenang hati. Tapi kalau Syathibi selain doa penenang hati tapi juga bisa untuk menginspirasi baru menyempurnakan usaha-usaha itu.

Asy'ari Bagaimana? Asy'ari tidak, kita berusaha Tuhan sepenuhnya yang menentukan. Jadi begini, tanggung jawab kita sebagai Asy'ari, selesai urusan selesai tanggung jawab kita, segala-galanya berhasil atau tidak itu tanggung jawab Tuhan. Itu jadi masalah dalam etos kerja. Obat-obat sering menyertai kasus seperti itu, yang mengatakan bahwa itu musyrik kalau mengatakan obat yang menyembuhkan penyakit. Kita hanya wajib berobat tapi jangan harap obat menyembuhkan penyakit, Tuhanlah yang menyembuhkan penyakit karena Tuhan lebih hebat dari obat, tidak lupa obat itu ciptaan Tuhan, Tuhan menyembuhkan penyakit melalui obat. Jadi di sinilah pengaruh Asy'ari itu, memisahkan antara ini.

Jadi tanpa disadari, masyarakat terus dicekoki? ya dicekoki, jadi seperti itu, semakin fatalislah mereka menghadapi ini.

Trus, bapak mengatakan bahwa Syathibi memberikan nuansa baru untuk pembentukan sikap dan etos kerja serta tanggung jawab dalam diri manusia untuk membangun kemaslahatan diri, bisa dirinci ga pak?
Begini, Syathibi itu dasar pemikirannya adalah maslahat, seluruh pemikirannya terfokus pada konsep maslahat. Jadi kemudian saya katakan Syathibi sebenarnya mengubah tren teologi, kalau dulu sebelum masa Syathibi dan masa ketika Syathibi ada, tren teologi adalah teosentris. Jadi berbicara tentang Tuhan, tentang kekuasaan Tuhan, semuanya masalah Tuhan tapi kalau Syathibi, dia membalik pemikiran itu, bukan selalu soal Tuhan yang dikerjakan tapi soal manusia, kemaslahatannya. Bagaimana manusia untuk membuat maslahat. Bagaimana pemikiran manusia tentang sumber-sumber kemaslahatan dari Tuhan tetapi melandaskan pemikirannya bahwa kemaslahatan ini memang sebagiannya adalah hasil manusia tapi ada hal-hal tertentu yang ditangan Tuhan. Misalnya khususnya kemaslahatan yang tak terpahami oleh akal melalui wahyu untuk beribadah, wahyu untuk soal-soal akhirat, jadi barangkali singkatnya begitu. Jadi dia memfokuskan pemikirannya pada konsep maslahat dan masa itu berguna pada manusia, jadi teologi antropolsentris, ekstrimnya begitulah. Mungkin juga persisnya tidak seperti itu.

Hamka, mungkin ada di calon pembaca buku kita yang mungkin belum tahu apa maksud maslahat, secara sederhana maslahat diartikan bagaimana?
maslahat itu ialah kalau terperinci satu-satu ialah kemaslahatan yang menjamin keselamatan manusia dalam hidup.

walaupun tidak disebutkan dalam Al-Qur'an?
kemaslahatan ini umum, kemaslahatan universal termasuk kemaslahatan duniawi itu bisa dinalar. Kemaslahatan duniawi yang tidak bisa dinalar hanya terbatas pada kemaslahatan-kemaslahatan yang berkaitan dengan ukhrawi. Misalnya memotong kurban, kalau kita pikir itu kan menyiksa binatang tapi  secara nalar itu bukan menyiksa binatang tapi karena Tuhan mengatakan kurban itu untuk akhirat, anda mendapatkan pahala dan anda berbagi kepada orang, itu kan bagus. Itu kemaslahatan yang tidak bisa dinalar tapi bisa dipahami oleh nalar.

