Oleh: M. Kamaluddin Al-Maulidy
Memasuki peralihan peradaban baru ini, umat Islam harus kembali menjemput harapan-harapannya yang hilang. Umat Islam kini tengah menghadapi berbagai tantangan besar yang harus dihadapi oleh umat manusia pada umumnya, berupa krisis global yang mengepung di segala penjuru, dengan segala akibat-akibat yang akan ditimbulkan selanjutnya.

Situasi internal umat Islam yang amat memprihatinkan sekarang ini tidaklah muncul begitu saja. Kebobrokan yang sudah demikian parah ini merupakan fenomena luaran dari krisis yang lebih dalam dan mengakar, yaitu krisis epistemologis. Hal ini ditandai dengan memudarnya kesadaran umat Islam untuk memahami ajaran-ajaran agamanya -Al-Qur’an dan Sunah- secara kontekstual dan mendalam. Dalam menghadapi arus perubahan-perubahan globalisme yang begitu cepat tersebut, umat Islam masih saja berpangku tangan. Begitu besarnya dampak yang akan ditimbulkan oleh pelbagai krisis tersebut, sering kali membuat kita pesimistis dan tak berani menatap masa depan dengan lebih meyakinkan.

Melihat kejumudan umat Islam yang sudah begitu mengakar tersebut, Hamid Ahmad mencoba memberikan kritik konstruktif-destruktif terhadap semua permasalahan yang dihadapi umat Islam. Dengan menggali kembali khazanah intelektual klasik Islam (kitab kuning), ia mengelaborasi peristiwa masa-masa lampau -zaman Rasulullah, sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in- kemudian mengkolaborasikan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa sekarang.

Bukankah sudah seharusnya umat Islam memiliki andil yang besar untuk mengubah wajah dunia ke depan? Namun, tentu saja hal ini membutuhkan kepekaan dan upaya yang dirancang secara sistematis melalui transformasi di segala lini kehidupan, termasuk transformasi sosial, politik, ekonomi, Hukum, pendidikan, dan budaya. Saat ini, umat Islam boleh dikatakan terpuruk dan mengalami kemunduran yang cukup parah dalam banyak hal.

Hamid Ahmad yang merupakan alumnus PTIQ (Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an) Jakarta ini, dalam memberikan kritiknya selalu menggunakan kisah-kisah yang terjadi pada masa Nabi, sahabat, dan tabi’in, yang dikemas sedemikian rupa sehingga kesan untuk “menghakimi” salah satu pihak tidak terlihat sama sekali. Di samping itu, sebagai alumnus PTIQ yang kenyang dengan metode penafsiran, dalam mengungkapkan kritiknya, tidak lupa ia menggunakan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan sunah yang kemudian menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut dengan lebih kontekstual searah dengan realitas yang terjadi di masyarakat Islam.

Bidang hukum merupakan contoh yang amat menarik yang dikemukakan oleh Mas Hamid. Dia menggambarkan bagaimana Rasulullah menegakkan supremasi hukum di kalangan umat Islam. “Demi Allah, seandainya fatimah binti Muhammad mencuri, pasti Muhammad akan memotong tangannya,” sabda Rasulullah. Sungguh contoh penegakan hukum yang luar biasa bukan? Memang selama beberapa dekade lebih Indonesia tak kunjung menemukan format hukum ideal yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya. Umat Islam dihantui dilema dan kesenjangan lebar antara cita-cita dan kenyataan, karena sejarah hukum di Indonesia umumnya menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki piranti yang cukup memadai untuk menegakkan supremasi hukum. Umat Islam (Indonesia) mewarisi tradisi hukum yang sejak awal sekali (Orde Baru) sebenarnya sudah tidak sehat dan menyimpan cacat. Dalam pandangan Mas Hamid, ketika keadilan hanya berlaku pada “orang rendahan” dan membebaskan orang terhormat seperti yang terjadi pada kaum Bani Israil, inilah yang menyebabkan murka Allah atas mereka. Dan ketika saatnya tiba, Allah akan menimpakan azab pada mereka. Apakah Indonesia termasuk golongan seperti ini? Na’udzubillah.

Buku yang lahir dari kumpulan artikel Mas Hamid Ahmad ketika ia dipercaya untuk mengasuh rubrik Khazanah di Harian Umum Duta Masyarakat ini memberikan sumbangsih yang begitu besar terhadap khazanah keilmuan umat Islam. Dengan bahasa yang lugas dan sangat popular, namun tidak meninggalkan karaktersitik ilmiahnya, buku ini memberikan contoh-contoh hidup yang seharusnya dilakukan oleh umat Islam zaman ini dengan mengacu pada perilaku kehidupan para ulama, khususnya pada periode salaf. Sehingga ada sesuatu beda dari buku ini, yaitu di samping dapat merasakan nikmatnya bernostlgia dengan para ulama salaf, kita (umat Islam) di ajak untuk bercermin dan diharapkan mampu mengambil pelajaran dari kisah-kisah mereka. Sehingga pada gilirannya, kita dapat menemukan jati diri untuk memperbaiki perilaku yang tidak terpuji dalam diri umat Islam.