Tapi memang seluruh kemaslahatan yang bisa dinalar itu juga diakui urusannya misalnya perkawinan sebelum syari’at datang manusia sudah terbiasa dengan konsep kawin meskipun konsepnya beda-beda, ada yang kawin satu sampai sepuluh orang tapi konsep bahwa orang perlu nikah itu sudah ada. itu nalar yang jalan. Jika nalar yang seperti ini, itulah wahyu-wahyu dari Tuhan dalam kitab-kitab terdahulu dan Al-Qur'an membenarkan syarat seperti itu dan kemudian memberi nilai tambah pedoman bahwa dalam perkawinan sebaiknya seperti ini.  Dan saya melihatnya seperti, katakanlah sebagai moral guidance, bimbingan moral. Tetapi esensi perkawinan sendiri itu dikenal oleh nalar manusia. Esensi perdagangan dan tuntutan ekonomi itu dikenal nalar manusia tanpa tanpa syari’at turun manusia bisa berekonomi secara makro. Tapi ketika syari’at turun saya melihatnya seperti memberi bimbingan moral, anda bisa berekonomi dengan baik tanpa menafikan apa yang telah ditulis oleh syari’at.

Bagaimana konsep warisan? konsep warisan, konsep keadilan. Tapi keadilan sebaiknya sesuai dengan tingkat peradaban dan kondisi masyarakat misalnya ketika bangsa Arab itu masih hidup berkeluarga secara patrilineal, semuanya tergantung pada bapak. oleh karena itu harta pun milik bapak. Ketika Al-Qur'an turun memberi peringatan soal ini maka Al-Qur'an memberi hak kepada perempuan meskipun tidak langsung seimbang, perempuan memperoleh sepertiga. Pada saat itu perempuan sangat gembira karena sebelumnya tidak memperoleh apa-apa, tiba-tiba Al-Qur'an memberi hak sepertiga jadi perempuan menganggap sepertiga bagiannya itu sudah sangat adil, bukan begitu! Tapi bagaimana peradaban dunia, masyarakat dunia setelahnya hingga saat ini. Satu untuk perempuan, dua untuk laki-laki serasa tidak adil. Kenapa? Karena patrilineal tadi sudah berubah juga, strukturnya sudah berubah menjadi seimbang. Usaha laki-laki dan perempuan sudah seimbang jadi kaum ibu yang dulunya merasa banyak sudah tidak adil. Disinilah diperlukan reinterpretasi karena Al-Qur'an itu bertumpu kepada keadilan, ada pun tadi dua untuk laki-laki, satu untuk perempuan hanya kondisi soal waktu, iya kan?jadi perlu reinterpretasi. Bisa diartikan sekarang perempuan memperoleh minimal satu artinya bisa lebih kan, laki-laki maksimal dua bisa kurang. Jadi kondisinya bagaimana berapa kurangnya laki-laki dan berapa lebihnya perempuan, jadi teksnya sudah diubah.

Kalau masalah takdir nih pak, orang sering ngomong takdir, tapi definisinya beda-beda menurut orang. Kira-kira menurut Pak Hamka, bagaimana memahami makna takdir dan hubungannya dengan masalah kita? Kita diberi daya dan potensi untuk hidup, ada daya jasmani, akal, pikiran, ada daya ekonomi. Di samping juga untuk potensi memahami wahyu, itu semua takdir Tuhan. Lalu kemudian untuk mengelola takdir-takdir yang diberikan kepada Tuhan ini, bagaimana menjadi suatu kemashlatan untuk diri kita. Kita juga tidak bisa lepas dari hubungan takdir kita dengan hubungan takdir yang dialami oleh orang lain. Artinya seperti bapak ditakdirkan ke sini, saya juga ditakdirkan di sini, jadi bisa ketemu iya kan. Nah disinilah diperlukan bagaimana kita mengelola takdir sebenarnya, jadi takdir itu tidak kaku.

Memang sebenarnya Tuhan menciptakan takdir-takdir ini, tapi untuk mengelola takdir ini menjadi sebuah kemaslahatan juga tanggung jawab manusia. Begitu saya memahami takdir itu. Saya ditakdirkan Tuhan lahir di Sulawesi, mungkin bapak di Jawa atau Sumatera, tapi karena potensi Tuhan memberi akal saya belajar di Makasar dan saya membawa potensi-potensi itu ke Jakarta dan bapak punya potensi kerja di erlangga. Karena ini satu-satu, kelihatannya bukan takdir tapi sebenarnya ini adalah takdir. Kemudian bapak menerbitkan buku saya selanjutnya kita ketemu di sini. Secara jaringan rumit sekali, makanya takdir selalu menyimpan rahasia-rahasia yang belum kita tahu, iya kan. Cuma bedanya dalam hal ini, Mu'tazilah menafikan rahasia-rahasia itu. Seolah-olah kita menyambung dengan sendirinya, sebaliknya Asy'ari membesar-besarkan rahasia-rahasia ini bahwa kita tidak tahu apa-apa, semuanya di tangan Tuhan. Di situ saja bedanya, tapi kalau saya tidak memahami seperti itu, bahwa Tuhan yang menakdirkan segala-galanya, kamu ke sini ke situ, tapi kita punya hak untuk mengelola takdir itu dalam sebuah jaringan yang bisa membawa kemaslahatan diri dan orang lain juga.

Pada kehidupan modern saat ini sudah banyak sekali masalah, mungkin setiap orang punya problem. Apakah peran agama Islam di masyarakat kita yang paling utama dan penting?
Mungkin saya bisa jawab dengan buku "Peranan Islam dalam Menciptakan Kemaslahatan Universal" karena kemaslahatan itu ada yang sifatnya universal dan ada juga yang sifatnya eksklusif atau parsial. Saya beri contoh misalnya mungkin secara pribadi saya menganggap karena dia muslim secara pribadi, teriakan-teriakan Allahu Akbar atau bacaan Al-Qur’an satu jam sebelum azan itu, membuat dia senang karena secara pribadi dia muslim. Tetapi mungkin saja hal itu mengganggu orang yang non muslim, iya kan.

Sekarang kita lihat bagaimana universalnya, yaitu universalnya kita kembali bagaimana menciptakan kehidupan bersama tanpa saling mengganggu, ibaratnya saya jalan tanpa mengganggu orang lain. Makanya di Makasar, di masjid terbesar di Sulawesi Selatan itu, al-markaz al-Islamic, kebetulan saya sempat resmikan juga, kita minta kepada petugas sehari-hari masjid jangan memutar kaset satu jam sebelum azan, paling banyak sepuluh menit saja sebelum azan. Hanya sekedar mengingatkan orang, waktu sudah sampai iya kan. Karena di Sulawesi banyak non muslim, dan non muslim juga banyak andil memberikan dana ketika al-Markaz mau dibangun. Jadi kemaslahatan universal harus kita bangun, jangan menunjukkan egoisme, egoisme agama dan egoisme-egoisme lainnya.

Dan saya tidak mengada-ngada seperti itu, ada dalam sejarah. Ketika Nabi melakukan perjanjian hudaibiyah, perjanjian antara kaum Quraisy dan Nabi serta sahabat-sahabatnya ketika Nabi mau berhaji tapi dihalangi oleh kaum Quraisy maka diadakanlah perjanjian. Nabi  membatalkan hajinya dan perjanjian-perjanjian lainnya yang disetujui bersama. Konsep perjanjian itu pada awalnya dimulai dengan basmallah, bismilllahirrahmanirrahim, kaum Quraisy tidak mau menyetujui perjanjian itu kalau ada basmalah. Basmalah kemaslahatan bagi muslim tapi menjadi mudharat bagi kafir Quraisy. Nabi sangat bijaksana, meskipun Nabi tidak jelas apakah Nabi menghapus atau tidak, tapi Nabi minta janganlah itu dicantumkan demi tercapainya perdamaian ini. jadi basmalah dihapus, saya kira itu kebijakan karena Nabi menghendaki kemaslahatan universal artinya sesuatu yang bisa tercapai untuk kemaslahatan semua tanpa merugikan kita, itu berhak dipertahankan. Jadi kalau mempertahankan kemaslahatan diri dan merusak kemaslahatan orang lain, jangan. Capailah kemaslahatan universal. Saya kira itu konsep besarnya, meskipun contoh-contohnya sudah ada di sini.

kalau secara bernegara, apa peran Islam? Peranan Islam menjadi pelopor Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mempertahankan pluralitas karena kalau kita mau mengacu kepada sejarah sebenarnya, sejarah pemerintahan yang bagus adalah pemerintahan Nabi Muhammad dan sesudah Nabi. Di bawah pemerintahan Nabi pluralitas masih terjaga, eksistensinya Yahudi, Nasrani, Kristen, agama-agama lain dan penyembah berhala juga masih ada. Dan itu juga dijadikan sebagai satu kesatuan warga negara di Madinah dengan undang-undang dasar yang disebut piagam Madinah. jadi sebenarnya kalau dianalogikan dengan negara Indonesia, pancasila dan undang-undang dasar itulah piagam Madinah, yang bisa membenarkan pluralitas bahwa seluruh agama bisa hidup, seluruh etnis bisa hidup, tergantung kepada umat Islam sendiri bagaimana bisa mengukuhkan dirinya di tengah-tengah pluralitas itu. Daripada mau hidup sendiri jadinya kan salah, Nabi tidak memberi contoh seperti itu. Adapun sesudah Nabi wafat, lahirlah pemerintahan Khulafa Rasyidin yang empat itu.

Memang pemerintah Khulafa Rasyidin itu kelihatannya sudah cenderung eksklusif meskipun tidak seratus persen. Karena kaum Yahudi dan Nasrani secara alamiah sudah berhijrah keluar, jadi katakanlah kalau Indonesia ini, secara alamiah timor timur sudah pisah dari kita sehingga jumlah katolik semakin berkurang, begitu kan analoginya. Jadi waktu itu, pada masa Khulafa Rasyidin sebagian komunitas Katolik, Protestan dan Yahudi sudah berhijrah keluar dari Madinah sehingga sudah hampir seratus persen penduduk Madinah muslim. Jadi tidak heran kalau beberapa ketentuan aturan-aturan negara di bawah Khulafa Rasyidin berbeda dengan piagam Madinah. Di Indonesia ini lebih cocok mengacu kepada pemerintahan Nabi Muhammad ketimbang sistem Khulafa Rasyidin.

Beberapa minggu kemarin, ada konferensi Hizbut Tahrir, bagaimana tanggapan bapak? kita tanya dulu ke Hizbut Tahrir, khilafah yang apa yang mereka maksud. Kalau maksudnya khilafah simbol-simbol saja tanpa merusak sistem politik tatanan umat Islam seluruh dunia saya kira tidak ada masalah tapi kalau dia yang dimaksud khilafah politik, satu pemerintahan politik sebuah dunia Islam saya kira sudah sangat utopis sebab tidak pernah terjadi dalam sejarah bahwa satu pemerintahan untuk satu dinasti Islam kecuali bisa menanti satu khilafah. Sesudah Khulafa Rasyidin habis, muncullah dinasti Umayyah. Dinasti Umayyah kira-kira 90 tahun perjalanannya, kemudian ditumbangkan oleh dinasti Abbasiyah. Ketika dinasti Abbasiyah tampil berkuasa, dia tidak menguasai sepenuhnya dunia Islam karena sisa-sisa hamba Umayyah lari ke Eropa, Andalus, Spanyol. Maka dari itu dinasti Abbasiyyah tidak berkuasa di Eropa dan Afrika Utara. Jadi dunia Islam dari dulu tidak bersatu, dari segi khilafahnya hanya terbatas kepada Khulafa Rasyidin. Setelah itu terpecah-pecahlah dinasti-dinasti di bagian Andalus, kemudian dinasti-dinasti di timur kemudian dengan perang eksternal dengan bangsa mongolia, kemudian mongolia menghancurkan Abbasiyah dan seterusnya begitu. Jadi sangat utopis sekali.

Bagaimana kalau konsepnya seperti Uni Eropa? Eropa tidak masalah, justru itulah sebenarnya mereka memperjuangkan Jalaludin al-Afghani. Jalaludin al-Afghani dan syekh Muhammad Nur itu menganut gagasan pan-Islamisme, satu dunia untuk satu Islam. Tapi dia tidak memaksakan pan-Islamisme menjadi satu konsep politik pemerintahan khilafah. Sehingga dengan demikian ketika terbentuk OKI, organisasi konferensi Islam, cita-cita al-Afghani sudah tercapai. Sudah banyak saksinya dengan banyak konferensi-konferensi Islam, Rabithah 'Alam Islami juga ada. Tapi soal politik hanya sebatas PBB, Persatuan Bangsa-bangsa, sama juga dengan Eropa dan ASEAN.

Kalau Hizbut Tahrir ingin mengubah sistem politik dari kesatuan negara Indonesia jadi khilafah, apa itu bisa disebut subversif? Kalau mengubah kemudian berimplikasi terhadap berubahnya pancasila dan UUD 45 serta berubahnya struktur negara kesatuan menurut satu kesatuan dunia, saya kira itu sudah subversif, sudah melanggar.

Kita masuk ke konteks ramadhan, menurut Pak Hamka secara rasional sebenarnya apa kegunaan puasa untuk pribadi kita? Puasa itu intinya pengendalian diri, karena untuk bisa hidup dan bekerja sama dengan orang, kita harus mampu lepas dari rasa egoisme. Untuk lepas dari rasa egoisme ini ada beberapa hal yang harus kita kendalikan, terutama ketamakan, pikiran-pikiran yang jelek terhadap orang itu harus dikurangi karena untuk bisa menghargai orang masing-masing egoisme harus dikorbankan, pengorbanan dan egoisme selalu berbenturan. Itulah sebenarnya inti puasa menurut saya, pengendalian diri artinya mengendalikan diri nafsu-nafsu yang secara klasik seperti nafsu makan, nafsu seks, nafsu emosi itu harus semua dikendalikan karena dari nafsu-nafsu itu karakter pengendalian bagi kemaslahatan manusia, jadi kembali lagi pada konsep kemaslahatan itu. Bahwa hanya dengan kemampuan pengendalian diri seseorang bisa berpotensi membuat kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain. Itulah makna dari ramadhan.

Pengendalian diri secara individu? Secara individu. Jadi saya banyak melihat orang memaknai puasa hanya sebatas tekstual bahwa dia tidak makan mulai dari jam setengah lima subuh sampai jam enam. Tapi efektivitas puasanya untuk bisa membawa dia menjadi orang yang tidak egois kelihatannya gagal. Jadi banyak bukti mislanya banyak orang berkelahi di bulan ramadhan, banyak kecurian-kecurian di bulan ramadhan, sedangkan orang-orang yang mencuri juga datang ke masjid. Itu  puasa dan ibadahnya gagal membentuk menjadi manusia yang mengendalikan diri.

Sekarang, kalau bulan ramadhan yang ramai itu mall. Menurut bapak bagaimana? Satu gejala sejak dulu sampai sekarang di Indonesia setiap menjelang ramadhan semua harga sembako naik, kenapa karena diprediksi permintaan masyarakat semakin banyak. Jadi berputar seperti itu,kenapa sih bulan ramadhan semakin banyak yang digunakan padahal mestinya puasa. Ketika bulan ramadhan dikurangin, yang awalnya 75% menjadi 50% dari kebuTuhan sehari-hari dulu. Tapi malah meningkat, karena pada bulan lainnya tidak terbiasa makan ayam, bulan ramadhan harus makan ayam, kue-kue mahal dimakan jadi bulan ramadhan bukan bulan pengendalian diri tetapi bulan konsumerisme. Di jakarta banyak orang saleh, kelihatan saleh karena pakai baju koko dengan sorban topi ke masjid salat, tapi perilakunya tidak saleh. Karena puasanya tidak berfungsi mengikis rasa-rasa egoisme, ketamakan, kesukaan, nafsu makan, nafsu seksual dan nafsu emosi. Itu ketiga nafsu membawa seseorang menjadi emosional, tamak dan seks, perilaku seks yang menyimpang dan sebagainya. Dan semua itu adalah merusak masyarakat.

Pak Hamka bisa diceritakan sedikit perjalanan bapak dalam memahami Islam dari pesantren, madrasah sampai saat ini? Saya belajar di pesantren, tempat pesantren ayah saya juga, Dakwah Daulah Irsyad, DDI, di jakarta juga ada DDI tapi bukan Dakwah Daulah Irsyad tapi Dewan Dakwah Islamiyah. Dulu pemimpin pesantren DDI adalah KH. Abdurrahman Lalu Abdurrahman memberikan banyak pesantren di sulawesi selatan ada di Pare-pare, Palu. Di Palu pun ada semacam pesantren induk, kayak punya ayah. Di situlah saya belajar, saya mengenal agama terutama mengenai akidah Asy'ariyah kemudian kalau fikih tentunya syar’iyah. Tapi selepas saya dari situ, ayah saya menyekolahkan saya di Muhammadiyah. Meskipun akidah di sekolah Muhammadiyah masih Asy'ariyah juga tapi dari segi fikih sudah mulai sedikit campur. Jadi di situ awalnya saya mengenal perbedaan-perbedaan mazhab. Lalu saya ke Makasar kuliah S1 pada tahun 1971, dari situ saya banyak membaca buku-buku yang berbau Mu'tazilah sehingga keinginan saya untuk memberikan, katakanlah memberontak kepada apa yang saya ketahui dari Asy'ariyah, rasanya ada pijakannya tapi pijakannya Mu'tazilah.

Tapi ini tidak terselesaikan walau bagaimanapun juga kalau S1 dengan litetratur yang sempit dan lingkungan yang masih Asy'ariyah, jadi semuanya tidak terselesaikan. Kemudian saya S2 dan S3 ke jakarta di IAIN, memusatkan S2 nya di Syarif Hidayatullah 1986. Kuliah di sana dan memperoleh mata kuliah dari berbagai buku dan berbagai dosen yang berlatar belakang berbeda-beda. Ada latar belakang Muhammadiyah, ada berlatar belakang NU, ada yang berlatar belakang tidak Muhammadiyah tidak NU tapi sangat rasional seperti Harun Nasution, ada yang berlatar belakang tidak segala-galanya tapi juga sangat rasional Sutanta semuanya kita terima termasuk juga untuk pengayaan intelektual kita dari NUrcholish Madjid sampai ke rektor UI yang mengajar di PMII, yang sangat rasional, tentang sains dan teknologi. Jadi dengan perluasan wawasan seperti itu maka sudah mulai terasa ada titik terang menyelesaikan perbedaan antara Asy'ari dan Mu'tazilah. Bagi saya, karena saya bergelutnya itu. Yang lain tetap, yang Asy'ari ya Asy'ari, yang Mu'tazilah tetap Mu'tazilah.

Tapi kelihatannya memang kalangan pondok pesantren, itu dulu mungkin sekarang sudah berubah, kalau dulu waktu saya belajar di sana berlatar belakang NU dan masih Asy'ari murni, sekarang kelihatannya berubah dengan lahirnya pemikir-pemikir muda seperti Masdar, Ulil Absar Abdala. Kelihatannya NU tidak bisa dibilang kaum tradisionalis malah semakin hebat di dunia loncatan pemikiran. Mungkin karena pengaruh Gus Dur, Gus Dur itu mungkin lebih rasional dari Nurcholish.  Mungkin karena Gus Dur ini pemikirannya tidak lineal dengan dunia akademik seperti Nurcholish maka beliau tidak menyampaikannya secara sistematis. Andaikata lineal, saya kira lebih brilian menyampaikannya ketimbang Nurcholish, apalagi beliau banyak membahas teosofi dari warisan masa lalu seperti Hindu, Budha dan sebagainya. Saya kira itulah pengayaan beliau. Jadi dengan demikian saya melihat satu kesimpulan seperti tadi rasionalis, tidak perlu Mu'tazilah murni dan kita bisa tidak Asy'ariyah tapi tidak berarti apa yang disampaikan Asy'ariyah itu semuanya salah. Kalau kita bisa karikaturkan di sini Mu'tazilah di otak kita, tapi di sini tetap Asy'ari (hati). Kalau ada Mu'tazilah secara 100 % maka akan banyak orang gila, karena kalau gagal dia akan menyesali dirinya dan akan menjadi gila.

Misalnya ada orang awam belum tahu masalah-masalah tersebut, saya kira apa yang harus saya sampaikan pentingnya buku ini untuk mereka? Mungkin bisa dimodali bahwa anda pernah mendengar kemajuan Islam di Barat?  atau di Andalusia, Granada?  Salah seorang intelektual yang lahir dari sana adalah Syathibi. Untuk mengenal dunia Islam jangan hanya belajar dari buku-buku yang terbit dari karya Abbasiyah, di timur, seperti Baghdad. Tapi anda juga harus belajar dari buku-buku yang pernah diterbitkan di Eropa karena kemungkinan besar Eropa bisa maju karena pengajaran keIslaman dari tokoh-tokoh yang berjaya di Eropa seperti Syathibi, sedangkan kalau ilmu tafsir misalnya al-Qurthubi. Al-Qurthubi sudah terkenal dimana-mana dan Syathibi juga masih dikenal. Makanya dimulai dari situ karena untuk memperkenalkan langsung saya kira masih sulit, kadang-kadang saat ini pun masih ada orang tidak tahu Syathibi siapa.